Jumat, 23 November 2018

Tuhan, Aku Jatuh Cinta

Aku tak pernah bisa mengatakan padanya perihal perasaan yang tiba-tiba datang. Kapan tepatnya, aku pun tak tahu. Semuanya mengalir begitu saja, tanpa rencana, tanpa pernah kusangka bahwa padanya aku akan jatuh cinta.

Waktu seakan membungkam kesaksiannya tentang perkenalan dan perjalanan yang kita lewati hingga sejauh ini. Kita terlenakan oleh rasa. Menciptakan imajinasi lalu mewujudkannya dalam rangkaian kata.

Lalu aku harus berterima kasih pada Tuhan, diletakannya kembali kepercayaanku akan cinta. Kau adalah bagian dari rencana-Nya. Begitulah harusnya aku memaknai perasaan ini. Perasaan karena Tuhan, karena Allah Ta'ala.

Kadang aku menangis, mengingat betapa banyak kasih sayang Allah selama ini. Hanya saja, aku kerap mengabaikannya jika sedang kecewa. Bahkan, nalar ini tertutup untuk memikirkan rencana atau makna apa yang tersembunyi dari setiap peristiwa.

Allah mengajariku banyak hal. Bahwa dalam hidup tidak ada yang sia-sia, kecuali diri kita sendiri yang menyerah. Kecuali, diri kita sendiri yang masih bertahan dalam kesedihan tanpa pernah mau mengusirnya dan pergi mencari keindahan rencana-Nya.

Siapa sesungguhnya yang paling bisa menyakiti kita? Ialah diri sendiri jawabannya. Kitalah obatnya. Kita yang paling paham dengan diri sampai ke hati. Maka jangan mau dikalahkan oleh keegoisan.

Padamu, aku jatuh cinta.
Allah tahu, dan semoga Ia jadikan rasa ini keberkahan. Karena-Nya aku jatuh cinta.
Aku mencintainya karena Allah Ta'ala.
Risiko kecewa akan menyempit jika kupasrahkan semua pada Sang Maha Cinta. Ke mana nantinya perasaan ini bermuara, Allah punya jawabannya, akan kucari tahu dengan menjalani.

Minggu, 30 September 2018

Setelah Hujan Reda

Aku takut membayangkan wajahmu yang hangat. Bagaimana jika aku tak bisa keluar dari kota tua tempatmu tinggal ini? Sementara di mana-mana ada wajah kau yang hangat, yang selalu memanggilku untuk kembali mengingatmu.  

Genap habis bulan ini, hujan baru turun sekali. Seingatku, pada suatu malam, saat pekerjaan belum usai dan sisa-sisa keringat kembali meresap di pori-pori kulitku. Gerah. Langit yang gelap mulai menciptakan semburat cahaya. Berkilat-kilat tanpa suara petir yang menggetarkan itu.

Pukul setengah sembilan malam. Aku baru berkemas dari rutinitas pekerjaan. Mengambil tas, meneliti ponsel yang ternyata menyimpan dua belas pesan belum terbaca. Sementara itu, angin berembus pelan, menelusupkan udara yang berbau tanah dan basah.

Layar CCTV di dalam ruangan menayangkan enam latar tempat di sekitar. Salah satunya menyorot bagian depan, tepat di pintu gerbang masuk, dekat jalan raya yang berhiaskan lampu-lampu merkuri dari tiang jalanan juga kendaraan. Dari sana, ada yang jatuh satu-satu. Tipis sekali. Ritmis. Aku mengamatinya. Tuhan, ini gerimis bukan?

Kudekati layar CCTV, kuperbesar area satu, bagian depan pintu gerbang, benar, yang jatuh itu adalah titik-titik gerimis yang siap menjadi hujan. Dan aku mulai kehilangan gairah pulang.

Tidak ada mantel di jok sepeda motorku. Tidak ada persiapan apa pun untuk menghindari hujan, sebab dugaan musim hujan masihlah jauh. Tapi, nyatanya ia turun lebih awal.

Siapa bisa menduga hujan akan turun lebih cepat bahkan di saat kemarau seperti ini? Atau sebenarnya ini musim pancaroba? Aku tidak tahu lagi bagaimana jadwal musim di Indonesia saat ini. Tidak menentu, sama seperti kehadiranmu.

Membahas kau dan hujan, sama saja kembali mengajakku pulang ke masa lalu. Saat masih kucintai kau. Saat masih kudambakan hujan senantiasa membasahi hati kita yang kemarau.

"Kau tidak ingin hujan reda?" Tanyamu di sela tawaku yang menyaingi suara hujan.

Aku menggeleng. "Jika hujan reda, itu artinya, aku tak lagi cintai kau. Karena kemarau telah membakar habis rasaku, tak ada sisa apa-apa."

"Hahaha, apa yang kau cemaskan soal kemarau jika kita selalu bersama?"

"Aku tidak suka kemarau! Aku suka kau yang selalu beraroma basah."

Dan kita tergelak-gelak. Hujan turun setiap musim, sejak kali pertama aku mencintai kau. Barangkali sejak itu juga, aku tidak tahu menahu jadwal musim di Indonesia. Jatuh cinta memang bisa membodohkan segalanya!

Lalu, selepas kau meninggalkanku dengan menyisakan bangunan-bangunan yang kita bangun bersama di kota itu, sebuah kota yang kini kunamai kota tua, hujan jarang turun. Kemarau lebih panjang dari perkiraanku.

Soal kota, dulu kita membangunnya dengan cerita-cerita. Bangunan bergaya puisi, cerita pendek, curhatan hati berdiri kokoh di sana. Kini, kota itu mati. Sunyi. Hanya kehampaan yang menghadirkan berpenggal-penggal kisah. Ya, kota tua itu menyimpan sejarah teramat keramat tentang kita.

Kadang, aku suka berjalan-jalan sendiri di kota itu. Memasuki bangunan puisi yang kau dirikan dengan ribuan kata-kata rindu. Segala rayu tertulis dengan tulus di sana. Bagaimana aku tidak menyukai tempat ini, sementara aku sangat senang berpuisi?

Hanya saja, perjalananku di kota itu mengikuti aturan cuaca. Biasanya, hanya hujan yang bisa membawaku ke sana. Dan hujan malam itu, membuatku kembali hadir di kota sepi yang kutinggali seorang diri, tanpa kau lagi.

                                                   ***

Bertemu adalah cara kita menuju kehilangan. Katamu saat kita memulai hubungan. Dari itulah bisa kupastikan, kau sedang memperingatkan agar aku tidak terlalu dalam memiliki perasaan. Sayangnya, rasa bukanlah hal yang mudah ditaklukkan, meski diri ini memiliki kendali atasnya, tetap saja rasa berkuasa pada hati yang sedang mendamba.

Dan kau adalah wanita yang membutuhkan pelukan-pelukan di setiap malam sepi. Apakah kau ini cenayang? Menerka tentangku hingga demikian. Baru berapa lama kita berhubungan, dan kau sudah bisa membaca satu hal tentang kesepian panjang yang kusimpan ini. Hanya padamu saja kubagikan rahasia sepi, sebab hanya padamu saja aku kembali memiliki mimpi untuk membangunkan hati yang lama tertidur di ruang hampa masa lalu.

Kau adalah hujan.

Bagiku tak ada tempat berteduh darimu. Ingin rasanya selalu berada di bawah guyuran kau yang riuh rindu. Meski gigil dan ancaman flu, aku tak peduli, sebab bersamamu aku merasa semua akan baik-baik saja. Kau bukanlah ancaman, tapi kau memberiku perlindungan. Ya, perlindungan bagi diriku yang lama cemas oleh ketidakpastian.

Kaulah hujan yang indah itu.

Di mana mataku selalu awas pada tiap tetes dalam deras. Jika ada setitik hinggap pada jendela, akan kujumpai kau yang setia. Jika ada kau jatuh di udara, akan kujumpai kau yang membasuh basah semesta. Kau adalah keindahan itu. Aku tak akan rela kehilangan satu tetes saja dari rintikmu.

Hujan telah reda. Kau ada di mana?

Hatiku masih sama merindunya saat hujan menyusut dan mentari merayap tinggi hingga kering sudah rasa ini. Menyisakan kering dan perih tak terperi. Tiba-tiba, tanpa ada aba-aba, cuaca telah berganti secepat almanak memakan waktu dengan mulut angka-angkanya yang rakus. Ada yang berubah dari hujanmu. Dan itu pun membuat kota kita menjadi senyap oleh kata-kata kasihmu.

Telah kuredakan hujan agar kau tahu kekecewaan yang lama terpendam tak sanggup lagi diajak bersabar.

Kalimat itu adalah yang terakhir kau ucapkan. Perpisahan yang manis. Sebab kau masih tersenyum lembut di sela tajamnya tatapan kecewa itu.

Musim demi musim. Aku telah coba berteduh dari segala cuaca. Hujan dan kemarau. Aku tak mau ambil pusing. Tapi, kelemahanku adalah hujan. Saat itulah, segala kenangan membasahi ingatan. Tentang kau yang menuliskan kata-kata di kota kita. Kotaku, ya hanya aku sebagai penghuninya.

                                                   ***

Pukul sepuluh malam. Hujan adalah ingatan kekasih. Dan kini baru saja reda, sementara aku berada di balik jendela menyaksikan tetes-tetes terakhir. Waktunya pulang sebelum hujan kembali deras dan aku akan terkepung lagi di tempat kerja ini.

Berlari ke halaman parkir. Menancapkan kunci pada porosnya. Deru motor bergema. Kurasakan masih ada titik-titik jatuh mencapai kulit. Ah, rasanya, ingin segera sampai rumah, terlelap... Dan melupakan kau dalam mimpi sampai pagi tiba menjemput rutinitasku yang hampa.

Magetan, 2018

Selasa, 18 September 2018

Kembali Tentang Ibu

Detik itu, usai kehilanganmu, aku menjadi paham bahwa setiap pertemuan kelak akan dipisahkan, bahwa apa yang dimiliki suatu saat akan pergi, entah bagaimana caranya...

Kita tidak pernah menduga atau memperkirakan bagaimana hidup kita di esok hari. Barangkali rencana itu pasti, tapi apa yang terjadi? Sungguh, hidup ini memang sebuah rahasia dan kejut di setiap waktunya.

Hari ini, ketika almari tua tengah kubersihkan, ada beberapa barang yang membawaku kembali menengok ke masa lalu, tepatnya di almanak yang tertera pada barang itu.

Beberapa foto, dompet dan surat rekam medis di detik-detik kepergianmu.
Aku masih ingat, sebelum kau berada di ICU, seseorang memberikanku kertas dalam amplop itu. Kubuka dan kubaca meski tidak memahaminya. Jelas, aku tidak paham isinya, aku bukan anak kesehatan! Yang aku butuhkan saat itu bukanlah kertas dan tetek bengek tulisan atau angka yang tercantum di sana, aku hanya butuh kesadaranmu dan kembali membuka mata, lantas berbicara tentang kisah-kisah yang tak pernah usai di kepalamu. Bukankah kau senang sekali mengenang, Bu? Sama sepertiku, saat ini!

Hari ini, surat rekam medis itu basah di tanganku. Tentu bukan karena keringat. Mata yang sedari tadi terasa panas, dada yang kemudian kian sesak, akhirnya tak sanggup menahan gejolak. Tangisan sunyi.

Ya, tangisan sunyiku kembali mengalir dengan penuh ketenangan. Tanpa ada suara dan siapa bisa dengar? Jawaban pasti hanyalah aku dan Tuhan.

Menyembunyikan kesedihan seperti ini bukanlah keahlianku. Sebab semakin aku bersembunyi, akan semakin mengendap kesedihan itu, menggumpal di tubuhku, di dadaku, di kepalaku, dan akan kian menyiksa diriku sendiri. Maka, tangisan itu kuejakan lewat kata-kata. Kubagikan pada siapa saja yang sedia membaca.

Minggu, 16 September 2018

Ia yang Bertopeng

Baju lusuhnya membungkus kulit legam,
keriput dan keletihan
Topeng di wajahnya tak pernah berganti
dengan kedua mata berbinar
senyuman mengembang
seolah tak ada beban

Tapi kenapa aku berpikir ia hanya berpura-pura?
Apakah karena aku pandai berpura-pura
jadi pada setiap kepura-puraan mudah saja kuterka?

Ia tersenyum, menanti siapa saja
yang sedia memesan semangkuk bakso
seharga tiga ribu di era digdaya
Ia meramu sepi, melihat lalu-lalang
mendengar bising kendaraan
Baginya, itu adalah ketenangan
dari pada melihat kenangan yang
menggantung di atap rumahnya

Mataku menangkap letih yang coba ia bungkus
Telingaku mendengar lenguh dari gelisahnya
Hidungku mengendus aroma kesedihan menempel
pada tubuh tua itu

Ia masih saja tersenyum, saat angin mengempas pipinya
dan menerbangkan sehelai daun yang baru gugur
Bakso, bakso, bakso,
katanya lirih, memanggil siapa saja yang sedia
membeli bakso seharga tiga ribu di era digdaya

Kharisma
September, 2018

Selasa, 11 September 2018

KITA ADALAH LAKON

Selamat menjemput malam, sebentar lagi senja tenggelam dan bulan menggantikan kedudukan.

Salam untuk kita semua yang senantiasa masih memelihara hati agar tetap terjaga dari rasa sakit akan kenangan masa lalu. Dan salam untukmu yang perlahan hadir, mengisi kesunyianku, painted smile in my face, membuang jauh-jauh kesedihan yang lama kusimpan.

Senja ini, aku ingin sekali berteriak. Memperdengarkan pada alam bahwa hatiku tengah bergejolak. Karena siapa? Jawabannya adalah kau, tentu saja!

Tidak bisa dipungkiri, hal-hal yang pernah terjadi dalam hidup kita akan terus mengikuti. Tapi, bukan berarti kita harus tinggal di masa lalu selamanya bukan? Barangkali singgah sebentar untuk kemudian kembali sadar dan memperbaiki kesalahan.

Aku punya masa lalu, kau pun begitu. Kita menutupnya tanpa bercerita apa-apa. Sekarang, yang terpenting adalah apa yang harus kita lakukan untuk saat ini dan nanti suatu hari.

Tuhan adalah sutradara terbaik. Skenarionya sempurna! Dan kita lakon yang tabah memerankannya.

Kau...
Aku tahu rasa ini pernah menderaku sebelumnya sampai akhirnya aku mengenal apa itu kecewa, berteman air mata dan mencari pelipur dari kehilangan. Beberapa kali, aku coba menenangkan hatiku sendiri saat gelisah. Bermain-main dengan perasaan yang aku sendiri tidak memahaminya atau merasakan kedamaian. Berapa banyak yang singgah tapi tidak untuk menetap. Mereka yang lama-lama bosan dengan sikapku, mereka yang memandang sebelah mata, mereka yang kuabaikan karena tidak ada kenyamanan yang terasa. Atau sekali waktu, aku merasa nyaman dengan seseorang, tapi kemudian aku sadar, bahwa seseorang itu hanya mempermainkanku untuk mengisi kesunyiannya dan aku berhenti mengenalnya. Lalu seseorang itu datang lagi di saat yang tidak tepat, di saat aku mulai melupakannya dan menyimpulkan bahwa aku sama jahatnya seperti dirinya, menghibur diri dengan bermain perasaan.

Kau tahu,
Perasaan ini jarang kumiliki. Kenyamanan pada beberapa orang tidak lantas membuatku merasa berdebar seperti ini. Aku senang melihat namamu tertera di notifikasi pesan whatss app, aku girang saat kau menelepon, aku --apa yang harus kukatakan lagi-- tidak sanggup berkata saat mendengar suaramu. Suara itu, suara yang dari dulu kusukai bahkan saat pertama kali bertemu. Aneh ya, kenapa dari suara itu aku jadi memikirkanmu?

Lalu kau bernyanyi... Memainkan gitar...
Aku memejamkan mata, membayangkan kau ada di sampingku. Menyanyikan lagu untukku. Kau tidak melihat, rasa bahagiaku saat mendengarmu bernyanyi. Kau tidak tahu, air mataku jatuh entah kenapa.

Sebelum ini, berapa banyak pesan dari mereka kubalas demi menghibur sepi. Mengobrol tentang apa saja, tapi lama-lama aku bosan. Perhatian-perhatian yang mereka berikan justru membuatku risih.

Berbeda denganmu. Kita rutin bercerita meski kadang terjeda waktu dan kesibukan. Aku selalu menunggu balasanmu, menanti segala hal tentanmu. Aneh kan? Aku tidak pernah begitu pada yang lain.

Aku tidak malu harus menulis ini bahkan jika kau membacanya. Aku jujur dan semoga tidak ada kesalah-pahaman. Sekarang, aku jadi lebih membatasi diri seperti dulu. Sikapku menjadi kaku pada siapa saja yang tidak kuingini. Aku malas membalas pesan-pesan entah dari siapa itu. Karena satu hal, kau!

Dan ya, aku tahu konsekuensi dari apa yang kurasakan saat ini. Bagaimana pun nantinya, aku sudah pasrah. Sekali lagi Allah adalah sutradaranya. Skenario (baca: rahasia)-Nya sempurna! Kita lakon yang tabah memerankannya.

Magetan, 2018

Minggu, 19 Agustus 2018

ANAMNESA

I
Nyeri di sekujur tubuh ini
membuat langkah semakin gontai
hendak dibawa ke mana semua mimpi
yang lama ditahan hati?

II
Tensi terlampau tinggi
pantas jika emosi meluap-luap
kala kehendak yang diharap
berakhir jadi ratap

III
Pusing di kepala mengingat
senyum yang semakin pudar
di gurat bibir kekasih
Ia sudah jauh pergi
meninggalkan sepi yang teramat cemas
pada pelukan paling panjang: kesendirian

IV
Dok, beri saya obat mujarab
untuk sembuhkan kedukaan sunyi ini

Kharisma
Magetan, Juli 2018

Jumat, 17 Agustus 2018

KAU ADALAH RUMAH


Di tubuhmu, kubangun rumah sederhana
di mana aku selalu pulang
mengistirahatkan hati
yang telah lama menyisir perjalanan panjang
juga mengusir sepi denganmu

Kita duduk di beranda
membaca koran atau novel
bertukar pandang dan pikir
tentang apa saja

Dua cangkir teh di meja
sepiring pisang goreng
menjadi teman kita menanti senja
yang selalu hadir dengan kehangatan
dan kita terlena sampai malam tiba

Ketika malam naik ke singgasana
bulan bertakhta bagai raja
dengan ribuan bintang sebagai dayangnya
kita masih saja duduk di beranda
merasakan embusan lirih angin
membuat bayangan rasi-rasi
menghitung waktu yang mengantarkan kita
pada pagi hingga ke satu hari
saat di mana kita tak mengenal lagi

Kharisma
Magetan, Agustus 2018

Senin, 13 Agustus 2018

IBU


Ibu...
Mataku basah lagi
sebab kenangan turun deras malam ini
sedang aku tak berpayung
atau mencari tempat berteduh

Ibu...
Kiranya kau ada di sini
ingin kuungkap keresahan
perihal rindu yang panjang

Ibu...
Aku tahu tak akan ada akhir
dari cintamu juga rasaku
yang pilu karena kehilanganmu
tapi tetap kusemogakan kau
dari sini, dari tempatku menepikan diri
untuk kebaikanmu di manapun berada

Kharisma
2018

Minggu, 08 Juli 2018

WHEN THE HEART IS OPEN

Well, aku masih berpikir-pikir apa benar saat ini hati sudah terbuka? Apa benar aku siap menerima orang lain, orang baru dan menceritakan (kembali) tentang Who am I?

Lelah pastinya harus melakukan hal tersebut. Bagaimana tidak, aku pribadi takut, kalau-kalau orang baru itu tidak mau menerima, lantas perlahan pergi dan akhirnya... Bertemu orang baru lagi, melakukan hal yang sama, again and again!

Jadi, aku berpikir, untuk apa sebuah hubungan dengan ikatan pacaran itu jika kita tidak bisa menebak bagaimana akhir sementara untuk memulainya begitu mudah?
Pacaran bertahun-tahun, ikatan yang semua orang berharap berakhir bahagia: menikah. Tapi, ya, kadang kenyataan tak akan sejalan dengan harapan kita bukan? Banyak yang mengalami kegagalan dalam pacaran dan musnah sudah rencana duduk berdampingan di pelaminan. Hasilnya? Sakit hati. Benci. Kecewa pada harapan sendiri. Sedih ya? Iya! Tapi di awal aja kok, asal kita nggak berlarut-larut aja merasakan sesaknya.

Pribadiku sendiri mengalami hal demikian. Bahkan ketika kedua belah pihak keluarga sudah dipertemukan, pertunangan dilangsungkan, akhirnya, pernikahan hanya jadi makam yang harus kuberi nisan PENYESALAN.

Nggak kebayang sakitnya, tapi ya, aku berpikir lagi bahwa hidup masih harus berlanjut--kan ini sudah umum ya? Jadi, aku coba membuka hati dan apa salahnya jatuh cinta lagi, memulai hubungan dengan orang baru?

Tapi, pahitnya, tahun demi tahun yang aku jalani dengan -kalian nggak usah tahu-- harus berhenti tepat saat aku sedang berada di puncak harapan. Kecewa, hancur, itulah yang menyebabkan aku susah jatuh cinta lagi atau bisa dibilang trauma.

Nggak banget ya? Lemah banget sih!

STOP! Aku nggak mau terus-terusan jadi orang bodoh yang memendam harapan, kekecewaan, dan rasa sakit sampai berlarut-larut. Aku mulai melihat sekitarku, mencoba mengenal mereka yang ingin mengenalku. Dan itu susah!

Kadang, aku merasa akan cocok, tapi semakin mengenal, aku jadi membayangkan masa lalu dengan seseorang. Membandingkan keduanya sampai aku menemukan celah, sebut saja alasan mengapa aku memilih mundur.

Dan saat ini, aku nggak mau memiliki sebuah hubungan maksudku terikat dengan yang namanya pacaran. Capek lah! Buat apa pacaran? Toh kita nggak akan tahu ke mana akhirnya.

Siapa saja bisa mengenalku tapi hanya akan ada beberapa yang mengenal baik siapa aku. Yang harus kita semua ketahui, nggak pacaran bukan berarti nggak bisa buka hati ya! Salah besar!

Santai saja, aku menerima siapa saja yang berusaha ingin mengenaliku dan hati yang menentukan dengan siapa aku merasa nyaman. Ini juga bukan berarti kesetiaan nggak dibutuhkan ya! Asal aku merasa nyaman dan, ehem, dia bisa menerima aku begini adanya, pasti aku bisa membatasi diri dengan orang-orang sekitar.

Terus kalau nggak pacaran apa dong namanya? Menggantung gitu hubungannya?

Jawabanku, kita sudah dewasa dan bisa berpikir, kalau serius pasti tahu kan apa yang terbaik buat ke depan?

Hehehe, :)

Minggu, 04 Maret 2018

TENGGELAM DI LAUTAN RINDU

Rindu umpama lautan, tak mampu diselami
bahkan sampai habis hari
Sampai di kedalaman yang mana bisa kutemukan
arti kehadiran: perjumpaan, mata bertemu mata
kisah bermula?

Di palung yang mana bisa kupulangkan rindu?
Telah jauh kuberlayar mengarungi lautan wagu
terombang-ambing bersama debur ombak
dan siut angin mengarah ke segala penjuru

Bila tak ada...
Biar aku tenggelam
hilang terbuai hangatnya air lautan
yang menggaramkan harapan di dada,
di kepala, di doa, di sekujur tubuh yang fana

Kharisma  De  Kiyara
Magetan, Februari 2018

Minggu, 18 Februari 2018

Malam Panjang di Kereta dengan Bayangmu

Ini malam yang panjang saat kutemui bayangmu di kaca kereta, saat derunya membelah sunyi, di jalur tenang menujumu.

Kau yang sedang kutuju, ke arahmu, ke hatimu. Tempat yang membuatku betah berlama-lama menghabiskan waktu. Seperti kemarin, ketika kau berkenan menemaniku menepis kegusaran di lubuk hati.

Bisakah sekali lagi? Atau setidaknya terulang berkali-kali?

Aku ingin kita selamanya. Melewati setiap detik, setiap tarik-embusan napas, setiap kedipan mata, setiap celah sunyi, kita lewati dan tutup bersama dengan canda dan tawa.

Meski aku paham, bahwa tidak semua berjalan seperti yang kita inginkan. Kadang, masalah itu ada. Pasti! Hanya saja kita harus bisa saling menyikapi. Sudahkah kita dewasa? Adalah pertanyaan yang patut kita pikirkan untuk ke depan.

Jika kau masih ragu, sebaiknya katakan sekarang. Biar kubunuh perasaan ini agar tidak terlanjur dalam.
Jika sebaliknya, biar aku terus menujumu sampai di batas waktu.

Laju Kereta Malam,  Februari 2018

KITA

Aku tahu, pada hubungan yang seperti ini mestinya kita tidak sama-sama berharap. Sebab harapan itu kelak bisa merujuk pada dua perkara. Bahagia dan kecewa. Salah satunya pasti kita rasakan.

Sementara kita tidak tahu, bagaimana takdir ke depan. Bagaimana Tuhan merancang semua ini. Entah sampai pertemuan ke berapa kita bisa bersama atau justru hilang bila waktunya tiba.

Dan karena itu, kita perlu kesiapan untuk menghadapi apa-apa yang tidak kita inginkan. Jalan satu-satunya adalah, berhenti berharap. Tapi tetap teguh berdoa. Kita harus percaya, tak ada kesempurnaan lain daripada doa.

Sekarang, biar kita jalani seperti ini. Sampai kita tidak lagi peduli akan takdir, bersatu atau berakhir.

Tangsi, Februari 2018

Selasa, 23 Januari 2018

Terima Kasih Untukmu

Untukmu yang pernah kusemogakan jadi bagian hidupku.

Barangkali kau tak membaca suratku ini, atau memang kau sudah tak lagi peduli. Tapi biarlah tetap kutulis, meski tak akan sampai padamu.

Terima kasih pernah jadi bagian singkat dalam kisahku. Aktor yang memerankan drama melankoli dan romantis. Terima kasih telah ikut andil dalam menorehkan jejak dalam perjalanan hidupku. Mengukir sejarah yang kemudian jadi kekal di ingatanku.

Kenangan. Pada akhirnya, kitalah yang melahirkan kenangan itu. Tanpa pernah kita tahu dan inginkan sebelumnya.

Terima kasih banyak untuk ketulusanmu selama ini  merawat  hatiku  meski  tak  bisa  kau  penuhi janji  yang  selamanya  itu.
Aku  sudah  merasakan  bahagia  bersamamu, sudah  cukup.

Toh kita  harus  kembali  pada  keputusan  Tuhan  yang  tak  sanggup  kita  paksakan. Terima  kasih  sudah  pernah  datang.

Kharisma  De  Kiyara