Sebelum senja tiba, kuantar surat ke rumahmu. Nun jauh di sebalik bukit yang rimbun bambu dan disekat hamparan batu. Suratku tak lebih berisi untaian huruf, sebentuk kata. Aku yakin, satu kata itu saja dapat membuatmu paham tentangku.
Aku tahu, kau tak pernah bertanya bagaimana kabarku atau sedikit saja menitipkan pesan-salam lewat deru angin. Tidak. Kau tidak melakukannya. Ketidakberdayaanmu itu adalah jawaban dari segala risauku. Hingga tak usah lagi kubertanya mengapa kau tetap bergeming, meski kupanggil-panggil nama kau dari jarak sekian jauh.
Akhirnya, sebelum senja tiba, surat itu telah sampai pada kau. Tidak ada ucapan selamat datang, kecuali ribuan beburung terbang memutar di atasku. Suasana gaduh tercipta dari cericitnya. Aku tak paham mereka sedang memberi tanda soal apa.
Kau di sana.... Bersandar pada semesta. Menatap jauh ke arah yang tak bisa kugapai. Aku hanya tersenyum. Sebab sekeras apapun kupanggil-panggil nama kau, adakah kau akan berbalik menatapku? Tidak! Aku tahu, tidak akan pernah terkabul apa yang jadi inginku.
Maka, sebelum senja tiba. Kutinggalkan saja surat itu di sebuah permadani yang menghias halaman rumahmu. Berharap setelah aku pulang nanti, kau akan membacanya. Tolong, bacalah surat berwarna jingga ini. Jangan biarkan ripuk seperti surat-surat sebelumnya yang selalu kau abaikan.
Ibu, saat aku berbalik nanti, ingin rasanya kudengar kau mencegah pergi. Banyak sekali keinginan yang tak akan habis jika kutuliskan. Apakah aku terlalu serakah?
Dan tiba matahari angslup, perlahan melingsir ke barat. Semburat cahaya keemasan menyilau mata, membuat duka mengalir dari celah kedipnya.
Ah, Ibu! Terima kasih telah membaca surat berwarna jingga dariku yang hanya bertuliskan RINDU.
Magetan, 02 Juli 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar