Rabu, 27 Oktober 2021

Tentang Sebuah Kota Dalam Ingatan

Pagi, matahari terbit malu-malu. Tak seceria biasa, ia lebih senang mengintip di balik mendung.
Sampai pukul lewat dua siang, ia semakin tak menampakkan diri. Justru hujanlah yang datang bahkan sebelum aku sempat menyiapkan payung. 

Sudah musimnya. Sudah waktunya. 
Begitulah cara semesta bekerja.
Meski akhir-akhir ini, cuaca kerap berubah sesuka hati. 
Meski akhir-akhir ini, cuaca tak mudah ditebak kedatangannya. 
Tapi, sangat jelas, bulan-bulan menjelang akhir tahun, akan lebih sering turun hujan.

Bukankah aku menyukainya?

Tentu saja.

Lalu, siang ini, hujan mengetuk di balik jendela. Memintaku terjaga dari tidur siang dan mengajak bercengkerama. 
Apalagi?
Aku bahkan tidak memiliki cerita apapun yang hendak kubagi. 
Tapi.... Hujan selalu punya cerita. Hujan memiliki cara membuatku berkenang. Hujan tak pernah kehilangan akal.

Kali ini, pikiranku diajaknya bertamasya pada satu sampai dua tahun ke belakang. Ketika aku kerap pergi ke luar kota. Ya. Menuju sebuah kota yang amat sangat kusenangi. Kota impianku. Kota yang kerap kali kurindukan. Karena teduhnya, ramainya. Aku mencintai kota itu. Bukan karena jejakku dan jejaknya yang tertinggal. Lebih dari itu. Aku menyukai hujan yang jatuh di sana. Bahkan sekarang aku bisa membayangkan, berdiri di tepian jalan, di bawah pepopohan rindang, merasakan tempias hujan berjatuhan, menitik dari ranting-ranting, dari dedaunan, menyentuh wajahku.
Semua itu adalah hal yang selalu kurindukan.


Dulu, aku senang sekali mengunjungi kota ini ketika musim hujan tiba. Bukankah kau tahu? Tentu saja. Kan kau 'sempat' jadi teman perjalananku. Kita pernah berkejaran dengan hujan. Aku menolak ketika kau meminta untuk berteduh. Tapi kau terus memaksa agar aku bersembunyi di sebalik jas hujan. Ah, baiklah. Setidaknya, aku masih bisa merasakan rintik-rintik itu menghujani tubuhku.

Tunggu....
Aku sedang bicara soal hujan ya.
Bukan dirimu.
Dirimu yang telah berpayung. Dirimu yang tak menyukai hujan. Tak menyukaiku lagi, barangkali.

Ingatanku mengembara, pada semua tempat-tempat yang kukunjungi. Dan tak terasa hujan telah sampai di pipi.
Aku tidak ingin menangis hari ini.
Maka kucukupkan bercengkerama dengan hujan di luar sana. Kucukupkan berkenangku karena justru semakin membuat candu.

Suatu hari nanti, entah bulan depan atau kapan, aku akan ke kota itu. Barangkali sendirian. Menyisir kembali jejak demi jejak yang kutinggalkan.


Malang. Kota impian. 

Rabu, 06 Oktober 2021

Perihal Rindu

Tak ada yang tahu betapa nyeri rinduku menjalar sampai ke seluruh tubuh
getar-denyar tak sudah
pikiran berisik
kesunyian tak bisa menenangkan apapun
segalanya serba ribut
dan entah bagaimana aku menikmati semua ini.

Terombang-ambing badai tangis
dihentakkan dengan kencang
pada pantai tak berpenghuni
hanya ada aku, dan kerinduan ini.

Senja berkaca-kaca
angin menderukan namamu 
semakin keras, beringas
hatiku tak hentinya berdesir
sungguh hampir gila aku dibuatnya
hampir tak sanggup kutahan gejolak yang ada

Tapi aku harus tetap menjaga dalam diam dan doa
memeramnya hanya untukku seorang
aku tak ingin kembali terluka
aku takut berharap jika berakhir percuma


"Tapi bukankah menahan jauh lebih menyakitkan?"