Minggu, 27 Agustus 2017

Sajak Rindu di Tengah Malam

Untukmu yang menjadi baying-bayangku
dalam sepi, ketika tik-tak jam dinding berdenting
dua belas kali dan rembulan sedang cemerlang
tinggi-tinggi di langit yang lindap sunyi

Sudah lelapkah mata wagumu
ataukah keterjagaan sedang menerpa
sepertiku yang enggan terlelap sebab
terlampau panjang gelisah?

Yang mungkin kau pahami sebagai rindu
dibungkam jarak dan waktu, tiada temu
dan kiranya kepastian bersatu

Dalam kepala gelisahku berdenyar tanya
Adakah kau doakan aku sebagai harapan
semoga terkabul menjadi masa depanmu?
Jika, ya, maka kita sama dan sekali lagi tanyaku
berapa kali kau sebut namaku, Tuan?
Dan jika tidak, maka biarkan takdir
yang menjawabnya

Di tengah malam begini, sepi semakin merasuk
bening rindu menjalar liar di kepalaku
menyelimuti setiap ingatan dengan namamu

Di tengah malam begini, aku mendoakanmu
Aku merindukanmu

Kharisma De  Kiyara
Magetan, 27 Agustus 2017
01.09 WIB

Selasa, 22 Agustus 2017

Manusia yang Terlahir Dalam Sepi

Sebelum ia lahir, rahim yang mengandungnya adalah tempat paling hening. Sebermula ia bersemayam di sana, tak mendengar kata-kata, tak melihat cahaya, tak mencium anyir dan wewangi, tak mengenal dunia.

Pada bulan ketujuh tepat ketika purnama sedang berdarah di langit malam yang tiada bintang itu, ia mendengar satu suara. Ialah Ibunya yang berkata terisak-isak.

"Anakku, kelak matamu adalah malam yang purnama menyelimuti hening di langit."

Ia menendang perut ibunya, ingin leluasa merentangkan tangan, menggerakkan kaki, keluar membelah sunyi.

Pada bulan ke delapan tepat ketika Ramadan sudah jatuh pada hari ke tujuh belas, ia mendengar lagi suara Ibunya.

"Anakku, kelak bibirmu adalah doa-doa suci yang menyempurnakan keheningan kita menjadi lebih abadi."

Ia mengejangkan tubuhnya, seketika perut Ibu meliuk-liuk. Tangan Ibu mengusap sambil sesekali merintih. Dan beberapa jenak berlalu ia telah tenang kembali.

                                                                °°°

Ia telah jadi dirinya sendiri sejak tiada sesiapapun dimiliki. Maka ia bermimpi, ingin kembali ke rahim Ibunya dan menerka-terka hidup di dalamnya.

Kini, setelah jauh kakinya melangkah, melewati hari-hari, minggu, bulan dan meninggalkan almanak-almanak, ia kesakitan dengan kesendirian. Beberapa teman hanya dijadikan alasannya bergurau tawa. Lalu, ia akan kembali menjadi dirinya sendiri. Sunyi.

"Aku harus ke mana lagi?" di sebuah almanak yang menggantungkan usianya di angka dua puluh, ia gelisah hendak melintang ke mana lagi. Belahan bumi telah ia telusuri lewat mata yang tak henti mengerjap. Siang malam ia lalui dengan menulis riwayat-riwayat perjalanannya.

"Ke timur... Ke barat... Ke utara... Ke selatan... Ke arah yang tak ada riuh," bisikan itu menggema di telinganya. Tanpa sadar, ia mengangguk. Seakan terhipnotis, kakinya mulai mengayun langkah, tanpa bekal sebutir nasi, setetes air jua. Ia menyisir loka-loka, mendaki tebing-tebing terjal, menuruni lembah-lembah, melewati gurun tandus, menyeberangi lautan, dan...

Sebuah lorong lengang sehadapan dengannya. Gelap. Ia tak mampu meraba seberapa panjang lorong itu. Hatinya bergejolak, _masuk_ , _masuk_ , _lewati_ .

Setelah ribuan menit ia termenung, tanpa perbekalan cahaya langkah kakinya terayun kembali. Memasuki lorong sunyi yang gelap, tiada suara barang lelawa atau cericit penghuni lainnya. Tubuhnya direpetkan ke tembok, menyisir pinggir-pinggir agar tidak terjungkal, barangkali ada batu melintang di tengah jalan.

Napasnya terengah. Di sana sungguh gelap. Mungkin hanya matanya yang cahaya. Napasnya yang bunyi sengal. Ia dengar sendiri embusan napas, detak jantung dan suara ribut di kepalanya. Apakah ini sunyi yang sebenarnya? Mengapa tak ia temui apa-apa? Jangan-jangan, sunyi memang tak menarik. Barangkali, sunyi tak suguhkan apa-apa. Jadi, ia sia-sia berjalan mengayun arahnya mencari kebenaran akan sunyi.

Benar! Ia memang dalam sebuah misi pencarian arti sunyi. Seperti kata mendiang Ibu, "Sunyi adalah kenikmatan. Keindahan yang mata akan jadi buta. Telinga jadi tuli."

"Sunyi adalah rindu yang selalu Ibu tunggu!"

Ia terngiang-ngiang kekata Ibu. Sejauh ini, ia hanya menemukan airmata. Saat sendiri, sepi, ia mengingat kenangan-kenangan selama perjalanan. Yang paling sesak adalah sesal. Kekejaman masa lalu adalah bayang menyeramkan. Dan ia selalu menemukannya saat hening. Saat kepalanya mencari celah memeluk kerinduan yang sebenarnya.

"Apakah rindu sesakit ini?" tanyanya pada diri sendiri.

Lupakan! Ia harus mencari sunyi. Perjalanannya entah masih berapa lama lagi. Sejauh ini, belum ada titik cahaya didapati.

Dalam keletihan yang panjang, saat peluhnya telah banjir, didapatinya kilau cahaya di jarak beberapa ribu inchi. Jalan! Itu adalah jalan. Hati menuntunnya ke sana. Kakinya tak lagi rasa pegal. Semangatnya sudah sampai di ubun-ubun. Apa yang akan diketemukannya di sana?

Laut lagi. Malam lagi. Hamparan pantai yang ombak menyapu dengan debur tenang. Angin malam menusuk tulang. Langit bergumintang, rembulan terang, auman serigala menggelegar. Ia duduk di sana. Merebahkan pantat ke pasir yang lembut.

Ia tak membawa arloji, sekarang pukul berapa, hari apa bahkan ia tak lagi peduli. Tapi ia sudah cukup lama berdiam di sana. Malam terasa begitu panjang. Atau memang malam tak benar-benar hilang?

Saat itulah, di sebelah barat dari laut, ada tebing di mana seorang pertapa akan segera bangun dari seribu tahun pertapaannya. Seorang pertapa dengan janggut sepanjang-panjang hari, mata merah nanar, guratan di wajah yang tak lagi samar. Jelas. Ia pertapa yang tua.

Pertapa itu bernama Ki Lanang. Matanya sempurna terbuka. Ia telah sempurna bertapa seribu tahun lamanya. Di bawah, ia melihat seorang pria sedang memagut dagu pada lutut. Menatap ke laut. Ki Lanang tersenyum kecut.

"Naiklah ke tebing sebelah barat!" suara itu mengagetkan ia yang tengah jengah memandang laut. Ia menerka-terka suara siapakah itu. Berat. Garang. Laki-laki tua sepertinya.

Ia mengikuti arah suara itu sebermula. Ia mendaki tebing, lututnya terluka tergores batu-batu terjal. Tak mengapa, sudah setengah jalan. Ia akan terus mendaki.

Sampailah ia di ketinggian paling hening. Rimbun dedaunan bergesekkan mencipta irama paling seram. Bertolah-toleh, siapa gerangan tadi yang menyuara?

"Ke sini!" ia menoleh ke arah suara. Matanya sejurus menatap pada tubuh yang sangat ringkih. Kurus. Janggut putih menjulur. Mata merah, bibir tertutup rerimbun putih.

"Kau siapa?" tanya laki-laki itu pada si pertapa.

"Terima kasih telah datang membangkitkanku!"

Laki-laki itu mengerut dahi. Tak mengerti.

"Seribu tahun aku menantimu. Kudengar, ada seorang anak yang terlahir dari sunyi akan datang. Maka seketika itu, aku bertapa. Sampai kau datang kini."

"Seribu tahun?" laki-laki itu menekankan tanya.

Ki Lanang mengangguk. "Akulah yang kau cari!"

Laki-laki itu masih tak tahu maksud perkataan si pertapa. Ia duduk sehadapan dengannya. Menatap lekat Ki Lanang, mereka beradu pandang.

Ki Lanang menceritakan sebermula ia di kandungan yang Ibunya membuihkan kesunyian.

"Lihat dirimu! Manusia yang terlahir sepi. Matamu adalah malam berkelindan hening. Yang temaram lindap semakin menjadi. Seorang diri di tengah-tengah langit, tanpa bintang bahkan rembulan, hanya kau berselimut kabut pekat. Juga bibirmu adalah perapal doa sejati yang tak memintakan cahaya, biarkan kegelapan mengepungmu, lebur bersama ingatan yang semakin panjang mengenang. Maka sekali lagi, wajahmu adalah sepi itu sendiri. Tiada raut apa-apa yang kau bagi, kau tikam sendirimu dengan diam. Wajahmu yang biru, wagu, ragu, apalagi? Kau adalah penyendiri paling handal, bersembunyi dibalik parasmu yang tak pernah  selalu  tampak sepi."

"Apa  maksudmu?"

"Aku  adalah  jiwamu. Aku  adalah  bagian  darimu. Aku  dan  kau  adalah  satu. Jiwa  utuh. Sunyi  itu  sendiri,"  laki-laki itu  semakin  tak  mengerti.

Seketika, Ki  Lanang  merubah  wujudnya  merupa kabut  putih. Berputar-putar mengitari tubuh  laki-laki itu. Kabut  putih  itu  lantas  menerjang  tubuhnya, merasukinya. Laki-laki itu  mengejang  dan  tak  sadarkan  diri.

                                                               °°°

Kharisma De Kiyara
Agustus 2017

Rabu, 02 Agustus 2017

KAMU

Di rahim rinduku mengandung namamu
yang tiap detiknya kian membesar
mengalahkan sembilan bulan

Di kanalku penuh aliran napasmu
yang embusannya sederas rasaku
kelak sampai pada muaranya, bertemu

Di ruang sunyi, kudengar sayup suaramu
membisiki sepi supaya jauh-jauh pergi
sebab kau telah datang, menunaikan tugas
menjadi tulang rusuk sejati

Kharisma De  Kiyara
8 Juni 2017

Sajak Untuk Pria yang Setia Menanti

1/
Jika Tuhan menakdirkan, dengan kalamNya
aku sebagai wanitamu
dan kakiku surga bagi peri-peri kita

Maka usah kau risau
sebab semua telah diberikan waktu
untuk menjemputnya : bahagia

2/
Aku percaya
setiamu dengan doa

Buang ragumu
Tuhan telah mengatur segalanya

3/
Aku menanti
di sini

Kharisma De Kiyara
2017

Hati yang Damai dengan Rindu Bahagia

Ketika hari yang dinanti telah tiba, saya tergopoh-gopoh mengambil ponsel dan mengaktifkannya.
Alangkah terkejut, 2000 pesan sesak menyumpal di pesan whatsapp, 3000 pesan di blackberry messenger, 3500 pesan di line dan banyak lagi yang membuat memori ponsel saya hanya tersisa seperempat dari yang semestinya.

Sesiapa saja mereka itu yang mengirimkan permintaan maaf dan ucapan selamat merayakan hari Fitri, di antaranya adalah karib kerabat, sahabat dan beberapa orang yang pernah menebarkan luka.
Lalu, bagaimana saya harus membalas satu-persatu pesan kalau banyak begini? Jemari bisa keriting, mata kering, kepala pusing.

Di rumah, datang seseorang membawakan saya sekardus salam dari jauh. "Saya hanya seorang kurir, ini paket anda seberat cintanya terimalah dengan selamat!"

Saya menyunggingkan senyuman termanis pada si kurir, eh bukan, pada paket dari si dia. Setelah saya buka,  "Wah, Alhamdulillah bisa buat lebaran!" Camilan rasa-rasa menggugah selera.

Semarak sukaria terdengar di mana-mana. Di sudut-sudut sepi tak saya temui lagi keheningan. Hanya rindu kepada ibu dan ayah yang masih sama. Tapi, kali ini, doa telah menyembuhkan lara. Sebab dalam hati meyakinkan, mereka telah bahagia.

Ketika hari yang dinanti tiba, saya dan keluarga berendeng menuju lapangan selesa di antara kelimunan pengudap bahagia. Saya mencium bau-bau yang tak asing. Bau baju baru yang belum dicuci, mukena baru dan sandal-sandal yang juga baru. Hanya beberapa yang saya lihat mengenakan pakaian sederhana dan tetap semringah menyambut hari raya.

Berjabat tangan  kami  semua. Melebur  kesalahan hingga  tersisa  kosong. "Kita  lahir  kembali," kata  saya. Mereka  menyunggingkan senyum. Saya  terharu lantas merindukan  ibu  yang  telah  damai  di  singgasananya sembari membayangkan  beliau  sedang  makan  kue  nastar  kesukaannya.

Kharisma De  Kiyara
Magetan, 25 Juni 2017

TIGA ADALAH TIDAK

: Riski Ayu Apriliandi

Kau hadir tiba-tiba
membawakanku secangkir harapan
berisi  janji  kebahagiaan

Kutawar dengan senyuman
dalam hati, sungguh aku ingin menjadi
sisi rusukmu yang belum  ditemukan

Tapi, kenyataan  terlampau pahit  bagi  kita
menyeduh rasa, sedangkan kau
telah  meluapkan  rindumu  pada  yang  lain  pula

Lalu, aku  ini  apa?
Harapan  yang  kau  patahkan
sebab  kita  memang  tidak  dalam
satu  lajur : perbedaan

Jika  kubilang, hati  ini  terluka
apakah  aku  bersalah?
Sedang  kau  yang  memaksa
rasa  ini  tiba  sebelum  kenyataan
memerlihatkan luka

Lalu, aku  ini  apa?
Doa-doa jenakamu, barangkali
yang  berkata  bahwa  ketiga  itu mungkin
atau  tidak  sama  sekali.

Kharisma De  Kiyara
22 Juli 2017

Kisah Tanpa Suara

: Makhilatul Jannah


Bualan seribu luka kaurekam
di memori ingatan, katamu, mereka
adalah tetumbuhan yang rimbun kepiluan

Maka, detik itu di kepalamu  telah  tertanam
akar-akar  luka  oleh  bibir-bibir
yang  banyak  bicara

Tangismu tak habis-habis kala mengenang
suara-suara nyinyir itu menggema
menyenandungkan kisah-kisah  cendala
yang  tak  sepantasnya

Airmata jatuh berlarat-larat
kau coba menyeka dengan tawa
tapi usaha  itu  sia-sia
kesedihanmu tampak di pelupuk mata
dan bibirmu berkisah  tanpa  suara

Kharisma De  Kiyara
Kamar  sunyi, 19 Juli 2017

KISAH DI KIOS BUNGA

: Kavya Atmaranti

Ingatanku tertuju pada kios bunga, dekat kampusmu
di pinggir jalan yang tak pernah lepas dari kehingaran

Waktu itu, kita sibuk merencanakan pekerjaan
mulai dari jam ini kita akan begini
sampai jam ke sekian kita akan bersama
begitu saja

Di kios bunga itu, aku menampung kelopak-kelopak
mawar tiga warna

Merah
darah yang kuhiasi kerinduan pada pekerjaan
membuat sebuah perhelatan satu kali sepanjang masa

Putih
sebersih itu kecintaanku pada sang pekerjaan
hingga tak ada  kata-kata untuk mengungkapkannya

Merah muda
kelembutan dalam warnanya, serupa kasih
yang kudapat dari pekerjaanku

Tapi, waktu kita terburu denting telepon
dari seberang panggilan, pekerjaan tak sabar menunggu

Padahal kita sedang menunggu jatah merangkai
tetangkai mawar, sebentuk buket cinta

Kita begitu tergesa, waktu memang jahat, kataku

Aku tak mengenal pikir panjang
kuletakkan lagi tetangkai yang sempat terambil
akhirnya, boneka kodok yang berhiaskan toga kebesaran
kubawa lari seusai dibayar

Maaf, katamu, tapi aku tak tahu mengapa bibirmu
berucap begitu

Bukan salahmu, waktu memang suka memburu

Kharisma De  Kiyara
Toko bunga  yang  tak  tahu  namanya, 06 Juli 2017

Kata-Kata yang Berserak Malam Hari

Malam ini, kususuri jalanan sambil
menghitung napas di detik ke sekian

Pada  lalu-lalang  yang  tak  henti-henti
menderu  di  jantung  sunyi
kulihat  kata-kata berserak, tercecer  di  mana-mana
tanpa  ada  iba, mereka  menginjaknya
melewati  dan  berlalu  begitu saja

Kupungut kata-kata itu satu per satu
menjadi sulaman kalimat yang mengalurkan
kisah dari jejak langkah kaki
yang tak pernah tahu jalan kembali

Kharisma De  Kiyara
Magetan, 26 Juli 2017

DOA SEBELUM HUJAN

Bismillah
Tumpahkan kegelisahan pada bumi
dengan tangis mericih-ricih dan
tanah basah digenangi kenangan

Supaya tidak ada cerita yang sia-sia
abadi diserap tanah-tanah menjadi
bagian dari alam, seperti itulah
kisah kita berkembang

Maka jatuhkan butir-butir bening
pada kesumat rindu yang sedang istirah
biarkan habis segala kesah
dan tinggal doa tabah

Pejamkan  mata  dan  biarkan  gigil
memeluk rindumu, sementara  saja

Aamiin

Kharisma De  Kiyara
Magetan, 27 Juli 2017

Untuk Ibu (2)

Ruang dan ranjang pesakitan
membisu jadi saksi kesedihan
duka laraku beranak-pinak
kesedihanku berkembang-biak
tangisku pecah
tawaku jengah
kau yang kucinta menutup mata, selamanya
waktu entah berapa lama
akan kau tinggalkan aku
hari-hariku?
Berkawan airmata
berbalut rindu membabi buta
Ibu...
Tuhan lebih tahu yang terbaik untukmu
Takkan kau kehilangan doa dariku
Aku pun sadar, rindu ini akan terbayar
Hanya ketika aku dan dirimu bertemu

Kharisma De  Kiyara
Magetan, 2015

Untuk Ibu

Kutatap lekat bola matamu yang sayu
Di suatu waktu saat kau tak mengenaliku
Biasanya, kauusap airmataku, tapi kau
hanya memandangiku
Entah apa yang kau gumamkan saat itu
Tanganku tak lepas menggenggam jemarimu
Yang tersemat jarum di sana, aliran apa-entah namanya
memasuki pori kulitmu
Aku berkisah kasih kita
Tapi kau berkisah kasihmu sendiri
Aku mulai menangis
Tak berhenti, semakin menjadi
Menggumamkan namamu
Bersenandung doa dan harapan
Kesembuhan dan umur panjang

Kharisma De  Kiyara
2015

BEDA

Yang terlahir telah ditetapkan takdir
barangkali rupa terlukis serupa
tapi laku? Bahkan waktu tak bisa
menyamainya

Kharisma De  Kiyara
Magetan, 30 Juli 2017

BOHONG

Ketika tak ada telinga percaya
hidup telah benar-benar jadi tuli

Padahal yang sebenarnya tahu
ialah Tuhan dan dirimu sendiri.

Kharisma De  Kiyara
Magetan, 31 Juli 2017

Seragam Kebesaran : Alumni SMADA

Seragam kebesaran yang selalu
kita banggakan masih kusimpan
terlipat rapi di almari

Satu-satunya yang kusisakan
sebab telalu banyak kenangan
mengingatkan aku pernah
mengenakannya, menjadi siswi
SMAN 2 Magetan

Kalian semua, semoga tak pernah lupa
masa kita dulu duduk di bangku dengan
menekuri setiap kata-kata, angka-angka di buku
mencatatnya di kepala dengan sungguh-sungguh

Semoga juga kalian tak kenal lupa
pada guru-guru bijak yang memberikan
jasanya, mengantar murid-murid mereka
ke tempat yang semestinya : kelulusan

Kharisma De Kiyara
30 Juli 2017

Cerpen : Selimut Duka

Gigil menyelimuti para pemimpi surga. Berendeng melangkahkan kaki menuju rumah Tuhan, sebuah surau tak jauh dari rumahku. Kebanyakan dari mereka nampak bergurat senja di tubuhnya. Keriput melilit di sekujurnya. Nenekku salah satu dia antara mereka. Lalu, mereka ada berapa dan siapa saja? Mereka hanya bertiga dan semua adalah tetangga sebelah kanan dan belakang rumah. Bergiat meramaikan surau agar tak kehilangan jamaahnya. Memupuk pahala atas kesadaran usia yang mencapai akhir masa. Sebenarnya Tuhan tak peduli akan usia jika Ia hendak mengambil milikNya kembali. Dan sebab itulah semestinya segala usia, yang telah akhil baliq, mempererat hubungan dengan yang menciptaNya.

Hari itu, nenekku baru pulang dari jamaah subuh di surau sedang aku masih melipat mukena merah jambu yang tadi kukenakan. Langkah kaki nenekku berdebum membikin debar hatiku bergeletar hebat. Sepertinya, ada sesuatu yang tak baik. Karena memang selalu begitu biasanya. Apabila ia tergesa ada pertanda masalah menimpa.

"Innalillahi  wainna  ilaihi rojiun... Anaknya Sulis meninggal dunia, mesti ngelayat ini," serunya sembari meletakkan mukena dan napas tersengal.

"Innalillahi, Ya Allah sakit apa, Nek? Bukankah masih berusia seminggu?" tanyaku penasaran.

"Bayi itu terlahir prematur, sudah ayo lekas ngelayat. Aku mau kabari orang-orang dulu."

"Biar sedikit lebih teranglah, Buk!" kata bibiku yang baru selesai sholat subuh.

Menunggu sampai sriguntig menyingsing, sembari memeluk gigil, aku termenung di teras rumah. Benar saja, Tuhan tak pernah ambil peduli pada usia, status jabatan seseorang, gender dan kekayaan. Jika telah waktu menyudahi perjalanan hidupnya tiada yang bisa menahan ataupun diajak kompromi. Malaikat tak mengenal politik dan serba-serbinya. Ia menjalankan tugasnya dengan taat tanpa mengharap sesuatu apapun kecuali keridhaan Tuhan. Malaikat bukan pejabat yang mudah disuap. Ia lebih tunduk pada Tuhan dengan tak sekali pun membangkang. Cahayalah yang menjadikan keberadaannya selalu dalam jalan terang.

"Ampun Tuhan, malang betul mbak Sulis. Kemarin-kemarin saat bayinya masih empat bulan di kandungan, janin itu gugur. Sekarang, setelah Kau beri lagi kesempatan mengandung dan terlahirlah bayi itu, baru seminggu juga telah tiada," gumamku dengan tangan menopang dagu dan tatapan sayu. Prihatin.

Kubayangkan bagaimana kecamuk jiwa mbak Sulis. Kehilangan anaknya dua kali dengan cara berbeda. Sedang ia dan suaminya mengelu-elukan untuk menimang momongan. Tapi apalah daya, Tuhan belum sepenuhnya mengizinkan. Jalan terbaik atas ini semua adalah pasrah.

Burung-burung beterbangan ke Utara mencuitkan kicauan menyayat. Seolah ia tahu ada duka di daerah yang dilaluinya. Angin tak begitu semilir, matahari belum lagi tinggi masih berkisar di putaran arah jarum jam enam. Tepatnya memang pukul enam. Tak sadar airmataku membanjur di pipi menjiwai kesedihan mbak Sulis. Karena aku adalah wanita, pasti bisa kurasakan juga sakitnya. Apalagi kehilangan yang dicintai untuk selamanya. Aku pernah merasakannya, dan itulah yang membuatku berkelimun ketakutan setiap detik akan kehilangan detak orang-orang yang kusayang, bahkan nyawaku sendiri.

"Ayo kita berangkat ngelayat sekarang!" Bibiku menyeru dari dalam rumah. Aku beringsut dari tempatku bergeming. Menyambar baju muslim dan jilbab hitam. Kuambil selembar rupiah dari dompet dan kumasukkan dalam amplop. Dulu aku terheran-heran apakah uang cukup sebagai tanda duka cita. Mereka kehilangan nyawa, apa guna rupiah setelahnya. Apakah yang telah mati bisa kembali? Apakah rupiah itu mampu menyogok malaikat? Pernah kutanyakan hal itu pada ibuku dulu, katanya bisa membantu kekurangan untuk biaya pemakaman dan selamatan. Aku bungkam, tak melawan  lagi  meski  banyak  pertanyaan berloncatan  di  pikiranku.

Setelah kualami sendiri kejadian itu, aku menampar berulang pikirku. Sampai kurajam atas dosa otakku ini. Ibuku tiada, semua datang melayat dengan airmata lekat, iba yang erat, dan amplop-amplop di baskom depanku. Saat itu aku marah. Aku berduka! Kalian tahu aku kehilangan ibuku selamanya. Lalu, apa guna uang-uang kalian di hadapanku. Ingin kutendang saja baskom itu. Tapi kuurungkan demi menjaga kesopanan dan hati mereka. Maka, aku hanya sanggup berlari ke kamar. Menguncinya rapat dan mengumpat.

Esoknya, barulah aku memahami makna dari pemberian amplop-amplop itu yang sebenarnya. Sama seperti yang dikatakan ibuku. Membantu biaya pemakaman yang saat itu, dua tahun lalu, harga sepetak makan adalah dua ratus ribu rupiah. Setelah itu biaya untuk acara selamatan sampai tubuh hari, uang yang mereka beri sangatlah membantu. Kutampar sekali lagi pikiranku yang sempat tak mengindahkan hal itu.

Bibi dan nenekku telah siap, dari depan rumah beberapa tetangga memanggil-manggil mengajak bersama takziah ke rumah mbak Sulis. Kami berendeng ke sana, di sepanjang jalan tak ada kata-kata lain yang mengisyaratkan kasihan, lebih tepatnya prihatin. Aku berjalan paling belakang, menundukkan pandangan. Menguatkan diriku sendiri, supaya jangan lepas tangis di sana. Karena akan membuat yang berduka semakin larut dalam dukanya.

Tibalah kami di rumah mbak Sulis. Semua bergantian menyalami dan memasukkan amplop dalam wadah di hadapannya. Tiba giliranku yang di hadapan mbak Sulis. Kujabat tangan dan memeluknya. Cairan itu menetes juga, tapi aku berusaha untuk tidak melinangkan air mata sampai menderas.

"Mbak.... Yang sabar ya. Diikhlaskan, InsyaAllah pasti Tuhan akan ganti semua kesedihan. Tuhan punya rencana yang pasti selalu baik," bisikku di telinganya sembari memeluk. Ia menangis dan mengangguk.

Aku tahu ia tak bisa lagi berkata-kata. Kalian tahu, ikhlas itu tidak semudah mengucapkannya. Harus berlalu berapa waktu dan airmata yang terhitung lagi tetesannya. Menderas setiap waktu, belum lagi kecamuk rindu yang terus berlarat-larat. Sebagai yang mengenal Tuhan, makanya dengan sadar dan sabar adalah kunci melewatinya. Percaya akan nikmat Tuhan dan semua pada akhirnya akan kembali padaNya.

Semua di ruangan berduka. Lantunan ayat suci, Yassin, menggema. Aku tak sanggup ikut membacanya, bukannya tak bisa, bibirku bergetar. Inginku segera pulang dan menutup diri di kamar. Menangis sejadi-jadinya. Aku masih berduka, jujur saja. Meski sudah dua tahun lalu, ibu tiada tetap aku di landa rindu setiap detakku. Dan detik begitu jahat menertawaiku.

Aku benar-benar tak sanggup lagi menahan inginku menangis. Tiba saat suami mbak Sulis, menggendong mayat bayinya yang masih seminggu, membawanya ke pembaringan terakhir. Sambil ia menangis dan mbak Sulis terkulai lemas di dekap banyak orang hang juga turut menangis. Bumi redup, mentari tak seterik biasanya. Seperti ikut berduka, hanya saja ia tak mau menangis. Memberikan penguatan, bahwa satu-satunya yang harus dilakukan saat kehilangan adalah berdoa.

Kharisma De Kiyara
26 April 2017

Jemala Kemunafikan

Bibir di jemala itu mengucapkan kata-kata perihal dosa yang mesti ditebus akibat dusta. Apakah  ia  tahu  makna  yang  diucapnya? Begitu  berandang mengalir  serupa  doa  yang  ia  rapal  saban  hari, membuatnya  berpikir  bahwa  setiap  jejaknya  ialah  suci.

Ia  kubra menilai  tabiat  dirinya, sebab  cermin  seringkali  buram  setelah  hujan. Membelamkan  bayangan  dan  ia  tak  sanggup  lagi  meraba  seperti  apa rupa  sebenarnya.

Manusia tak  lagi  pikir  panjang  akan  kekeliruan. Asalkan  ia  senang  dan  perutnya  terbungkam  dari  lapar, sudah  cukup  baginya  bertutur  kebijakan.

Aku  dan yang lain  menggeritkan penolakan, mengatainya  sebagai kemunafikan. Yang  dibibirnya  berkata surga  tapi  hatinya  membatin  neraka. Yang  tindakan  di  muka  umum  bersahaja, di  belakang  ia  membabi  buta.

Sudahi berucap angkuh bergelegak. Jangan  menunggu  Tuhan  yang  membungkam. Itu  sangat  mengerikan!

Kharisma De Kiyara
26 April 2017

Suara-Suara yang Diabaikan

Kita  tahu,
Lama  sunyi  membungkam  ingin  mereka
menyuarakan  kebenaran. Karena  sekali  berucap,
semua  ditentang  dan  impian  ditendang
berlalu  hilang  bersama  angan
Meski  peluh  luruh  membanjur  tubuh
lelah  tak  buat menyerah
Mereka  semakin  menggebu, berlarian
mengejar  harapan 

Tiba satu Mei,
aksara-aksara dipintal rapi
menjalin kata sebentuk kalamkari
dijerengkan tinggi-tinggi

"Kami tak mengajak berperang,
tapi menuntut hak yang hilang."

Tanpa mengepalkan tangan, mereka menyuara lantang
meski dihadang ribuan peluru
yang siap melesak ke jantung  berdetak
menanggalkan  waktu  sampai  tak  berdetik

Mereka tak ambil peduli
langkah  berdebum  pasti
terik  melengkingkan  bunyi
"Dengarkan  suara, kami"

Kharisma De  Kiyara
30 Mei 2017

PERCAYA YANG KECEWA

Bibir  bergetar  menahan  getir
tak  sanggup  lagi  berkata-kata
dan  air  mata  kemudian  yang  jadi  pendoa
Sampai kering kantung mata air di pelupuk
Akankah cukup mengobati hati yang ripuk?

Ialah luka sebab percaya yang telah kecewa
membelamkan rasa tuan dan puan
yang dulunya berendeng merapal doa
di selasar yang selesa

Kini, tak ada  lagi  tawa
kasih  dikara  sirna
bersama  kecewa

Kharisma  De  Kiyara
26 April 2017

SEBAGAI KESUNYIAN

Sebagai kesunyian, ia hadir mendera kesendirian. Membangunkan lamunan yang tengah membayang jauh ke padang halimun, tempat kenangan disimpan.

O, jiwa yang kekal berkenang, sudah sampai angin padang halimun menderau di wajahmu yang beku dan kepala yang telengas penyesalan.

O, jiwa yang kekal berkenang, sudahilah sibuk sepimu!

Kharisma De  Kiyara
Magetan, 30 Juli 2017