Selasa, 16 Mei 2017

Lelakiku

Kupandangi lekat sosokmu dari figura fatamorgana saat aku memejamkan mata. Seringai bibirmu seolah mengajakku tertawa dan membikin cerita-cerita yang tak kita punya sebelumnya.

Bagaimana dicintai olehmu adalah rindu yang kuhimpun dari lama. Lama sekali. Bahkan detik pernah sampai melupakannya. Hingga aku ditelan mentah-mentah oleh kesunyian. Pikirku, tak lagi menginginkanmu.

Tiba-tiba, diam-diam, kau datang menyumbangsihkan kasih dalam-dalam. Aku puterimu menangis dalam dekapan. Betapa banyaknya nyinyir selama ini tentangmu, mereka hanya melihat dari 'tahu' tapi tak mengerti. Sedang aku, tenggelam bersama beribu penyesalan, pernah memercayai mereka.

Kau di sana. Sedang apa? Memikirkanku kah?

Kau pernah memintaku satu hal. Menjadi teman setia yang kan menjagamu sampai habis detak waktu mengizinkanmu menghidu. Tapi, entah harus kunamai apa? Bukan aku tak mau! Dari lama aku mengangankanmu, tapi terlambat aku mengerti masa lalu. Aku asyik bergumul dengan sunyi. Tak mau terusik. Kau pasti lebih tahu, mengapa aku enggan mengiyakan, sampai  sekarang.

Dari jarak ke sekian. Aku mendoakanmu.

16 Mei 2017
-Kharisma De Kiyara-

Senin, 08 Mei 2017

Senandung Marsinah

Dalam kelimunan buruh-buruh pabrik arloji
yang  tengah  menyuarakan tuntutan
seorang gadis berdiri paling depan
bukan hendak melawan, ia hanya ingin
menegakkan kebenaran.

Semua  berseru  di  langit  tiga  mei  tahun  itu
"Berikan  kami  pendapatan  yang  layak."
Dan  gadis  itu, tetap  paling  depan
mengobarkan  semangat  juang

Dua puluh empat tahun usianya
bergerilya melawan ketidakadilan
menyumbangsihkan pikiran dan tindakan,
ia tak sadar, jiwanya terancam
maut sedang merencanakan untuk datang
yang ia tahu, kebenaran harus ditegakkan
karena memang begitu titah Tuhan

Tiba  suatu  hari, gadis  itu  lenyap
tiga  hari  dicari  tak  kunjung  ditemui
sampai  angin  membawa  kabar  duka
ia ditemukan bocah-bocah yang  mengiranya
orang  gila  tertidur. Ternyata,
ia  adalah  Marsinah,
tergeletak  bersimbah  darah
kemaluannya  terluka  tembak
pinggulnya  telah  lerak
jantungnya berhenti  berdetak
detik  telah  meninggalkan  waktu, selamanya

Alam  tengah  masygul, meratapi  kepergian
pejuang kebenaran. Semua  muram.
Tak  ada  lagi  tawa, canda, sapa  dari
Marsinah.

"Tuhan, mengapa  mereka lakukan  itu  padaku?
Apakah  memang  begitu  cara  penguasa
memerlakukan  buruhnya? Apakah  kami  para  pekerja 
tak  berhak menuntut  kebenaran? Atau kebenaran itu  sejatinya
telah  Engkau  lenyapkan.
Tuhan.... Pintaku  padaMu, jangan  ada  lagi  yang
mengalami sepertiku. Cukuplah  aku! Biar  mereka
tetap  hidup  dengan  semangatku!"

-Kharisma  De  Kiyara-
April 2017


Alkisah Papan Kapur Saksi Bisu Melawan Kebodohan

Semula kita hanya tahu tentang "Ini Buku Budi". Sampai ke kata-kata  merangkai  kalimat  dan  angka-angka  ditambah-kurang-kali-bagi. Ditulis  tebal-tebal  di  papan  hitam  berkapur  putih.

Pandai-pandailah kalian, berkah-berkahlah ilmunya, papan kapur berdoa setiap kali menyaksikan murid-murid hibuk dengan pengetahuan.

Ia telah jadi saksi dari para penerus generasi. Papan yang kasar hitam beralih layar putih. Kapur putih menjelma tinta hitam.

Kalian semakin cekatan, ilmu tak pernah sia-sia, katanya kemudian

Aku  tak  mengapa, semakin  jarang  yang mengisi tubuhku. Sebab, telah  banyak  kumakan  waktu sampai  kenyang  aku  berguru. Zaman  sudah  makin maju, banyak  hal-hal  baru  tercipta. Aku  bahagia, pernah  atau  masih  akan  menemani  kalian  menyesap sari-sari  pengetahuan.

Di  hadapan  waktu  ia  bersaksi, tak  ada  yang  lebih  panjang umurnya  dari pada ilmu.

-Kharisma  De  Kiyara-
02 Mei 2017

Kalimat Yang Takut Kehilangan Kata


Penaku berhenti menandak, diakhirinya bait pertama dengan titik.

Lanjutkan, kata induk kalimat.

Mulai lagi, penaku menandak-nandak, dan iramanya mendengung dari kepala. Bergoyang, meliuk-liuk. Di lembaran yang penuh goresan tinta bak lantai dansa.

Kali ini, penaku menghentikan bait kedua dengan sebuah tanya.

Lanjutkan, tanpa jawaban biar semua penasaran, kata induk kalimat tak sabaran.

Aku geram.
Diam! Jangan takut kehilangan kata-kata. Hidupku berkelindan dengan dia. Napasku adalah huruf-hurufnya. Kepalaku tempat dia tinggal.

Selamanya jiwaku adalah kata.

-Kharisma  De  Kiyara-
Mei 2017

Rembulan Kesepian

Hei! Perkenalkan namaku Rembulan. Bukan lelaki bukan juga perempuan. Bukan manusia bukan juga binatang apalagi tetumbuhan. Aku ciptaan Tuhan sama seperti kalian. Rumahku  di  langit  malam. Aku bergelayut di sana, sesekali bersembunyi di balik kabut pekatnya. Gigil dan  bintang-bintang  adalah  temanku, tapi  mereka  tak  pernah mengerti apa  yang  sedang  kujiwai. Jadi, aku  merasa selalu  sepi. Tunggu! Satu  lagi, ada yang kuanggap  sebagai  orang  tua  karena  dia  begitu  memahamiku. Pikiran  kami  kerap  kali  tak  beradu, selalu  padu. Dia  adalah  langit.

Malam ini tak  begitu  cemerlang. Langit  mengundang mendung. Dan  aku  tahu, kali  ini  langit  akan  menangis  lagi. Aku  tak  kuasa  mendengar  tangisannya  yang  menyayat. Maka  kuputuskan untuk  bertandang  ke  rumah  kerabat  mencari  kedamaian. Di  sebuah  bilik, seorang  gadis  sedang  menyulam  kata-kata  menjadi busana  aksara. Aku  mengamatinya sepanjang  malam. Ia  pun  sama  sepertiku, selalu  kesepian. Pertama  kali aku  berkenalan  dengannya  ialah  dua  minggu  lalu. Saat  aku  ketahuan  mengintipnya  dari  balik  jendela  kayu. Dia  baik, tidak  marah  padaku. Malah  mengajak  masuk  ke  biliknya. Kami  bercanda  dan  saling  bercerita  apa  saja. Dia  bilang  suka  cahayaku, meneduhkan, katanya. Semenjak  itu  kami  berkawan. Setiap  ia  hendak  tidur  dia  sempatkan  menyapaku  sekadar  mengucapkan  selamat  malam. Kali ini kuketuk  jendela  kamarnya  perlahan  berharap  dia  belum  terlelap. Menunggu  beberapa  saat  dan  jendela  pun  terbuka. Aku  masuk  lantas  bemanja  di  pangkuannya.

"Hei! Tumben, kamu  manja  sekali, Rembulan!" pekiknya  karena  melihatku  yang  manja.

"Aku  sedang  ingin  dimanja. Capek  tahu setiap  hari  bergelantungan  di  langit. Apalagi  saat  ini  langit  sedang  murka  hendak  menghujani  bumi  dengan  kekesalannya."

"Hah! Apa  maksudmu?"

Aku menjadikan langit  sebagai ibu  sekaligus  bapakku. Kami punya  pola  pikir  yang  sama. Terutama tentang  bumi. Malam  ini, langit  sedang  murka  seperti  kataku  pada  gadis  itu. Kuceritakan  musababnya  dan  dia  menyimak  dengan  seksama.

Tahu kah  kalian? Aku  dan  langit  sudah  bosan melihat  angkara  merajalela  di  bumi  Tuhan. Untungnya  aku  hanya  tahu  malam, coba  langit? Ia  menyaksikan  sepanjang  hari  kemelut  di  bumi. Kukatakan  padanya, "Sabar, sabar  dan  sabar." Padahal  aku  sudah  sangat  terluka  menjadi  saksi  hiruk  pikuk  bumi  di  malam  hari.

Bayangkan, kulihat  muda-mudi  berpegangan tangan  dan  berkorban  kemaluan. Mengenaskan. Bayangkan  lagi, kulihat  seorang  ibu  di  bawah  umur  membunuh  bayinya  di  kebun  sunyi ditemani seorang  laki-laki  yang  belum resmi  menyandang  status  suami. Iya  kalau  mereka  ditakdirkan  jodoh, kalau  tidak? Ah! Gila! Bumi  gila!

Aku  pun juga muak. Kerap kali kulihat wanita-wanita --asli, ada juga yang menyerupa-- berendeng memamerkan kemolekan di pinggiran kota atau di bangunan megah, mereka mabuk menjajakan diri. Demi menghidupi keluarganya agar tak kelaparan. Pria-pria membelinya dengan nafsu setan dan uang terbuang percuma. Padahal bisa saja, uang itu membantu bocah-bocah di kolong jembatan kota untuk sedikit menikmati napas yang layak. Menghirup wanginya ilmu dan kebahagiaan berarti lainnya.

Kau mau tahu lagi yang lebih membuatku frustasi? Darah-darah manusia berceceran bekas pertumpahan. Setiap kali aku melihat darah-darah itu, tubuhku menjadi Purnama. Merah berdarah-darah. Yang artinya aku menangis, menangis dan menangis. Sedangkan langit? Dia bercerita rezim di mana-mana. Memukuli mimpi anak-anak yang tak berdaya. Memisahkan mereka dari ibu bapaknya. Meluluhlantakkan jagad tempat mereka berdiam.

Kau tahu kan? Langit sering menangis akhir-akhir ini. Ia tak kuasa melihat dunia telah hilang kebersahajaannya. Penguasa memupuk sikah di kantong-kantong sakunya. Mereka membual  soal  janji-janji. Menjual  keramahtamahannya demi  materi. Sampai  demo  di  sana  sini. Yang  jadi  provokator diadili. Yang  sebenarnya  bersalah  lepas  jeruji  dan  lupa  diri.

Oh! Sudah  cukup! Aku  ceritakan  semua gelisahku  pada  gadis  itu. Ia  menangis  tersedu-sedu. Baru  tahu  dia  bahwa  aku  lebih  berat  menahan  duka  ketimbang dirinya  yang  hanya  putus  cinta. Kutenangkan  gadis  itu, "Berhentilah menangis  sayang. Jika  kau  ingin  dunia  ini  selamat  jangan  pernah  lepas  doa  dan  mintalah  keselamatan  untuk  semua  saudara."

Kali  ini, ia memintaku menemaninya sampai terjaga  di  waktu  sepertiga. Dia ngin aku mendengar doa-doanya. Dan aku berpikir tentu akan lebih indah dari sajak-sajak yang dituliskannya.

"Baguslah! Doakan  seluruh dunia!"

-Kharisma De  Kiyara-