Baju lusuhnya membungkus kulit legam,
keriput dan keletihan
Topeng di wajahnya tak pernah berganti
dengan kedua mata berbinar
senyuman mengembang
seolah tak ada beban
Tapi kenapa aku berpikir ia hanya berpura-pura?
Apakah karena aku pandai berpura-pura
jadi pada setiap kepura-puraan mudah saja kuterka?
Ia tersenyum, menanti siapa saja
yang sedia memesan semangkuk bakso
seharga tiga ribu di era digdaya
Ia meramu sepi, melihat lalu-lalang
mendengar bising kendaraan
Baginya, itu adalah ketenangan
dari pada melihat kenangan yang
menggantung di atap rumahnya
Mataku menangkap letih yang coba ia bungkus
Telingaku mendengar lenguh dari gelisahnya
Hidungku mengendus aroma kesedihan menempel
pada tubuh tua itu
Ia masih saja tersenyum, saat angin mengempas pipinya
dan menerbangkan sehelai daun yang baru gugur
Bakso, bakso, bakso,
katanya lirih, memanggil siapa saja yang sedia
membeli bakso seharga tiga ribu di era digdaya
Kharisma
September, 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar