Sepasang terompak usang setia temani langkah
menderap tak tentu arah ; ikuti hendak kaki bukan hati
seorang gadis yang mengheningkan lara
membutatulikan bahagia
dan benaknya mencipta ruang hampa
Gontai tubuhnya menyisir temaram
melawan arus sungai yang bermuara di utara
entah berapa meter bahkan mil jauhnya ; tak peduli
ia hanya ingin berkelana
mengikis resah yang menggunduk di dada
Seketika, tapak kakinya terhenti
di trotoar yang basah ; licin
menatap langit tak bergumintang
bahkan rembulan bersemburat muram
seirama jiwanya yang terpukul angan
Bibirnya tak henti menggumamkan sajak sembilu
pun ingin melumat memar di hati
menelan, lalu memuntahkan peru
tubuh melipu, mengigil sebab gerimis
yang ia cipta dari kantung air di mata murni
Tetiba ia terkesiap
membeliakkan cokelat kedua indera pelihat
deru mesin beroda dua beradu cepat
suara klakson melengking memecah senyap
para pemuda beraksi bak Rossi di medan balap
Pikirnya meliar, sejenak melupa penat sendiri
merenung nasib negeri yang berkaru
dijajah putra-putra pertiwi ; sekandung badan
Bagaimana tidak? Seharus mereka menyingkap mimpi
justru melumat dini hari
Seperti inikah calon pemuka masa depan?
Gugur Wibawa saat darahnya masih seumur embun
Ah! Apa-apaan ia? Gila. Bukan!
Tersesat. Tidak! Sok sucikah? Berhentilah!
Ia hanya mengucap perih lantas berlalu angin
Bangkit!
Ia merajam awan kelabu
Memeluk lagi mimpi
yang tak akan selamanya jadi angan
Gelora mudanya menepis keraguan
-Kharisma De Kiyara-
2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar