Minggu, 28 Juli 2019

Untuk Nenekku

Selain pada-Nya, hendak siapa lagi yang akan kuceritakan betapa sedihnya aku hari ini. Terlepas dari seberapa banyak dan kerasnya aku tertawa, jauh dalam hatiku ada jerit di keheningan di mana hanya aku yang bisa mendengar hingga sesak dadaku sampai panas mata menahan gejolak kesedihan.

Aku tidak suka kehilangan! Tidak juga kalian bukan? Kehilangan adalah hal yang sejak awal paling sulit kuterima meski pada akhirnya waktu mengaburkan segalanya dan aku mulai sadar tak ada jalan lain selain ikhlas. Tapi, pada proses mengikhlaskan itulah aku harus berperang dengan diriku sendiri, dengan keadaan dan berusaha menyadarkan diri bahwa yang sebenar-benarnya terjadi adalah rencana Tuhan.

Senja ini, aku tidak ingin menangis. Tapi siapa bakal tahu apa yang akan terjadi di kemudian.... Barang sedetik ke depan saja kita tidak bisa menduga. Dan terjadilah, tangisku tidak lagi bisa ditahan.

Sebagai pengganti ibuku yang telah wafat, aku senantiasa inginkan beliau sehat. Meski sampai saat ini banyak sekali kekuranganku dalam menjaga dan merawatnya. Melihat beliau terbaring lemas dengan pandangan mata kosong rasanya sangat menyesakkan. Aku ingin menyelami palung matanya itu hingga menembus ke dasar pikirannya dan menemukan apa yang sebenarnya beliau renungkan.

Benarkah aku? Benarkah aku seperti yang beliau katakan saat aku bertanya apa yang sedang kau pikirkan?

Aku menahan tangis di depannya dan di depan semua orang. Hanya saat sendiri aku meluapkan emosi mataku yang akhirnya harus basah tanpa bisa kutahan.

Semoga lekas sembuh, ingat, saat begini barulah aku tahu seberapa besar sayangku padamu.

Untuk nenekku
Magetan, Juli 2019

Jumat, 26 Juli 2019

Waktu yang Telah Usai untuk Kita Mulai (Kolaborasi Puisi Yuri dan Kharisma)


Muasal waktu yang menggeluti hari
Terlalu pagi kau menyuarakan isi hati
Aku terdiam malu di antara melati
Menatap wajah sayu berpaling diri

Akankah nanti kembali?
Barangkali, sekadar untuk berkisah
Tentang rahasia kehilangan,
Atau tentang isak tangis yang tak kunjung padam
sebelum pelangi jatuh tenggelam

Waktu seakan telah usai menuliskan kisah
Sedangkan kita telah runtuh sebelum terbangun utuh
Menyisa remah-remah yang kupungut dari keramik basah
Dan kususun kembali bersama luka yang merajam tubuh

Kita tak sanggup lagi memulai
atau bahkan sekadar mengurai
layaknya kekosongan, kini telah menyusupi bilik kenangan
seperti itulah akhir di kemudian
Bagaimana jika luka menjerit?
menyadarkan igauan tentang  hal  paling sulit: melupakanmu

Hanya saja kau tau: betapa bodoh diriku dalam hal melupakan
Seakan yang terasa cuma rindu yang kian gebu
Memenuhi segala waktu, segala penjuru
Hingga waktu yang kutuju: dirimu

Begitulah ...
Tiada waktu yang benar terhenti
Menjadikan kita riwayat
Hingga 'tak kutemui jalan di antara batas-batas
Hingga 'tak sanggup kudekap waktu
Yang memang, sudah semestinya terlepas
kecuali satu : tentang ingatan
Memudar di senja yang mulai redup perlahan

Yuri & Kharisma
Kediri-Magetan, Februari 2018

Minggu, 07 Juli 2019

Sang Penanti

Separuh purnama telah kau habiskan di pinggir telaga, bertengger rokok di celah bibirmu, secangkir kopi pahit dan kabut membalut tubuh.

Tidak ada hal lain yang kau inginkan selain merayakan sepi dengan bertenang-tenang, menuntaskan amarah dan gelisah, menyaksikan semesta memekarkan bunga-bunga lewat tangisan di sela doa-doa manusia.

Adakah yang lebih tabah darimu? Pikirku saat mengenang kau yang terlalu santai menjalin sepi demi sepi hingga kesendirian bagimu terasa bagai surga dan tak butuh hawa untuk mengobati luka yang sejatinya masihlah basah di dada kau, tapi kau bebat ia dengan kesemogaan dan harapan-harapan kosong. Katamu, penantian.

Ya, bagimu penantian adalah semacam ritual melumat waktu sehingga tiada kata sia-sia. Waktu telah kau miliki seorang diri dengan segala anganmu. Maka, kupikir memang kau adalah orang paling tabah di semesta ini. Memangku doa-doa, menimangnya sayang, mendekap erat cinta yang kekal di dadamu seorang.

Magetan, Juli 2019

LEBIH LAMA

Usai berlabuh di matamu, aku tak ingin ke mana-mana lagi. Jangkar telah kuturunkan dan tertanam di dasar hatimu. Sebagai dermaga, kaulah tambatan bagi rindu yang berwaktu-waktu menjelajah samudra demi samudra, menyingkap rahasia-rahasia. Lalu, kubawakan kisah padamu. Bahwa perjalanan itu telah merintang badai, menjadikan hujan-angin, terik-dingin bertuankan kelembutan cahaya senja. Aku telah kebas dari segala derita. Dan di dermagamu saja aku akan tinggal selama kata lama terasa lebih lama dari selamanya.

Magetan, 07 Juli 2019

BAGAIMANA KITA?

Engkau menawarkan pelukan; dada bidang, rengkuhan kedua lengan, dan cerita tentang kita.

Aku diam, otakku sedang memetakan pertanyaan. Apakah ini jebakan bagi seorang pecinta sepertiku; yang selalu senang akan sanjungan, kehangatan serta banyak hal rencana masa depan?

Masih juga kau tawarkan pelukan itu meski raguku telah sampai pada matamu. Mata yang seumur hidup diajarkan membaca tanda agar tak salah kira perihal rahasia.

Aku tetap diam, bertahan dalam kebergemingan adalah kemenangan sesaat bagi sesak rasaku yang trauma akan kata-kata cinta dan segala rayu.

Tidak ada kata akhir. Sebab kita sama-sama bertahan di tengah puisi yang enggan mengira-ngira bagaimana kita nanti di suatu masa.

Magetan, 07 Juli 2019

Rabu, 03 Juli 2019

Tidak Bisa Lupa

Kutelan sebutir pil tanpa air agar bisa tidur. Bermalam-malam lalu mataku dikacau kenangan buat sedihku berlinang-linang.
Pahit memang, tapi tetap kupaksa masuk tenggorokan, hingga masuk ke dasar pencernaan.

Beberapa menit kemudian, mataku mulai berat. Mulut menguap-nguap tanpa suara. Tubuh menggeliat di sebalik selimut biru muda. Aneh, ternyata kantuk rasanya senikmat ini.

Perlahan mata pejam, sejenak hilang kesadaran.

Aku, ada di mana? Mengapa dia di sini? Bukankah aku sudah melupakannya?

Magetan, Juli 2019

Sajak Untuk Kekasih

Kasih, mari menoreh jejak
bukankah kita adalah tinta
siap menulis cerita di kertas dunia?

Aku selalu sabar menunggu
kau pun tak kalah tabah berjuang
bukankah kita akan melahirkan
kebahagiaan dari penantian?

Magetan, 03 Juli 2019

Lagu Menjelang Pagi

Sekali-kali, aku bangun lebih dini
bahkan mendahului matahari
ada hal yang sengaja ingin kulakukan
bukan sekadar duduk merenung
mengingat sisa hari kemarin
melainkan menekuri tiap detik
dengan merasakan limpahan nikmat
juga selamat bagi hari baru

Sekali-kali, aku bangun lebih dini
bahkan sebelum embun jatuh
telah kubasuh basah hatiku
dengan limpahan doa
yang mengalir di tengadah tangan

Sekali-kali, aku bangun lebih dini
dan bertekad esok memulai lagi
membangunkan semesta yang lelap
lewat nyanyianku di kala senyap

Magetan, 03 Juli 2019

Selasa, 02 Juli 2019

Hari Sebelum Senja

Sebelum senja tiba, kuantar surat ke rumahmu. Nun jauh di sebalik bukit yang rimbun bambu dan disekat hamparan batu. Suratku tak lebih berisi untaian huruf, sebentuk kata. Aku yakin, satu kata itu saja dapat membuatmu paham tentangku.

Aku tahu, kau tak pernah bertanya bagaimana kabarku atau sedikit saja menitipkan pesan-salam lewat deru angin. Tidak. Kau tidak melakukannya. Ketidakberdayaanmu itu adalah jawaban dari segala risauku. Hingga tak usah lagi kubertanya mengapa kau tetap bergeming, meski kupanggil-panggil nama kau dari jarak sekian jauh.

Akhirnya, sebelum senja tiba, surat itu telah sampai pada kau. Tidak ada ucapan selamat datang, kecuali ribuan beburung terbang memutar di atasku. Suasana gaduh tercipta dari cericitnya. Aku tak paham mereka sedang memberi tanda soal apa.

Kau di sana.... Bersandar pada semesta. Menatap jauh ke arah yang tak bisa kugapai. Aku hanya tersenyum. Sebab sekeras apapun kupanggil-panggil nama kau, adakah kau akan berbalik menatapku? Tidak! Aku tahu, tidak akan pernah terkabul apa yang jadi inginku.

Maka, sebelum senja tiba. Kutinggalkan saja surat itu di sebuah permadani yang menghias halaman rumahmu. Berharap setelah aku pulang nanti, kau akan membacanya. Tolong, bacalah surat berwarna jingga ini. Jangan biarkan ripuk seperti surat-surat sebelumnya yang selalu kau abaikan.

Ibu, saat aku berbalik nanti, ingin rasanya kudengar kau mencegah pergi. Banyak sekali keinginan yang tak akan habis jika kutuliskan. Apakah aku terlalu serakah?

Dan tiba matahari angslup, perlahan melingsir ke barat. Semburat cahaya keemasan menyilau mata, membuat duka mengalir dari celah kedipnya.
Ah, Ibu! Terima kasih telah membaca surat berwarna jingga dariku yang hanya bertuliskan RINDU.

Magetan, 02 Juli 2019

Senin, 01 Juli 2019

Bingkai Waktu

Malam meninggi
sementara sepi menepi
ribuan bintang menantang
langit seakan runtuh
menunggu untuk jatuh

Hati-hati sekali, waktu berbisik
layaknya desahmu di kala lelap
"Cinta mana yang kau jaga?
Tidakkah aku saja sudah lebih
dari segala-gala?"

"Berikan padaku rahasia itu,
bagilah denganku! Sebab aku
tak akan pernah menelan mentah
cerita, dan mengabadikannya
meski kau dikenang nama."
Waktu masih saja berbisik,
seolah akan ada jawaban
dari bibirmu yang bulan sabit

Detik melucuti detakmu
waktu pun kembali berucap
"Ceritamu ada bersamaku.
Wahai, tenanglah! Akan kujaga
siapa yang kau cinta
berbekal doa-doamu
yang diamini semesta."

Kau pun, meniada...

Lalu, kudengar waktu
nembangkan kau di telinga
betapa semesta tak pernah lupa
kau adalah bagian daripadanya
pun dari napasku juga

Bagaimana aku akan lupa?

Magetan, 01 Juli 2018