Senin, 31 Mei 2021

Seseorang Itu

Di ruangan hanya ada aku. Meringkuk memeluk lutut, menangis sejadi-jadinya namun masih tanpa suara. Bayangkan bagaimana sesaknya?

Aku tidak bisa bebas berteriak, mengeluarkan suara tangis pun enggan, bahkan untuk menjeritkan perihnya harus terpaksa ditahan.

Tidak ada seorangpun yang mendengar. Cukup aku dan Tuhan. Tidak ada seorangpun yang datang. Sebab pintu kukunci dan menolak siapapun yang coba menenangkan. 

Perihal menenangkan, biarkan menjadi tugas Tuhan. Sebab telah turut kutulis dalam doa-doa panjang. Bagaimana Tuhan akan menenangkan, aku pasrahkan pada-Nya, meski dalam hati terdalam, aku berharap seseorang itulah yang ditakdirkan Tuhan untuk menjadi penenangku, sama seperti sebelum-sebelumnya.

Seseorang itu yang selalu kusebut dalam doa. Tidak pernah absen. Hadir tepat waktu dan terucap penuh rindu.

Andaikan seseorang itu tahu....
Andaikan seseorang itu berada di sampingku....
Andaikan seseorang itu....


Sabtu, 29 Mei 2021

Keyakinan Itu....

Bertemu denganmu sebagai orang lain adalah hal yang tak pernah kuinginkan. Bahkan aku sama sekali tak terbayangkan.
Bagaimana rasanya menjadi orang asing, tanpa tegur sapa, bahkan sebatas tatap mata yang rapuh, kehilangan kepedulian dan kasih seperti dulu tak pernah kuharapkan.
Selama ini, kau masih hangat di hati. Meski jarak semakin melebarkan hatimu. Entah, satu-satunya yang tak bisa kubaca adalah matamu, hatimu.

Maka itu, aku memilih bertahan. Berjuang seorang. Karena aku ingin menjadi bagian dari hari-harimu yang setiap waktu mampu membacamu, dan kita menulis kisah bersama. Tidakkah kau ingin?

Aku tak tahu jawabmu.

Tapi, aku yakin akan jawabku.

Dalam Doa

Seseorang menarik lipatan kain di pergelangan tangan dan menggulungnya sampai ke pangkal lengan. Sedikit membungkuk, telapak tangannya menengadah pada aliran air yang jatuh dari keran. Dimulai dari berkumur, membasuh muka, membasah kedua tangan, mengusap kepala dan telinga, hingga membilas kedua kaki. 

Berjalanlah seseorang itu menuju peraduan. Sajadah tergelar. Mukena coklat mulai dikenakan. Dan mulailah ia bertemu Rabb-Nya.

Seseorang itu tampak tidak khusyuk. Bahunya bergetar. Matanya dipejam-pejamkan seolah menahan sesuatu agar tak keluar. 

Rupanya benar. Dalam sujudnya lalu ia mengingat kenangan. Mengingat seseorang lain. Menyakitkan. Penyesalan. Sesak.

Berusaha seseorang itu menampik hal yang datang mengganggu pikiran. Ia tetap berusaha tenang. Semua akan baik-baik saja karena Tuhan yang mengatur rencana.

Bilakah seseorang itu memasrahkan segala-gala pada Tuhan, mengapa masih merasa kacau? Mengapa bertakut jika yang diharapkan tak dikabulkan? Mengapa tak percaya pada takdir indahnya? 

Bilakah seseorang itu hanya berharap pada Tuhan, mengapa masih merasa sesak? Mengapa belum bisa memaafkan diri sendiri, padahal jalan seperti ini karena Tuhan menegur hendak mengampuni? Bukankah Tuhan Maha Pengampun, lalu mengapa seseorang itu bahkan tak bisa menerima kesalahan atas dirinya sendiri?

Panjang sekali.
Lama sekali.
Doa-doa diucap dalam hati.
Satu hal pasti, Tuhan mendengar dan mengetahui.
Maka, hai, seseorang! Jangan risau lagi!

Menjadi Dia

Apakah kamu bisa menjadi dia, yang berkali-kali kehilangan. Entah itu harapan, atau orang-orang yang disayang.

Apakah kamu bisa menjadi dia, yang berkali-kali kecewa. Entah karena orang lain, dan lebih parah karena dirinya sendiri.

Apakah kamu bisa menjadi dia, yang ketika terpuruk karena sesal, maka dia tak pernah bisa menemukan ketenangan. Ujung mana yang bisa dia gapai. Tak ada. Tangis adalah hari-harinya.

Apakah kamu bisa menjadi dia, yang pabila rindu menyesaki dada, hanya mampu memanjatkan doa-doa, begitu panjang dan lama, begitu menyayat dan seringkali dia tak mampu berucap karena mata yang akhirnya berbicara dengan derasnya.

Apakah kamu bisa menjadi dia, tidak. Kamu bukan dia. Kamu adalah kamu. Dia adalah dia dengan perasaan yang tidak bisa dikatakan lagi, karena lebih dari sekadar hancur. Dia adalah dia, yang sedang menebus tawa kemarin dengan laranya kini. 

Dia, sedang menyukupkan diri berbahagia dan tertawa. Dia membuat segalanya mengalir apa adanya dan cukup saja. 

Kamis, 27 Mei 2021

Rindu

ketika mulai mengetik pesan
jemariku gemetar
dadaku bergetar, jantungku lebih cepat berdegup, hatiku serasa dihimpit,
sesak, dan berakhirlah pada isak

ketika kata-kata mengalir bagai deras tangis
sudah tak mampu lagi kubendung isi kepala
kucurahkan segala rasa, tanpa cela
yang kau baca itu, adalah apa adanya
bisakah kau merasakannya?

aku tidak sedang meracau
tapi sedang mencemaskanmu di sana
di tempat yang ingin kujadikan rumah
bagi anak-anak dan kebahagiaan kita
bisakah?
bisakah?

aku di sini,
tidak pernah selangkah pun pergi
dengan hati yang semakin pepat
diisi oleh namamu dan kesunyian
dengan doa-doa yang semakin panjang
untukku, untukmu, untuk kita

Kharisma,  Mei 2021

Kamis, 20 Mei 2021

Pisau

adalah ucapmu 
di mana kata kau asah begitu tajam
menjadi senjata paling berbahaya
membunuh hari-hari yang tak berdosa

adalah ucapmu
sebilah pisau menancap di hati
mengalir darah sampai ke entah
perihnya tak terkatakan lagi


Sajak yang Rapuh

kata-kata pun ringkih
iramanya tak lagi nikmat didengar
seperti kaset rusak, telingaku enggan menerima
lalu hati jadi korbannya

bibir manusia, kerap kali memiliki bisa
bahkan jauh lebih beracun dari seluruh bisa di dunia
bahkan jauh lebih menghancurkan dan percayalah, tak ada penawarnya meski telah berusaha disembuhkan dengan ribuan atau jutaan kata maaf

kita kerap membuat orang lain kecewa
kita manusia, tapi tak lantas bertameng pada kata 'manusia' 
seakan jika menjadi 'manusia' adalah wajar untuk memiliki keliruan
tidak. tidak begitu.
semestinya manusia belajar dari semua hal
menjaga diri agar lebih terarah
menjaga diri agar mampu mengerti

perihku kini, adalah akibat seteru kepala dan hati
kecewaku kini, adalah tikam kata sampai ke palung terdalam
tangisku kini lebih menyayat dari tangis manapun di bumi

aku merindukanmu,
sosok yang bisa menenangkanku ketika pelik sedang erat meliputiku
sosok yang selalu kuharap menjadi bagian dari aminku --setelah pergi, aku lebih sering berdoa untukmu, ternyata benar, kepergian membuat kita tersadar

aku merindukanmu,
dengan cemas dan debar penyesalan
aku mendoakanmu,
berumur panjang dan kita tak lagi dipisahkan

Senin, 17 Mei 2021

Sebuah Cerita Pedih /2/

Angin sore itu seperti membelai rambut pendeknya, desir yang tenang serta membawa aroma basah yang menandakan sebentar lagi hujan akan turun. Dan ia belum beranjak dari bangku di bawah pohon trembesi. Ia masih mengurai isi kepalanya. Satu demi satu. Meski terkadang ia memejamkan mata seolah memaksa ingatannya yang luka untuk berkenang tentang hal-hal pahit itu.

Hal-hal pahit yang ia sesali. Hal-hal pahit yang kini membuatnya kehilangan kepercayaan dari orang lain.

"Setia itu mahal," begitu ucap seseorang padanya.

Ia masih bisa mendengar jelas suara itu. Bahkan ketika ia mengingatnya, ia merasa malu dan mengutuk diri, ia merasa jijik pada diri sendiri. 

Sesal itu telah tertanam. Cukup dalam. Sampai menembus pada hati paling palung. Meski seseorang itu telah jauh, telah tak memiliki rasa percaya, tetap saja, ia berusaha mengubah dirinya, ia membangun setia pada dirinya sendiri. Ia berjanji setia tak akan mengulang.

Setia. Ia bahkan malu mengucapkannya karena telah menjadi pengkhianat sejak ia menanggalkan kata itu pada rayu. Rayu yang semu. Yang membius. Sementara. Bagai peluru menembus ke dada, dan membuat nuraninya mati. Tapi, rencana Tuhan lebih indah. Ia hidup kembali. Hidup dengan sesal. Hidup dengan teguran dari Tuhan atas apa yang telah dilakukan.

Maka, bukankah ia hanya bisa menerima. Meski beberapa malam ia habiskan waktu untuk meratap. Tapi, dalam relungnya, ia bersyukur, karena rupanya Tuhan masih menginginkan ia kembali pada jalan yang benar. Bahwa Tuhan masih menyayanginya sehingga diberikannya rasa pedih seperti itu, dan ia pun sadar, bahwa selama ini nikmat-nikmat dari-Nya telah didustakan.

Sore itu, mendung menggantung. Makin lama makin pekat, makin abu, hitam dan jika dilihat seperti ada beban berat. Ia mendongak.

"Apakah kau terbebani awan? Apakah kau juga ikut merasakan beratnya duhai langit?"

Hening, tapi sebentar kemudian, semesta menghujaninya jawaban yang deras.

"Oh, ternyata memang begitu berat ya!" Katanya lagi.

Hujan turun tanpa jeda. Rintiknya bukan lagi sebatas ricih kecil, melainkan pekat dan rapat. Deras. Deras. Semakin deras.

Ia tidak berteduh. Ia masih mendongak.

"Terima kasih, hujan!"

Ia menangis. Air matanya mengalir tapi cepat-cepat disapu guyuran hujan yang turut mengalir di wajahnya. Ia berpikir, rupanya awan-awan itu telah sampai pada puncak lelahnya menanggung beban. Hingga ada masa semua ditumpahkan. Apakah ia juga akan demikian? Apakah ia juga sama seperti awan-awan itu?

Ia merasa ngeri sendiri. Bagaimana jika benar terjadi? Bagaimana jika ia sudah lelah dan beban itu akhirnya tak dapat lagi ditahan? Apakah ia akan mengguyurkan hujan? Apakah ia akan membuat kemarau tak lagi muncul dan sepanjang tahun hanya ada gemericik hujan, banjir, tanah longsor serta akibat lainnya.

Ia menangis. Menjadi-jadi. Sesaknya semakin terasa. 

"Apakah hujan ini bisa membasuh sesalku? Apakah bisa hujan ini membawa pergi jauh kesedihanku pada aliran yang entah ke mana akan bermuara? Bisakah?"

Ia bertanya-tanya. Pertanyaan yang membuatnya tampak begitu bodoh dan lemah. Tampak? Tidak. Baginya, ia adalah manusia paling lemah. Dan karenanya ia menjadi bodoh. Atau sebaliknya. Ia adalah manusia paling bodoh. Sehingga ia menjadi lemah dan kalah. Sama saja. Ia bodoh. Ia lemah. 

Hujan tak kunjung reda. Genangan air sudah mencapai ketinggian sebatas tumitnya. Ia tetap bergeming. Mendongak kepala. Memejam mata. Butiran-butiran yang jatuh ini membuat titik-titik perih di wajahnya, tapi ia tak peduli. Ia biarkan dirinya tersiksa sendiri.

Hujan semakin rapat saja. Ia sudah tak berdaya untuk sekadar beranjak. Ia ingin merelakan dirinya hanyut bersama air hujan yang mengalir, yang barangkali akan banjir, dan biarkan dirinya menghilang. Ya, hilang sempurnah sampai ia dilupakan oleh ingatan-ingatan orang lain tentangnya.

Serapuh itu dirinya. Bahkan nyawa layaknya barang yang bisa dengan mudah digadaikan. Ia tak peduli. Ia hanya ingin menebus segala kekeliruannya. Mati? Bukankah itu kata yang cukup seram? Dulu, iya. Tapi kini, baginya, kata itu berarti lain. Yaitu, kebebasan.

Bersambung....

Sepertiga Malam

Ada waktu terbaik untukmu menenangkan gelisah. Ialah bila kau terjaga ketika lelap menyerang hebat bahkan masih mendekap orang-orang. Kau bisa kalahkan kantuk itu, kau bergegas mengambil wudlu, kau mengucap salam, bertemu Tuhan.

Ada waktu terbaik untukmu merenung, meresapi kemudian mengambil makna atas apa yang telah terjadi. Kau jadi bisa menimbang, apa yang menimpamu tidak lain berhubungan erat dengan hukum sebab akibat. Kau jadi paham, akar dari pelik adalah dirimu sendiri.

Ada waktu terbaik untuk menata ulang rencana. Kau masih belum terlambat. Bersyukurlah Tuhan mengingatkanmu dan kau tidak semakin terjerumus ketika dalam keadaan yang bisa dikatakan tidak baik, sebaliknya, kau semakin mengingat-Nya dan menyadari.

Akhirnya, kau pun paham. Kau mengerti. Dan kau tidak ingin lekas menyerah meski lelah, meski telah berurai air mata. Kau masih ingin bertahan sampai waktu yang menghentikan. Sebab tak henti-hentinya kau yakin, Tuhan Maha Mendengar berada tepat di hatimu, mendengarmu, dan ada rahasia yang sedang Tuhan kerjakan untuk kebahagiaanmu.

Bila sudah tiba waktu, ingat kembali kejadian menyakitkan ini. Agar kau tidak lupa diri. Agar kau bisa menjaga dan berhati-hati. Agar kau tahu cara mensyukuri nikmat Tuhan yang tak pernah dapat didustakan. 

Percayalah....
Bersabarlah....

Minggu, 16 Mei 2021

Sebuah Cerita Pedih /1/

Sebuah bangku di bawah pohon trembesi itu sudah lama tak ada yang menyinggahi. Terakhir kali, mungkin bertahun lalu, ia duduk di sana. Sisanya hanyalah orang-orang yang berlalu-lalang, sekadar lewat dan tak punya waktu untuk istirahat sejenak.

Dan tahun ini, ia kembali duduk di sana, setelah sekian lama. Ia baru saja keluar dari salon. Rambutnya masih wangi shampoo dengan potongan pendek di atas bahu. Sebelumnya, ia biarkan rambut tergerai sampai ke pantat, tapi karena sudah terlalu jengah, ia memutuskan untuk memotong lebih dari separuh rambut panjangnya. Sedikit menyesal, karena wajahnya terlihat lebih bulat sekarang, tapi senang juga karena rasanya seperti menjadi orang baru dan ia benar-benar siap meninggalkan dirinya yang lama. Ia telah menjadi seseorang yang akan berubah setelahnya.

Duduk di bawah pohon trembesi, ia mendongak memandang lebat daun dan buahnya yang ia kira sebentar lagi buah-buah itu akan berjatuhan dan mengotori jalan di sekitar. Dan ia membayangkan dulu sekali, tatkala pulang sekolah, ia kerap melewati jalan itu memungut buah-buah trembesi, mengumpulkannya dan dibawa pulang. Jika diingat, ia tak habis pikir mengapa melakukan hal itu padahal buah-buah itu tidak ia gunakan untuk apapun juga. Hanya dipandangi, dijejer rapi, setelah bosan lalu dibuang.

Ia tersenyum simpul.

Masa itu, adalah masa yang indah. Tak ada beban berat dipanggulnya kecuali tugas sekolah yang bisa dikerjakan bersama teman-teman. 

Tak lama, ia menunduk, memandangi kedua kakinya berayun bergantian kanan dan kiri, melihat daun dan buah trembesi berserak, mengingat....

Pahit. Sebisa mungkin ia meredam ingatan itu. Sekuat mungkin ia coba untuk tidak kembali pada masa itu. Ia berusaha menepis bayangan itu. Tapi gagal.

Seketika, ia merasa menjadi manusia paling buruk di dunia. Dan ia membayangkan dirinya menjadi buah trembesi itu, lelah bergelayut, memutuskan untuk jatuh dan terserak sia-sia. Diinjak kaki-kaki yang rapuh, ditendang anak-anak yang kelewat riang mendapat hadiah, sampai buah trembesi itu menjadi busuk dan hilang....

Berat. Sesak. Ia sedang menahan air matanya agar tak jatuh. Ia sedang menahan gejolak hatinya agar tak semakin rapuh.
Tapi....
Tapi ia tak bisa.
Maka berlinang sudah bulir bening dari matanya, bergelincir di pipi mulusnya sampai jatuh dan membuat titik basah di baju birunya.

Oh, mengapakah ia semenderita itu? Apakah ia merasa bahwa kesedihan sedang mengepungnya seorang? Apa yang sebenarnya terjadi padanya?

Ia tak berani pulang ke rumah dalam keadaan buruk seperti itu. Ia tak mau orang-orang melihat mata sembab dan murung wajah bulatnya. Ia harus terlihat baik-baik saja. Tersenyum manis kepada siapapun juga.

Oh, bisakah ia bertahan?

Bersambung....

Malam, Baginya....

Malam....
Baginya adalah tangis yang tak kunjung henti
bahkan ia tak tahu, kapankah hari akan menjadi tenang
dan ia berandai, barangkali ketika kematian menjemput lalu semua akan berakhir baik-baik saja. Ya, barangkali saja.

Malam....
Baginya tak ubah seperti jerit serigala yang terdengar ke segala penjuru, membuat bergidik ngeri siapapun yang mendengar, sementara jerit hatinya melejit bagai busur panah menembus angin dan tak tentu arah --tak ada yang peduli
dan ia berpikir alangkah hidup teramat panjang rasanya jika kesedihan mendera
alangkah malam semakin nyala terang jika kecamuk hati sedang ribut-ributnya

Malam....
Tak ada ketenangan baginya
mata tetap terjaga
ingatan semakin bersinar bak rembulan
dan tangis
dan segala yang dirasakan hatinya --sesal, kesal, lelah, jengah, sedih, pedih
menyatu dalam pijar-pijar cahaya
yang menyala dibisik doa


Magetan, 2021

Sabtu, 08 Mei 2021

DALAM DIAM

Kenyataan bahwa kamu sudah tidak peduli adalah hal menyakitkan. Tapi segera aku sadari, bahwa perilakumu begini adalah akibat dari perilakuku juga.

Maka... Aku hanya bisa menerima. Memahami kehendakmu, meski belum berhenti berusaha untuk terus memberimu kabar dan kenyataan kamu tidak pernah merespon satu kata pun.

Tidak mengapa.
Tidak jadi soal buatku.
Aku bisa menerima.
Aku sudah terbiasa.
Tapi rasaku padamu tidak pernah bisa dibilang biasa-biasa saja.

Dalam diam ini, keheningan tak ubahnya pisau yang tajam menusuk. 
Dalam diam ini, doa tak ubahnya mantra yang selalu dirapalkan lalu terselip pula namamu.
Dalam diam ini, rindu tak ubahnya nyamuk yang habis mengisap darah ingatanku.

Bagaimanapun kamu, aku tetap menanti kabar dan sabar :)