Hal-hal pahit yang ia sesali. Hal-hal pahit yang kini membuatnya kehilangan kepercayaan dari orang lain.
"Setia itu mahal," begitu ucap seseorang padanya.
Ia masih bisa mendengar jelas suara itu. Bahkan ketika ia mengingatnya, ia merasa malu dan mengutuk diri, ia merasa jijik pada diri sendiri.
Sesal itu telah tertanam. Cukup dalam. Sampai menembus pada hati paling palung. Meski seseorang itu telah jauh, telah tak memiliki rasa percaya, tetap saja, ia berusaha mengubah dirinya, ia membangun setia pada dirinya sendiri. Ia berjanji setia tak akan mengulang.
Setia. Ia bahkan malu mengucapkannya karena telah menjadi pengkhianat sejak ia menanggalkan kata itu pada rayu. Rayu yang semu. Yang membius. Sementara. Bagai peluru menembus ke dada, dan membuat nuraninya mati. Tapi, rencana Tuhan lebih indah. Ia hidup kembali. Hidup dengan sesal. Hidup dengan teguran dari Tuhan atas apa yang telah dilakukan.
Maka, bukankah ia hanya bisa menerima. Meski beberapa malam ia habiskan waktu untuk meratap. Tapi, dalam relungnya, ia bersyukur, karena rupanya Tuhan masih menginginkan ia kembali pada jalan yang benar. Bahwa Tuhan masih menyayanginya sehingga diberikannya rasa pedih seperti itu, dan ia pun sadar, bahwa selama ini nikmat-nikmat dari-Nya telah didustakan.
Sore itu, mendung menggantung. Makin lama makin pekat, makin abu, hitam dan jika dilihat seperti ada beban berat. Ia mendongak.
"Apakah kau terbebani awan? Apakah kau juga ikut merasakan beratnya duhai langit?"
Hening, tapi sebentar kemudian, semesta menghujaninya jawaban yang deras.
"Oh, ternyata memang begitu berat ya!" Katanya lagi.
Hujan turun tanpa jeda. Rintiknya bukan lagi sebatas ricih kecil, melainkan pekat dan rapat. Deras. Deras. Semakin deras.
Ia tidak berteduh. Ia masih mendongak.
"Terima kasih, hujan!"
Ia menangis. Air matanya mengalir tapi cepat-cepat disapu guyuran hujan yang turut mengalir di wajahnya. Ia berpikir, rupanya awan-awan itu telah sampai pada puncak lelahnya menanggung beban. Hingga ada masa semua ditumpahkan. Apakah ia juga akan demikian? Apakah ia juga sama seperti awan-awan itu?
Ia merasa ngeri sendiri. Bagaimana jika benar terjadi? Bagaimana jika ia sudah lelah dan beban itu akhirnya tak dapat lagi ditahan? Apakah ia akan mengguyurkan hujan? Apakah ia akan membuat kemarau tak lagi muncul dan sepanjang tahun hanya ada gemericik hujan, banjir, tanah longsor serta akibat lainnya.
Ia menangis. Menjadi-jadi. Sesaknya semakin terasa.
"Apakah hujan ini bisa membasuh sesalku? Apakah bisa hujan ini membawa pergi jauh kesedihanku pada aliran yang entah ke mana akan bermuara? Bisakah?"
Ia bertanya-tanya. Pertanyaan yang membuatnya tampak begitu bodoh dan lemah. Tampak? Tidak. Baginya, ia adalah manusia paling lemah. Dan karenanya ia menjadi bodoh. Atau sebaliknya. Ia adalah manusia paling bodoh. Sehingga ia menjadi lemah dan kalah. Sama saja. Ia bodoh. Ia lemah.
Hujan tak kunjung reda. Genangan air sudah mencapai ketinggian sebatas tumitnya. Ia tetap bergeming. Mendongak kepala. Memejam mata. Butiran-butiran yang jatuh ini membuat titik-titik perih di wajahnya, tapi ia tak peduli. Ia biarkan dirinya tersiksa sendiri.
Hujan semakin rapat saja. Ia sudah tak berdaya untuk sekadar beranjak. Ia ingin merelakan dirinya hanyut bersama air hujan yang mengalir, yang barangkali akan banjir, dan biarkan dirinya menghilang. Ya, hilang sempurnah sampai ia dilupakan oleh ingatan-ingatan orang lain tentangnya.
Serapuh itu dirinya. Bahkan nyawa layaknya barang yang bisa dengan mudah digadaikan. Ia tak peduli. Ia hanya ingin menebus segala kekeliruannya. Mati? Bukankah itu kata yang cukup seram? Dulu, iya. Tapi kini, baginya, kata itu berarti lain. Yaitu, kebebasan.
Bersambung....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar