Rabu, 27 September 2017

Cinta Itu Luka

Terkadang susah menerjemahkan arti cinta yang sesungguhnya. Apakah luka atau suka? Atau keduanya?

Kebanyakan orang beranggapan, dengan cinta semua akan baik-baik saja. Tapi tak mengelak jika dikatakan bahwa  dalam  cinta  itu  menyimpan  luka. Hanya  saja, karena  keegoisan diri  kita  yang ingin  selalu  memenangkan perasaan, menjadi  buta  dan  malah  menganggap luka  hanyalah  kiasan  atau  pun  pengorbanan.

Mungkin, begitulah  cara  untuk  menguatkan diri  agar  benar-benar bisa  terlepas  dari  luka  itu  sendiri. Oh, ini  hanya  ujian. Oh, akan  datang  cinta  yang  benar, yang  lebih baik, yang  lebih... Ah ~ (baca : tak  terhingga)

Jangan  bertindak  bodoh  karena  terluka! Jangan  bersikap apatis  jika  kau  sudah mengenalnya! Rasanya  memang  pahit dan sakit, apalagi  setelah  melewati  almanak-almanak, kau  akan  lebih  merasakannya  pada  saat  ingatanmu kembali  terbuka. Kenangan! Sebenarnya  kenanganlah  yang  terluka. Ketika kembali  kita  mengingatnya, ah, alangkah  malang  nasib  hati yang sepi, belum  terobati  tapi siksa  itu  muncul  dan  terbuka kembali  luka  yang  sengaja  telah  kita  tutup dengan  rapi.

Bukan  menakut-nakuti. Ini faktanya! Lalu bagaimana?

Kau yang lebih bisa menjaga hatimu agar tetap bersahaja. Kenangan tak akan bosan mampir, ia sesekali mengunjungimu, karena ada rindu. Sambut dan terimalah kedatangannya sebagai pengingat bahwa kau KUAT.  Kau bisa mengalahkannya walau airmata tak hentinya menderas. Wajar. Menangis itu jangan ditahan. Lepaskan.

Ingat semua lukamu sebagai pertanda bahwa kau butuh obat dan bukan menjauhinya. Ingat kau terluka untuk kembali sembuh dan bangkit. Mengalahkan perasaan itu susah, tapi setidaknya, pribadimu akan berbeda. Lebih mawas diri dan bersahaja.

Percayalah pada penciptamu, bahwa segala hal yang menimpamu, tidak mungkin tidak bisa kau lewati. Bahwa rencana lebih besar sedang menantimu selepas sakit dan penderitaan atas kerelaan hatimu bersabar.

Kharisma De Kiyara
27-9-2017

Sabtu, 02 September 2017

Demi Kebaikan Kami Rela

Cerpen Kharisma De Kiyara

Menjelang akhir Agustus 2017, Dori lebih sering gelisah. Dengus napasnya memburu sedemikian cepat, pacu jantungnya bahkan bergeletar hebat. Suti yang menyaksikan kegelisahan kakaknya itu pun kebingungan. Perasaannya juga berkecamuk tak keruan. Akankah nasib yang menimpa kedua orang tuanya juga akan terjadi pada mereka?

Suti dan Dori patut bersyukur sebab keluarga Pak Darmawan yang  budiman  bersedia  mengangkat mereka  menjadi  bagian  dari  keluarga. Pak Darmawan menemukan mereka di kebun belakang rumah dalam  keadaan mengenaskan, kurus, berwajah  muram  sebab  raut  kesedihan, dan  lagi  mereka  yatim  piatu. Yang  pada  saat  itu  Suti  dan  Dori  tengah  bersembunyi  sebab  dikejar-kejar  orang  sekampung  akibat  merusak  ladang  mereka. Mengambil  tetanaman  dan  dijadikan bahan  makanan. Riwayat mereka  sampai  kelaparan  sendiri  adalah  tak  lain  karena  melarikan  diri  dari  kampung  sebelah  setelah  kematian  kedua  orangtuanya yang menyakitkan.

Kejadian itu sudah setahun silam, tapi masih melekat di kepala Suti. Dua bulan pertama bahkan setiap malam ia menangis. Sedang Dori lebih sering murung dan ketika malam tiba ia habiskan dengan menatap gemintang yang bertebaran di langit. Matanya begitu takjub, setidaknya keindahan itu yang mampu membuat jiwanya tenang.

Tidak kali ini. Langit malam di bulan Agustus 2017 menjadi begitu kelam.  Ketakutan luar biasa menjalar di sekujur ingatan dan hati kakak beradik itu.

"Ayo anak-anak makan yang banyak biar kalian pada gemuk," kata Pak Darmawan setiap harinya.

Pak Darmawan memerhatikan mereka sedemikian rupa. Kebutuhan mereka bahkan terjamin semenjak tinggal bersama keluarga Pak Darmawan. Diasuh dengan asih serta ketulusan yang murni dari hati. Pak Darmawan dan istrinya pun juga bangga memiliki Suti dan Dori, setidaknya mereka punya teman setelah kehilangan kedua anak mereka yang meninggal terseret banjir bandang lima tahun lalu.

Pak Darmawan sendiri hanya bekerja serabutan. Kadang menjadi tukang bangunan, tukang parkir dan tiap kali tetangganya membutuhkan untuk dimintai pertolongan membetulkan perkakas rumah yang rusak, saluran air yang mampet. Dan ia hanya akan memeroleh upah tak lebih banyak dari peluhnya. Beruntung, Bu Darmawan sangat sabar dan telaten. Meski hidup serba kekurangan tetap saja mereka adalah keluarga yang harmonis apalagi semenjak kedatangan Suti dan Dori.

"Aku ingin pergi," kata Dori di suatu malam, minggu ketiga bulan Agustus.

"Kita mau ke mana mas? Kita sudah dirawat bapak dan ibu masak mau pergi gitu aja?"

"Daripada kita mati konyol seperti orangtua kandung kita Suti! Kau mau?"

Mata Dori merah marah. Sejak itu ia tak lagi mau makan pemberian Pak Darmawan. Makanan yang disajikan dibiarkannya utuh di tempat semula. Tak terjamah, sekalipun ia sangat lapar.

"Kau masih mau makan Suti?" delik Dori pada adiknya.

"Aku lapar. Kalau kepalaran kita akan lebih mati konyol! Lebih baik berbuat baik, toh, Allah lah yang telah mengatur semuanya. Jadi, jangan menyiksa diri sendiri. Itu tidak baik! Allah tidak senang!"

"Bukannya kamu juga takut kita akan mati Suti?"

Suti mengangguk mantap. "Benar, aku memang ketakutan. Tapi setelah aku pertimbangkan. Ketakutan itu tak akan membuahkan apa-apa, tak akan menjadikan kehidupan kita semakin baik dan berjalan semau kita. Kodrat kita, takdir telah mengaturnya. So, santai saja!" kata Suti sembari terus mengunyah makanan favoritnya.

                                                               ***

Berbondong-bondong warga Desa SugihAsri melaksanakannya sholat Id di pelataran masjid Al-Barokah. Tak terkecuali Pak Darmawan, Bu Darmawan, dan kedua kakak beradik Dori serta Suti.

" This time, Suti!" kata Dori  usai seluruh  warga  melaksanakan  sholat  Idul  Adha.

" Bismillah saja mas!"

Pagi itu, Dori dan Suti menyunggingkan senyum mereka melihat Pak Darmawan dan Bu Darmawan juga sedemikian bahagia. Bahwa pada akhirnya, pasangan suami istri itu bisa mengorbankan kedua kambing tersebut atas nama kedua anak mereka yang telah tiada. Kambing yang gemuk dan sehat tentu saja.

"Wah  Pak, Bu  Darmawan. Ini  kambing  yang  nemu  waktu  itu  ya?" seloroh salah  satu  warga.

Pak  Darmawan mengangguk  mantap. "Iya  Bu, rezeki. Kita  sudah  _woro-woro_ ke  mana-mana tapi  nggak  ada  yang  ngakui. Ya  sudah kita  rawat  saja," jawab  Pak  Darmawan.

"Alhamdulillah ya, Pak! Tak salah kita merawat dua kambing yang kita temukan waktu itu," ujar Bu Darmawan melihat kepala Suti dan Dori sudah terpenggal.