Hei! Perkenalkan namaku Rembulan. Bukan lelaki bukan juga perempuan. Bukan manusia bukan juga binatang apalagi tetumbuhan. Aku ciptaan Tuhan sama seperti kalian. Rumahku di langit malam. Aku bergelayut di sana, sesekali bersembunyi di balik kabut pekatnya. Gigil dan bintang-bintang adalah temanku, tapi mereka tak pernah mengerti apa yang sedang kujiwai. Jadi, aku merasa selalu sepi. Tunggu! Satu lagi, ada yang kuanggap sebagai orang tua karena dia begitu memahamiku. Pikiran kami kerap kali tak beradu, selalu padu. Dia adalah langit.
Malam ini tak begitu cemerlang. Langit mengundang mendung. Dan aku tahu, kali ini langit akan menangis lagi. Aku tak kuasa mendengar tangisannya yang menyayat. Maka kuputuskan untuk bertandang ke rumah kerabat mencari kedamaian. Di sebuah bilik, seorang gadis sedang menyulam kata-kata menjadi busana aksara. Aku mengamatinya sepanjang malam. Ia pun sama sepertiku, selalu kesepian. Pertama kali aku berkenalan dengannya ialah dua minggu lalu. Saat aku ketahuan mengintipnya dari balik jendela kayu. Dia baik, tidak marah padaku. Malah mengajak masuk ke biliknya. Kami bercanda dan saling bercerita apa saja. Dia bilang suka cahayaku, meneduhkan, katanya. Semenjak itu kami berkawan. Setiap ia hendak tidur dia sempatkan menyapaku sekadar mengucapkan selamat malam. Kali ini kuketuk jendela kamarnya perlahan berharap dia belum terlelap. Menunggu beberapa saat dan jendela pun terbuka. Aku masuk lantas bemanja di pangkuannya.
"Hei! Tumben, kamu manja sekali, Rembulan!" pekiknya karena melihatku yang manja.
"Aku sedang ingin dimanja. Capek tahu setiap hari bergelantungan di langit. Apalagi saat ini langit sedang murka hendak menghujani bumi dengan kekesalannya."
"Hah! Apa maksudmu?"
Aku menjadikan langit sebagai ibu sekaligus bapakku. Kami punya pola pikir yang sama. Terutama tentang bumi. Malam ini, langit sedang murka seperti kataku pada gadis itu. Kuceritakan musababnya dan dia menyimak dengan seksama.
Tahu kah kalian? Aku dan langit sudah bosan melihat angkara merajalela di bumi Tuhan. Untungnya aku hanya tahu malam, coba langit? Ia menyaksikan sepanjang hari kemelut di bumi. Kukatakan padanya, "Sabar, sabar dan sabar." Padahal aku sudah sangat terluka menjadi saksi hiruk pikuk bumi di malam hari.
Bayangkan, kulihat muda-mudi berpegangan tangan dan berkorban kemaluan. Mengenaskan. Bayangkan lagi, kulihat seorang ibu di bawah umur membunuh bayinya di kebun sunyi ditemani seorang laki-laki yang belum resmi menyandang status suami. Iya kalau mereka ditakdirkan jodoh, kalau tidak? Ah! Gila! Bumi gila!
Aku pun juga muak. Kerap kali kulihat wanita-wanita --asli, ada juga yang menyerupa-- berendeng memamerkan kemolekan di pinggiran kota atau di bangunan megah, mereka mabuk menjajakan diri. Demi menghidupi keluarganya agar tak kelaparan. Pria-pria membelinya dengan nafsu setan dan uang terbuang percuma. Padahal bisa saja, uang itu membantu bocah-bocah di kolong jembatan kota untuk sedikit menikmati napas yang layak. Menghirup wanginya ilmu dan kebahagiaan berarti lainnya.
Kau mau tahu lagi yang lebih membuatku frustasi? Darah-darah manusia berceceran bekas pertumpahan. Setiap kali aku melihat darah-darah itu, tubuhku menjadi Purnama. Merah berdarah-darah. Yang artinya aku menangis, menangis dan menangis. Sedangkan langit? Dia bercerita rezim di mana-mana. Memukuli mimpi anak-anak yang tak berdaya. Memisahkan mereka dari ibu bapaknya. Meluluhlantakkan jagad tempat mereka berdiam.
Kau tahu kan? Langit sering menangis akhir-akhir ini. Ia tak kuasa melihat dunia telah hilang kebersahajaannya. Penguasa memupuk sikah di kantong-kantong sakunya. Mereka membual soal janji-janji. Menjual keramahtamahannya demi materi. Sampai demo di sana sini. Yang jadi provokator diadili. Yang sebenarnya bersalah lepas jeruji dan lupa diri.
Oh! Sudah cukup! Aku ceritakan semua gelisahku pada gadis itu. Ia menangis tersedu-sedu. Baru tahu dia bahwa aku lebih berat menahan duka ketimbang dirinya yang hanya putus cinta. Kutenangkan gadis itu, "Berhentilah menangis sayang. Jika kau ingin dunia ini selamat jangan pernah lepas doa dan mintalah keselamatan untuk semua saudara."
Kali ini, ia memintaku menemaninya sampai terjaga di waktu sepertiga. Dia ngin aku mendengar doa-doanya. Dan aku berpikir tentu akan lebih indah dari sajak-sajak yang dituliskannya.
"Baguslah! Doakan seluruh dunia!"
-Kharisma De Kiyara-