Minggu, 30 September 2018

Setelah Hujan Reda

Aku takut membayangkan wajahmu yang hangat. Bagaimana jika aku tak bisa keluar dari kota tua tempatmu tinggal ini? Sementara di mana-mana ada wajah kau yang hangat, yang selalu memanggilku untuk kembali mengingatmu.  

Genap habis bulan ini, hujan baru turun sekali. Seingatku, pada suatu malam, saat pekerjaan belum usai dan sisa-sisa keringat kembali meresap di pori-pori kulitku. Gerah. Langit yang gelap mulai menciptakan semburat cahaya. Berkilat-kilat tanpa suara petir yang menggetarkan itu.

Pukul setengah sembilan malam. Aku baru berkemas dari rutinitas pekerjaan. Mengambil tas, meneliti ponsel yang ternyata menyimpan dua belas pesan belum terbaca. Sementara itu, angin berembus pelan, menelusupkan udara yang berbau tanah dan basah.

Layar CCTV di dalam ruangan menayangkan enam latar tempat di sekitar. Salah satunya menyorot bagian depan, tepat di pintu gerbang masuk, dekat jalan raya yang berhiaskan lampu-lampu merkuri dari tiang jalanan juga kendaraan. Dari sana, ada yang jatuh satu-satu. Tipis sekali. Ritmis. Aku mengamatinya. Tuhan, ini gerimis bukan?

Kudekati layar CCTV, kuperbesar area satu, bagian depan pintu gerbang, benar, yang jatuh itu adalah titik-titik gerimis yang siap menjadi hujan. Dan aku mulai kehilangan gairah pulang.

Tidak ada mantel di jok sepeda motorku. Tidak ada persiapan apa pun untuk menghindari hujan, sebab dugaan musim hujan masihlah jauh. Tapi, nyatanya ia turun lebih awal.

Siapa bisa menduga hujan akan turun lebih cepat bahkan di saat kemarau seperti ini? Atau sebenarnya ini musim pancaroba? Aku tidak tahu lagi bagaimana jadwal musim di Indonesia saat ini. Tidak menentu, sama seperti kehadiranmu.

Membahas kau dan hujan, sama saja kembali mengajakku pulang ke masa lalu. Saat masih kucintai kau. Saat masih kudambakan hujan senantiasa membasahi hati kita yang kemarau.

"Kau tidak ingin hujan reda?" Tanyamu di sela tawaku yang menyaingi suara hujan.

Aku menggeleng. "Jika hujan reda, itu artinya, aku tak lagi cintai kau. Karena kemarau telah membakar habis rasaku, tak ada sisa apa-apa."

"Hahaha, apa yang kau cemaskan soal kemarau jika kita selalu bersama?"

"Aku tidak suka kemarau! Aku suka kau yang selalu beraroma basah."

Dan kita tergelak-gelak. Hujan turun setiap musim, sejak kali pertama aku mencintai kau. Barangkali sejak itu juga, aku tidak tahu menahu jadwal musim di Indonesia. Jatuh cinta memang bisa membodohkan segalanya!

Lalu, selepas kau meninggalkanku dengan menyisakan bangunan-bangunan yang kita bangun bersama di kota itu, sebuah kota yang kini kunamai kota tua, hujan jarang turun. Kemarau lebih panjang dari perkiraanku.

Soal kota, dulu kita membangunnya dengan cerita-cerita. Bangunan bergaya puisi, cerita pendek, curhatan hati berdiri kokoh di sana. Kini, kota itu mati. Sunyi. Hanya kehampaan yang menghadirkan berpenggal-penggal kisah. Ya, kota tua itu menyimpan sejarah teramat keramat tentang kita.

Kadang, aku suka berjalan-jalan sendiri di kota itu. Memasuki bangunan puisi yang kau dirikan dengan ribuan kata-kata rindu. Segala rayu tertulis dengan tulus di sana. Bagaimana aku tidak menyukai tempat ini, sementara aku sangat senang berpuisi?

Hanya saja, perjalananku di kota itu mengikuti aturan cuaca. Biasanya, hanya hujan yang bisa membawaku ke sana. Dan hujan malam itu, membuatku kembali hadir di kota sepi yang kutinggali seorang diri, tanpa kau lagi.

                                                   ***

Bertemu adalah cara kita menuju kehilangan. Katamu saat kita memulai hubungan. Dari itulah bisa kupastikan, kau sedang memperingatkan agar aku tidak terlalu dalam memiliki perasaan. Sayangnya, rasa bukanlah hal yang mudah ditaklukkan, meski diri ini memiliki kendali atasnya, tetap saja rasa berkuasa pada hati yang sedang mendamba.

Dan kau adalah wanita yang membutuhkan pelukan-pelukan di setiap malam sepi. Apakah kau ini cenayang? Menerka tentangku hingga demikian. Baru berapa lama kita berhubungan, dan kau sudah bisa membaca satu hal tentang kesepian panjang yang kusimpan ini. Hanya padamu saja kubagikan rahasia sepi, sebab hanya padamu saja aku kembali memiliki mimpi untuk membangunkan hati yang lama tertidur di ruang hampa masa lalu.

Kau adalah hujan.

Bagiku tak ada tempat berteduh darimu. Ingin rasanya selalu berada di bawah guyuran kau yang riuh rindu. Meski gigil dan ancaman flu, aku tak peduli, sebab bersamamu aku merasa semua akan baik-baik saja. Kau bukanlah ancaman, tapi kau memberiku perlindungan. Ya, perlindungan bagi diriku yang lama cemas oleh ketidakpastian.

Kaulah hujan yang indah itu.

Di mana mataku selalu awas pada tiap tetes dalam deras. Jika ada setitik hinggap pada jendela, akan kujumpai kau yang setia. Jika ada kau jatuh di udara, akan kujumpai kau yang membasuh basah semesta. Kau adalah keindahan itu. Aku tak akan rela kehilangan satu tetes saja dari rintikmu.

Hujan telah reda. Kau ada di mana?

Hatiku masih sama merindunya saat hujan menyusut dan mentari merayap tinggi hingga kering sudah rasa ini. Menyisakan kering dan perih tak terperi. Tiba-tiba, tanpa ada aba-aba, cuaca telah berganti secepat almanak memakan waktu dengan mulut angka-angkanya yang rakus. Ada yang berubah dari hujanmu. Dan itu pun membuat kota kita menjadi senyap oleh kata-kata kasihmu.

Telah kuredakan hujan agar kau tahu kekecewaan yang lama terpendam tak sanggup lagi diajak bersabar.

Kalimat itu adalah yang terakhir kau ucapkan. Perpisahan yang manis. Sebab kau masih tersenyum lembut di sela tajamnya tatapan kecewa itu.

Musim demi musim. Aku telah coba berteduh dari segala cuaca. Hujan dan kemarau. Aku tak mau ambil pusing. Tapi, kelemahanku adalah hujan. Saat itulah, segala kenangan membasahi ingatan. Tentang kau yang menuliskan kata-kata di kota kita. Kotaku, ya hanya aku sebagai penghuninya.

                                                   ***

Pukul sepuluh malam. Hujan adalah ingatan kekasih. Dan kini baru saja reda, sementara aku berada di balik jendela menyaksikan tetes-tetes terakhir. Waktunya pulang sebelum hujan kembali deras dan aku akan terkepung lagi di tempat kerja ini.

Berlari ke halaman parkir. Menancapkan kunci pada porosnya. Deru motor bergema. Kurasakan masih ada titik-titik jatuh mencapai kulit. Ah, rasanya, ingin segera sampai rumah, terlelap... Dan melupakan kau dalam mimpi sampai pagi tiba menjemput rutinitasku yang hampa.

Magetan, 2018

Tidak ada komentar: