Minggu, 25 Juli 2021

Lelaki yang Menyanyikan Lagu Sunyi Itu Adalah Kekasihku

Petik gitar itu....
Merdu suara itu....

Aku mengenal baik nada-nada yang kudengar di setiap keheningan
suaramu bukan? yang pilu menyayat
yang membikin sesalku kian sesak

Aku mengenal baik melodi yang kudengar di setiap kerinduan melonjak tajam
darimu bukan? yang mengirim pesan diam-diam
melalui desir-desir angin, kadang muncul gerimis
menandakan kau sedang mengingatkanku
bahwa lukamu, sakitmu adalah perihku yang lama

Kau terluka
dan aku merasakan hal yang sama
sialnya, akulah luka itu
Lalu, apakah pantas jika aku ikut bersedih olehnya?

Di sana, kau duduk memangku gitar kesayanganmu
petik satu per satu, hingga simfoni pilu berpilin
menjadi lagu rindu yang pilu.

Kau, lelakiku, kekasihku....
Bayangkan aku berada dekat denganmu.
Dan kita bersama-sama menyanyikan lagu-lagu demi merayakan kesedihan yang tak berujung itu.

Bolehkah Aku Memintamu Menjadi Imamku?

Aku terbangun di pagi hari tepat setelah iqamah subuh berkumandang. Bergegas ke kamar mandi hanya untuk buang air kecil, karena tamu dalam tubuhku belum juga pergi maka aku tidak bisa menjadi makmum di belakangmu.

Selintas aku melewati sebuah ruangan yang temaram. Hanya sorot cahaya dari ruangan lain yang membuat suasana menjadi khusyu. Aku melihatmu berdiri tegap dan aku yakin kedua tanganmu tengah bersedekap membaca Alfatihah dan doa pendek lainnya. Bahumu yang lebar, dan aku pun jelas tahu bahwa dadamu sungguh bidang.

Aku memutuskan berhenti sejenak. Mengamatimu yang kemudian mulai membungkukkan badan, ruku'.
Lalu aku masih memusatkan pandangan sampai kau sujud terakhir sampai berdoa.

Hatiku kemudian bergetar. Tangis kutahan ketika bapakmu mengejutkanku. Beliau keluar dari kamar yang bersebelahan dengan ruangan tempat kau sembahyang. 

Bapak menoleh padamu, lalu berkata padaku, "Masih subuhan."

Aku mengangguk dan lekas berlalu ke kamar. Membayangkan kembali pemandangan subuh yang kuidamkan bisa menjadi makmum tepat di belakangmu.

Kau tak pernah tahu cerita ini, karena aku menyimpannya sendiri sebagai kenangan manis. Baru sekarang aku berani menuliskannya ketika kau sudah jauh pergi. Tetapi kau tetaplah dekat di ingatanku, dan dengan begitu saja telah mampu menggetarkan hatiku.

Aku tidak akan meminta padamu, melainkan kepada yang memilikimu. Ia adalah Tuhanku, Tuhanmu, Tuhan kita.

Selalu kupintakan pada-Nya agar kelak kau dijadikan imamku. Karena luas sabarmu yang tak terukur. Tulus kasihmu yang kini amat kuinginkan. Selalu kupintakan, jika memang kelak kau adalah takdir bagi diriku, maka Tuhan akan menguatkan perasaan dan memberiku alasan bertahan lebih lama.

Namun, jika sebaliknya, kuharap Tuhan menghapus perasaan ini dan tetap membiarkanmu tersimpan sebagai ingatanku saja. 

Hai, lelaki yang kerap menyanyikan lagu sunyi, petik gitar dan merdu suaramu adalah damba bagi rinduku.


Sabtu, 10 Juli 2021

Sepucuk Surat dari Rindu

Dear kamu,

Hai...
Ah, basi! Sapaan yang terlalu basi. 
Tapi, mau bagaimana lagi, kita berseberangan jauh. Kau diam di sana dan aku menyendiri di sini dengan berbagai pikiran yang asing.

Setiap hari, aku mengirimimu kabar, meski hampa yang kudapatkan. Aku tak pernah tahu bagaimana kabarmu, aku tak tahu apa yang sedang kau lakukan, bagaimana kau menjalani harimu, suasana hatimu, segala hal yang ingin kuketahui tentangmu tak kunjung kudapatkan.

Setiap hari, aku menyebut namamu dalam hati setiap kali hendak makan, hendak pergi tidur dan melakukan kegiatan lain. Hanya agar terasa dekat, seperti dulu, ketika aku selalu meminta izin padamu.

Aku ingin sekali bercerita tentang banyak hal yang kualami. Bagaimana aku menjalani hari-hariku, suasana hatiku, keadaanku, aku ingin berbagi denganmu. Setidaknya, aku punya rumah untuk merebahkan lelah. Meski kini, aku hanya bertamu di beranda, sementara di dalam kau mengunci diri --entah sedang berbuat apa.

Bayangkan aku datang setiap hari ke rumahmu. Mengetuk pintu dan bercerita meski kau tak pernah bertanya. Kau tak membukanya, kau dengar atau tidak, aku tiada peduli. Yang kutahu, aku datang setiap saat, mengetuk pintu dan memberimu kabarku. Lalu... Setelah dirasa cukup, aku pergi dengan kehampaan dan kesunyian yang sama. Di halaman, aku menengok sebentar, berharap pintu itu terbuka, tapi mataku harus basah karena tak sedikit juga kudengar derit pintu bergerak.

Aku melangkah pergi.
Untuk kemudian kembali lagi.
Mengetuk pintumu lagi, berkeluh kesah lagi dan lagi. Begitu berulang kali.

Apakah aku lelah?!
Tentu saja. Siapa yang tidak akan lelah. Tapi meski begitu, aku tidak ingin menyerah.

Kau tahu, aku pernah membaca satu kutipan. Begini, Allah akan menghapus perasaan di hatimu, jika seseorang itu tidak ditakdirkan untukmu.

Maka, aku selalu meminta pada Allah. Jika kau memang bukan ditakdirkan untukku, hilanglah perasaan ini. Dan buatlah aku berhenti berjuang serta bertahan menahan rindu sendiri 
Namun, jika sebaliknya, jika kau adalah takdirku, maka aku meminta pada Allah untuk dijagakannya hatiku dan hatimu. Dikuatkannya aku bertahan dan bersabar. Diberinya aku harapan, menunggu waktu Ia mengabulkan :)

Sekian dulu suratku malam minggu ini. Jaga dirimu dengan baik, aku yakin kau pasti akan melakukannya. Tapi, aku tetap mengingatkanmu, karena dulu kau sering bandel. Terlalu banyak pikiran dan sedikit makan. 

Sehat-sehat ya, salam untuk adik kecilmu yang telah merebut hatiku :)