Jumat, 19 November 2021

18 NOVEMBER

Duhai waktu,
mari kita rayakan usiamu
tidak akan ada tangis
meski kau telah mengiris
seluruh isi hatiku

Duhai waktu,
kau suka angka 18 bukan
karena malam itu, bapakmu menang lotre
dan ibumu berhasil menghentikan kemiskinan cinta
Tuhan telah menulis takdir baru
28 tahun yang lalu

Duhai waktu,
kata 'selamat' barangkali tak cukup
ah, jangankan cukup, tersampaikan padamu saja tidak
ah, jangankan cukup, segala yang kutulis tentangmu mengendap bagai ampas kopi pahitmu di pagi hari
tak terbaca, tak diperlukan lagi
sia-sia

Tak mengapa,
setidaknya, aku tahu cara merawat kerinduan
dan paham bahwa Tuhan satu-satunya jalan
untuk sampaikan bisik lirih doaku, untukmu


Magetan, 18 Nov 2021


HEAL

Akhirnya, aku tidak lagi takut pada kehilangan. Sebab, tidak ada satupun yang kekal tinggal meski dalam perkataannya berjanji tak akan pernah pergi. Setiap orang akan melangkah menjauh, pergi, hilang. Kita pasti akan ditinggalkan. Tidak ada seorangpun yang selalu berada dalam hidup kita. 
Jadi, sudah kuputuskan, aku tak pernah takut jika harus kehilangan. Sejatinya manusia hidup hanya akan saling meninggalkan, merasakan kehilangan itu adalah kepastian.

Bergantung pada manusia adalah satu hal yang keliru. Dan sejak lama, aku sudah belajar daripadanya. Sejak lama, aku telah diajarkan kehidupan untuk menanggung segalanya sendirian. Sejak lama, aku berteman dengan sebuah kata 'bertahan', lebih dari itu, ia menjelma jadi caraku menjalani hidup. 

Kini, waktu telah sampai pada titik di mana rasaku telah berlalu. Segala cemas, gelisah dan sedih seakan terlipat dalam kotak kenanganku. Memang, ada masa di mana aku menjenguknya. Hanya sekadar memastikan, apakah ingatanku masih begitu baik? 

Yang aku tahu, semua perasaan tidak mengenakkan itu tidak hanya menimpa diriku. Orang lain pun pasti ada yang merasakannya, atau bahkan jauh lebih menyakitkan, atau barangkali kau juga berlarut-larut dalam kesedihan. Semoga tidak ya. Karena, aku selalu ingin kamu bahagia, bahkan jika harus dengan melupakanku, maka aku akan memberimu jalan keluar untuk tidak mengingatku. Kau begitu pandai berlari. Dan aku tidak akan mengejar lagi.

Bukankah ini yang kau mau? Aku akan menurutinya. Aku akan mewujudkannya.

Berlarilah....

Berlarilah....

Berlarilah....

Hingga masa lalu tampak jauh di belakang. Terbengkalai. Dan kemudian samar sampai lenyap dari pandangmu.

Berlarilah....

Berlarilah....

Jangan kau toleh. Jangan kau berhenti. Teruslah berlari, meski aku tetap diam di sini. Di titik, di mana kau meninggalkanku. Aku tetap di sini. Tidak menjauh. Tidak mengejar. Kau yang memutuskan pergi. Kau yang memilih berlalu. Maka kubiarkan kau beserta bayangmu tersapu waktu, hingga debarku berhenti dengan sendirinya.

Jika aku tetap diam. Apakah itu berarti aku masih berharap kau kembali?
Aku diam, karena di sini adalah tempatku. Aku tidak menunggumu kembali. Aku memulihkan diriku dengan tetap berada di sini. Menikmati degup-kejut remuk-redamnya. Merasakan perih dari irisan luka. Memeram duka. Memeluk dinginnya rindu untuk diriku sendiri.
Aku bukan pecundang yang memilih menghindar dan berusaha seolah tak terjadi apa-apa. Aku tetap berada di sini, menjalani apa yang seharusnya kujalani sembari menanti seseorang mengajakku melangkah. 
Saat itulah, aku telah sembuh.

Saat itulah, aku menemukan kembali bagian dari diriku yang sempat hilang. Bagian dari diriku yang amat kurindukan. 

Tidakkah kau demikian?


Selasa, 02 November 2021

Surat yang Tak Pernah Sampai

Assalamu Alaikum 
Duhai Ayahku

Aku tidak tahu bagaimana harus memulai tulisan ini. Meski sepucuk surat biasa --yang aku tahu tak akan pernah kau terima-- tapi tetap saja terasa canggung. 

Ayahku,
Hujan baru saja reda. Tidak deras seperti keinginanku. Cukup rintik-rintik dan tidak begitu gaduh ketika menimpa atap rumah. Bukankah aku pernah menuliskan sebuah puisi untukmu? Perihal hujan, tentu saja.

Semalam, akhirnya kita berjumpa. Tidakkah kau tahu, aku sangat menanti kedatanganmu. Terlalu lama kau pergi, Ayah, dan aku bahkan tak bisa memintamu kembali. Ya, kau tak akan pernah kembali. Kepergianmu tak berbilang almanak. Kepergianmu adalah janji Tuhan. Kepada-Nya kau harus berpulang. Sebab Ia adalah rumah bagi segala kehidupan.

Malam ini, Ayahku
Mataku masih awas terjaga. Padahal seharian aku terlalu banyak bicara. Sama seperti biasa, pekerjaanku memang mengharuskanku berbicara dengan banyak orang. Dan aku suka. Bertemu orang-orang asing, bercakap-cukup kadang lebih, bahkan mereka sampai bercerita masalah pribadinya padaku, meresahkan apa yang mereka rasakan, menangis terisak karena ditinggalkan. Yang paling aku senangi adalah melihat senyum mereka, Ayah. Meski harus memakai masker, kebanyakan dari mereka adalah orang tua yang seringkali melepas maskernya sampai di bawah dagu. Mereka tersenyum Ayah, mereka tersenyum. Hangat sekali. Bayangkan, bagaimana bisa aku tak ramah menyambut mereka?
Tapi, Ayah... Kita hidup memang tidak bisa menyenangkan banyak orang. Dan itu bukan tujuan kita juga kan? Manusia itu beragam. Terkadang, ada saja yang menyebalkan. Aku harus tetap tersenyum menghadapinya, Ayah. Meski dadaku sakit menaham emosi. Aku harus tetap terlihat tenang dan tegas di waktu bersamaan. 

Ayahku,
Jika nanti kau kembali datang menemuiku, maka bawakan aku sekuntum senyummu yang ranum itu lagi. Aku tak akan memetiknya. Aku akan menikmati aromanya, ya benar Ayahku, aroma rindu.

Ayahku,
Aku sudah jauh lebih kuat sekarang. Aku sendirian, aku kesepian, tapi percayalah Ayah, selalu ada orang-orang baik yang Tuhan hadirkan untuk menemaniku. Bukankah tangan Tuhan ada di mana-mana? Dan itulah pertanda bahwa Ia tak pernah meninggalkanku. 
Kau tidak perlu khawatir. Kau sudah menemukan titik tenang itu. Kau tak perlu resah memikirkanku. Biar aku menemukan tujuanku, Ayah. Biar kulewati setiap jalan dan meninggalkan jejak kisahku pada semesta. 

Ayahku,
Aku masih tetap menjadi puteri kecilmu yang manja. Masih dan akan. Hanya saja, aku berpura-pura tegar dan dewasa di hadapan semua orang. Akhirnya, terbiasa juga, Ayah. Tapi dalam hati kecilku, aku tetaplah aku, yang manja, yang butuh kehangatan kasih sayang.

Ayahku,
Sekeras apapun upayaku melahirkan air mata, tetap saja tak bisa membuatmu kembali bukan? Maka aku bisa apa? 
Mengikhlaskan sudah jadi makanan sehari-hari. Pahit memang, tapi mau tidak mau harus kutelan agar imanku tak pernah kelaparan.

Ayahku,
Hujan sudah reda. Dingin tidak terasa. Aku masih mendekap harapku berjumpa denganmu, nanti ya, setelah aku terpejam dan menggelar mimpiku, kita bertemu.


Salam hangat dariku,
Anakmu.