Dan tahun ini, ia kembali duduk di sana, setelah sekian lama. Ia baru saja keluar dari salon. Rambutnya masih wangi shampoo dengan potongan pendek di atas bahu. Sebelumnya, ia biarkan rambut tergerai sampai ke pantat, tapi karena sudah terlalu jengah, ia memutuskan untuk memotong lebih dari separuh rambut panjangnya. Sedikit menyesal, karena wajahnya terlihat lebih bulat sekarang, tapi senang juga karena rasanya seperti menjadi orang baru dan ia benar-benar siap meninggalkan dirinya yang lama. Ia telah menjadi seseorang yang akan berubah setelahnya.
Duduk di bawah pohon trembesi, ia mendongak memandang lebat daun dan buahnya yang ia kira sebentar lagi buah-buah itu akan berjatuhan dan mengotori jalan di sekitar. Dan ia membayangkan dulu sekali, tatkala pulang sekolah, ia kerap melewati jalan itu memungut buah-buah trembesi, mengumpulkannya dan dibawa pulang. Jika diingat, ia tak habis pikir mengapa melakukan hal itu padahal buah-buah itu tidak ia gunakan untuk apapun juga. Hanya dipandangi, dijejer rapi, setelah bosan lalu dibuang.
Ia tersenyum simpul.
Masa itu, adalah masa yang indah. Tak ada beban berat dipanggulnya kecuali tugas sekolah yang bisa dikerjakan bersama teman-teman.
Tak lama, ia menunduk, memandangi kedua kakinya berayun bergantian kanan dan kiri, melihat daun dan buah trembesi berserak, mengingat....
Pahit. Sebisa mungkin ia meredam ingatan itu. Sekuat mungkin ia coba untuk tidak kembali pada masa itu. Ia berusaha menepis bayangan itu. Tapi gagal.
Seketika, ia merasa menjadi manusia paling buruk di dunia. Dan ia membayangkan dirinya menjadi buah trembesi itu, lelah bergelayut, memutuskan untuk jatuh dan terserak sia-sia. Diinjak kaki-kaki yang rapuh, ditendang anak-anak yang kelewat riang mendapat hadiah, sampai buah trembesi itu menjadi busuk dan hilang....
Berat. Sesak. Ia sedang menahan air matanya agar tak jatuh. Ia sedang menahan gejolak hatinya agar tak semakin rapuh.
Tapi....
Tapi ia tak bisa.
Maka berlinang sudah bulir bening dari matanya, bergelincir di pipi mulusnya sampai jatuh dan membuat titik basah di baju birunya.
Oh, mengapakah ia semenderita itu? Apakah ia merasa bahwa kesedihan sedang mengepungnya seorang? Apa yang sebenarnya terjadi padanya?
Ia tak berani pulang ke rumah dalam keadaan buruk seperti itu. Ia tak mau orang-orang melihat mata sembab dan murung wajah bulatnya. Ia harus terlihat baik-baik saja. Tersenyum manis kepada siapapun juga.
Oh, bisakah ia bertahan?
Bersambung....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar