Minggu, 15 Agustus 2021

Roses Bloom in Your Afterlife

Seandainya tidak ada kabar buruk itu, barangkali sunyi tidak setajam ini. Dan kepalaku pun semakin berdenyar dengan ingatan kelam. Kenangan itu....ialah yang sedang dirasakan banyak orang.

Kemarin, seorang pasien datang. Biasanya beliau terlihat ceria, senang saat kontrol rutin. Tapi, kemarin tidak. Matanya berkaca-kaca, tampak lemas dan tidak bersemangat. Sampai akhirnya.... Beliau bercerita tentang sebuah kepergian. Tuhan, Kau pun tahu aku tak pernah menyukai kabar semacam ini bukan? Haruskah datang juga? 

"Bapak sudah meninggal, Mbak."

Bagaimana aku tidak kaget? Sedangkan beberapa waktu lalu kami masih bertemu dan suami beliau dalam keadaan cukup baik. Tapi siapa menyangka, takdir memang selalu menjadi rahasia-Nya.

Lalu hari ini, datang lagi berita itu. Seorang pasien lain yang kemarin baru saja kontrol, dikabarkan meninggal dunia. Istrinya pingsan lebih dari satu kali. Tuhan, andai aku tidak mendengar berita itu, apakah hari ini aku akan tetap tidak mengingat mendiang-mendiang yang telah pergi dari hidupku? 

Kami memang tidak mengenal satu sama lain. Kami bertemu sesekali, seringkali... Dan dengan begitu memiliki naluri. Prihatin.

Aku sendiri sudah muak dengan kepergian. Orang-orang yang aku cintai tidak pernah bisa menepati janji untuk menemani. Bahkan satu-satunya orang yang --katanya-- tidak ingin jauh dariku pun, pada kenyataannya detik ini sudah meninggalkanku. Aku harus percaya pada siapa lagi? Apa aku salah jika membenci pertemuan? Pada mulanya, memang iya, aku membenci setiap pertemuan. Aku menghindari siapapun yang datang. Karena tak selamanya mereka akan tinggal. Tak lama, pintu keluar sudah menanti. Semua hanya sementara.

Tapi kini, aku tidak begitu yakin, sejak kapan aku mulai bisa menerima takdir seperti ini. Takdir yang mengharuskanku menyaksikan penderitaan orang yang kusayangi dan berakhir kepergian. Aku tidak yakin sejak kapan aku bisa menjadi sekuat sekarang.

Yang aku tahu, sejak aku suka diam-diam berseteru dengan isi kepalaku sendiri. Sejak aku suka berteriak dalam hatiku sendiri. Lalu, semua mereda. Dan aku pahami, kelak, aku juga akan pergi. Meninggalkan semua yang kini bersamaku, meninggalkan semua yang ada padaku. Aku akan memberikan kesedihan pada segelintir orang yang menganggapku ada. Aku akan membuat mereka menangis, sama seperti ketika aku ditinggalkan begitu saja.

Kepergian tidak pernah memberi aba-aba. Tapi akan selalu terjadi kapan saja.

Maka, sejak itu, aku tidak takut ditinggalkan. Tidak mengapa walau harus menangis lagi dan lagi. Aku akan menikmatinya sebab Tuhan telah menentukan segalanya.

Bersabarlah orang-orang yang ditinggalkan. Menangislah. Kita akan tetap sedih bila mengingatnya, itu pasti. Tapi.... Jika kita percaya bahwa Tuhan telah menjaga mereka, pasti kesedihan itu akan menjadi keikhlasan. Jika kita mau menyadari semua adalah milik-Nya, pasti akan datang kekuatan.

Yang pergi, menjadi abadi.





Tidak ada komentar: