Kamis, 19 Agustus 2021

Merindukan Hujan

Kudengar suara air bergemericih di atap rumah, dan bersejatuhlah ia ke tanah. 
Kuhirup aroma basah, pekat, menyengat.
Tapi, segala yang kudengar, kuhirup hanyalah ilusi. Sebab tak kulihat bentuk air, tak juga tampak titik-titik kecil yang mengendap di kaca jendela.

Rasanya sudah lama sekali hujan tak turun. Dan selama itu pula air mata telah menggantikan perannya. Ia berjatuhan tak kenal waktu. Ia menggenang setiap kali rindu.

Kemarau masihkah akan lebih panjang? Aku selalu menunggu rintik-rintik itu datang, membasuh mataku yang basah oleh kesedihan.

Segala Tanya


Bagaimana bisa semua akan baik-baik saja setelah kehilangan? Bagaimana air mata tetap rapi tersimpan setelah kejadian-kejadian menyakitkan? Bagaimana ia bertahan?
Bisakah kau menjawabnya? Bisakah kau menjadi penawar obatnya?

Pertanyaan demi pertanyaan itu belum pernah terjawab. Ia hanya berpura-pura melewati semua dengan sempurna. Bahkan tak ada seorangpun melihatnya tampak terluka. Siapapun yang mengenal akan merasa, ia amat bahagia. Hatinya senantiasa berbunga-bunga, senyum dan tawa lekat dalam hari-harinya.

Tapi.... Mereka hanya tahu sisi luarnya. Ia.... Sangatlah tak terbaca.

Maka, aku menulis ini, agar mereka tahu betapa ia sedang rapuh dan menyembunyikan bunyi gemuruh di dada. Aku ingin mereka tahu, ia hanya perlu dimengerti dan tak usah dijejali sana-sini, diberi pilihan ini dan itu. Tak perlu.... Karena mereka tak tahu rasanya menjadi ia.

Kemarin ia menangis, hari ini pun masih dan besok.... Ia selalu berharap untuk tidak mengulang kesedihan. Meski harapan itu seringkali gagal. 

Kau. Bagaimana perasaanmu? Apakah jauh lebih baik setelah pergi? Apakah sudah tenang setelah meninggalkannya? Sudahkah kau menemukan pengganti? 

Kau. Pernahkah memikirkannya? Sekali saja, pernahkah menyebut namanya dalam doa usai kepergianmu yang tergesa? 

Ia selalu ingin tahu jawabnya. Tapi kau tak pernah bersuara. Maka, ia berserah pada takdir yang Maha Tahu Segala-gala.

Minggu, 15 Agustus 2021

Roses Bloom in Your Afterlife

Seandainya tidak ada kabar buruk itu, barangkali sunyi tidak setajam ini. Dan kepalaku pun semakin berdenyar dengan ingatan kelam. Kenangan itu....ialah yang sedang dirasakan banyak orang.

Kemarin, seorang pasien datang. Biasanya beliau terlihat ceria, senang saat kontrol rutin. Tapi, kemarin tidak. Matanya berkaca-kaca, tampak lemas dan tidak bersemangat. Sampai akhirnya.... Beliau bercerita tentang sebuah kepergian. Tuhan, Kau pun tahu aku tak pernah menyukai kabar semacam ini bukan? Haruskah datang juga? 

"Bapak sudah meninggal, Mbak."

Bagaimana aku tidak kaget? Sedangkan beberapa waktu lalu kami masih bertemu dan suami beliau dalam keadaan cukup baik. Tapi siapa menyangka, takdir memang selalu menjadi rahasia-Nya.

Lalu hari ini, datang lagi berita itu. Seorang pasien lain yang kemarin baru saja kontrol, dikabarkan meninggal dunia. Istrinya pingsan lebih dari satu kali. Tuhan, andai aku tidak mendengar berita itu, apakah hari ini aku akan tetap tidak mengingat mendiang-mendiang yang telah pergi dari hidupku? 

Kami memang tidak mengenal satu sama lain. Kami bertemu sesekali, seringkali... Dan dengan begitu memiliki naluri. Prihatin.

Aku sendiri sudah muak dengan kepergian. Orang-orang yang aku cintai tidak pernah bisa menepati janji untuk menemani. Bahkan satu-satunya orang yang --katanya-- tidak ingin jauh dariku pun, pada kenyataannya detik ini sudah meninggalkanku. Aku harus percaya pada siapa lagi? Apa aku salah jika membenci pertemuan? Pada mulanya, memang iya, aku membenci setiap pertemuan. Aku menghindari siapapun yang datang. Karena tak selamanya mereka akan tinggal. Tak lama, pintu keluar sudah menanti. Semua hanya sementara.

Tapi kini, aku tidak begitu yakin, sejak kapan aku mulai bisa menerima takdir seperti ini. Takdir yang mengharuskanku menyaksikan penderitaan orang yang kusayangi dan berakhir kepergian. Aku tidak yakin sejak kapan aku bisa menjadi sekuat sekarang.

Yang aku tahu, sejak aku suka diam-diam berseteru dengan isi kepalaku sendiri. Sejak aku suka berteriak dalam hatiku sendiri. Lalu, semua mereda. Dan aku pahami, kelak, aku juga akan pergi. Meninggalkan semua yang kini bersamaku, meninggalkan semua yang ada padaku. Aku akan memberikan kesedihan pada segelintir orang yang menganggapku ada. Aku akan membuat mereka menangis, sama seperti ketika aku ditinggalkan begitu saja.

Kepergian tidak pernah memberi aba-aba. Tapi akan selalu terjadi kapan saja.

Maka, sejak itu, aku tidak takut ditinggalkan. Tidak mengapa walau harus menangis lagi dan lagi. Aku akan menikmatinya sebab Tuhan telah menentukan segalanya.

Bersabarlah orang-orang yang ditinggalkan. Menangislah. Kita akan tetap sedih bila mengingatnya, itu pasti. Tapi.... Jika kita percaya bahwa Tuhan telah menjaga mereka, pasti kesedihan itu akan menjadi keikhlasan. Jika kita mau menyadari semua adalah milik-Nya, pasti akan datang kekuatan.

Yang pergi, menjadi abadi.





Kamis, 12 Agustus 2021

Pada Suatu Pagi


Lihatlah, pagi ini awan membentuk suatu pertanda. Barangkali semesta sedang mengisyaratkan sesuatu. Kau tahu apa? Ialah kuasa Sang Pencipta dan itu bermakna kita patut bersyukur sebanyak-banyaknya. Betapa Tuhan Maha Baik menciptakan keindahan yang membuat mataku tak bisa berpaling hari ini.

Kau pasti berpikir aku berlebihan, tapi banyak orang mengabadikan momen ini. Bagaimana denganmu jika jadi aku? 

Sebenarnya, aku ingin bertanya, bagaimana kabar awan di tempatmu. Kita dinaungi satu langit, hanya saja angin berembus membawa awan yang lain. Aku ingin bertanya, dengan apa kau mengawali pagi ini? Sedang aku masih diam-diam menyapamu lewat sinar cahaya matahari. Berharap sorotnya menerpamu, dan kau rasakan hangat rinduku. Harapan yang cukup sederhana hari ini. Semoga kau tahu.