Duhai Ayahku
Aku tidak tahu bagaimana harus memulai tulisan ini. Meski sepucuk surat biasa --yang aku tahu tak akan pernah kau terima-- tapi tetap saja terasa canggung.
Ayahku,
Hujan baru saja reda. Tidak deras seperti keinginanku. Cukup rintik-rintik dan tidak begitu gaduh ketika menimpa atap rumah. Bukankah aku pernah menuliskan sebuah puisi untukmu? Perihal hujan, tentu saja.
Semalam, akhirnya kita berjumpa. Tidakkah kau tahu, aku sangat menanti kedatanganmu. Terlalu lama kau pergi, Ayah, dan aku bahkan tak bisa memintamu kembali. Ya, kau tak akan pernah kembali. Kepergianmu tak berbilang almanak. Kepergianmu adalah janji Tuhan. Kepada-Nya kau harus berpulang. Sebab Ia adalah rumah bagi segala kehidupan.
Malam ini, Ayahku
Mataku masih awas terjaga. Padahal seharian aku terlalu banyak bicara. Sama seperti biasa, pekerjaanku memang mengharuskanku berbicara dengan banyak orang. Dan aku suka. Bertemu orang-orang asing, bercakap-cukup kadang lebih, bahkan mereka sampai bercerita masalah pribadinya padaku, meresahkan apa yang mereka rasakan, menangis terisak karena ditinggalkan. Yang paling aku senangi adalah melihat senyum mereka, Ayah. Meski harus memakai masker, kebanyakan dari mereka adalah orang tua yang seringkali melepas maskernya sampai di bawah dagu. Mereka tersenyum Ayah, mereka tersenyum. Hangat sekali. Bayangkan, bagaimana bisa aku tak ramah menyambut mereka?
Tapi, Ayah... Kita hidup memang tidak bisa menyenangkan banyak orang. Dan itu bukan tujuan kita juga kan? Manusia itu beragam. Terkadang, ada saja yang menyebalkan. Aku harus tetap tersenyum menghadapinya, Ayah. Meski dadaku sakit menaham emosi. Aku harus tetap terlihat tenang dan tegas di waktu bersamaan.
Ayahku,
Jika nanti kau kembali datang menemuiku, maka bawakan aku sekuntum senyummu yang ranum itu lagi. Aku tak akan memetiknya. Aku akan menikmati aromanya, ya benar Ayahku, aroma rindu.
Ayahku,
Aku sudah jauh lebih kuat sekarang. Aku sendirian, aku kesepian, tapi percayalah Ayah, selalu ada orang-orang baik yang Tuhan hadirkan untuk menemaniku. Bukankah tangan Tuhan ada di mana-mana? Dan itulah pertanda bahwa Ia tak pernah meninggalkanku.
Kau tidak perlu khawatir. Kau sudah menemukan titik tenang itu. Kau tak perlu resah memikirkanku. Biar aku menemukan tujuanku, Ayah. Biar kulewati setiap jalan dan meninggalkan jejak kisahku pada semesta.
Ayahku,
Aku masih tetap menjadi puteri kecilmu yang manja. Masih dan akan. Hanya saja, aku berpura-pura tegar dan dewasa di hadapan semua orang. Akhirnya, terbiasa juga, Ayah. Tapi dalam hati kecilku, aku tetaplah aku, yang manja, yang butuh kehangatan kasih sayang.
Ayahku,
Sekeras apapun upayaku melahirkan air mata, tetap saja tak bisa membuatmu kembali bukan? Maka aku bisa apa?
Mengikhlaskan sudah jadi makanan sehari-hari. Pahit memang, tapi mau tidak mau harus kutelan agar imanku tak pernah kelaparan.
Ayahku,
Hujan sudah reda. Dingin tidak terasa. Aku masih mendekap harapku berjumpa denganmu, nanti ya, setelah aku terpejam dan menggelar mimpiku, kita bertemu.
Salam hangat dariku,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar