Gigil menyelimuti para pemimpi surga. Berendeng melangkahkan kaki menuju rumah Tuhan, sebuah surau tak jauh dari rumahku. Kebanyakan dari mereka nampak bergurat senja di tubuhnya. Keriput melilit di sekujurnya. Nenekku salah satu dia antara mereka. Lalu, mereka ada berapa dan siapa saja? Mereka hanya bertiga dan semua adalah tetangga sebelah kanan dan belakang rumah. Bergiat meramaikan surau agar tak kehilangan jamaahnya. Memupuk pahala atas kesadaran usia yang mencapai akhir masa. Sebenarnya Tuhan tak peduli akan usia jika Ia hendak mengambil milikNya kembali. Dan sebab itulah semestinya segala usia, yang telah akhil baliq, mempererat hubungan dengan yang menciptaNya.
Hari itu, nenekku baru pulang dari jamaah subuh di surau sedang aku masih melipat mukena merah jambu yang tadi kukenakan. Langkah kaki nenekku berdebum membikin debar hatiku bergeletar hebat. Sepertinya, ada sesuatu yang tak baik. Karena memang selalu begitu biasanya. Apabila ia tergesa ada pertanda masalah menimpa.
"Innalillahi wainna ilaihi rojiun... Anaknya Sulis meninggal dunia, mesti ngelayat ini," serunya sembari meletakkan mukena dan napas tersengal.
"Innalillahi, Ya Allah sakit apa, Nek? Bukankah masih berusia seminggu?" tanyaku penasaran.
"Bayi itu terlahir prematur, sudah ayo lekas ngelayat. Aku mau kabari orang-orang dulu."
"Biar sedikit lebih teranglah, Buk!" kata bibiku yang baru selesai sholat subuh.
Menunggu sampai sriguntig menyingsing, sembari memeluk gigil, aku termenung di teras rumah. Benar saja, Tuhan tak pernah ambil peduli pada usia, status jabatan seseorang, gender dan kekayaan. Jika telah waktu menyudahi perjalanan hidupnya tiada yang bisa menahan ataupun diajak kompromi. Malaikat tak mengenal politik dan serba-serbinya. Ia menjalankan tugasnya dengan taat tanpa mengharap sesuatu apapun kecuali keridhaan Tuhan. Malaikat bukan pejabat yang mudah disuap. Ia lebih tunduk pada Tuhan dengan tak sekali pun membangkang. Cahayalah yang menjadikan keberadaannya selalu dalam jalan terang.
"Ampun Tuhan, malang betul mbak Sulis. Kemarin-kemarin saat bayinya masih empat bulan di kandungan, janin itu gugur. Sekarang, setelah Kau beri lagi kesempatan mengandung dan terlahirlah bayi itu, baru seminggu juga telah tiada," gumamku dengan tangan menopang dagu dan tatapan sayu. Prihatin.
Kubayangkan bagaimana kecamuk jiwa mbak Sulis. Kehilangan anaknya dua kali dengan cara berbeda. Sedang ia dan suaminya mengelu-elukan untuk menimang momongan. Tapi apalah daya, Tuhan belum sepenuhnya mengizinkan. Jalan terbaik atas ini semua adalah pasrah.
Burung-burung beterbangan ke Utara mencuitkan kicauan menyayat. Seolah ia tahu ada duka di daerah yang dilaluinya. Angin tak begitu semilir, matahari belum lagi tinggi masih berkisar di putaran arah jarum jam enam. Tepatnya memang pukul enam. Tak sadar airmataku membanjur di pipi menjiwai kesedihan mbak Sulis. Karena aku adalah wanita, pasti bisa kurasakan juga sakitnya. Apalagi kehilangan yang dicintai untuk selamanya. Aku pernah merasakannya, dan itulah yang membuatku berkelimun ketakutan setiap detik akan kehilangan detak orang-orang yang kusayang, bahkan nyawaku sendiri.
"Ayo kita berangkat ngelayat sekarang!" Bibiku menyeru dari dalam rumah. Aku beringsut dari tempatku bergeming. Menyambar baju muslim dan jilbab hitam. Kuambil selembar rupiah dari dompet dan kumasukkan dalam amplop. Dulu aku terheran-heran apakah uang cukup sebagai tanda duka cita. Mereka kehilangan nyawa, apa guna rupiah setelahnya. Apakah yang telah mati bisa kembali? Apakah rupiah itu mampu menyogok malaikat? Pernah kutanyakan hal itu pada ibuku dulu, katanya bisa membantu kekurangan untuk biaya pemakaman dan selamatan. Aku bungkam, tak melawan lagi meski banyak pertanyaan berloncatan di pikiranku.
Setelah kualami sendiri kejadian itu, aku menampar berulang pikirku. Sampai kurajam atas dosa otakku ini. Ibuku tiada, semua datang melayat dengan airmata lekat, iba yang erat, dan amplop-amplop di baskom depanku. Saat itu aku marah. Aku berduka! Kalian tahu aku kehilangan ibuku selamanya. Lalu, apa guna uang-uang kalian di hadapanku. Ingin kutendang saja baskom itu. Tapi kuurungkan demi menjaga kesopanan dan hati mereka. Maka, aku hanya sanggup berlari ke kamar. Menguncinya rapat dan mengumpat.
Esoknya, barulah aku memahami makna dari pemberian amplop-amplop itu yang sebenarnya. Sama seperti yang dikatakan ibuku. Membantu biaya pemakaman yang saat itu, dua tahun lalu, harga sepetak makan adalah dua ratus ribu rupiah. Setelah itu biaya untuk acara selamatan sampai tubuh hari, uang yang mereka beri sangatlah membantu. Kutampar sekali lagi pikiranku yang sempat tak mengindahkan hal itu.
Bibi dan nenekku telah siap, dari depan rumah beberapa tetangga memanggil-manggil mengajak bersama takziah ke rumah mbak Sulis. Kami berendeng ke sana, di sepanjang jalan tak ada kata-kata lain yang mengisyaratkan kasihan, lebih tepatnya prihatin. Aku berjalan paling belakang, menundukkan pandangan. Menguatkan diriku sendiri, supaya jangan lepas tangis di sana. Karena akan membuat yang berduka semakin larut dalam dukanya.
Tibalah kami di rumah mbak Sulis. Semua bergantian menyalami dan memasukkan amplop dalam wadah di hadapannya. Tiba giliranku yang di hadapan mbak Sulis. Kujabat tangan dan memeluknya. Cairan itu menetes juga, tapi aku berusaha untuk tidak melinangkan air mata sampai menderas.
"Mbak.... Yang sabar ya. Diikhlaskan, InsyaAllah pasti Tuhan akan ganti semua kesedihan. Tuhan punya rencana yang pasti selalu baik," bisikku di telinganya sembari memeluk. Ia menangis dan mengangguk.
Aku tahu ia tak bisa lagi berkata-kata. Kalian tahu, ikhlas itu tidak semudah mengucapkannya. Harus berlalu berapa waktu dan airmata yang terhitung lagi tetesannya. Menderas setiap waktu, belum lagi kecamuk rindu yang terus berlarat-larat. Sebagai yang mengenal Tuhan, makanya dengan sadar dan sabar adalah kunci melewatinya. Percaya akan nikmat Tuhan dan semua pada akhirnya akan kembali padaNya.
Semua di ruangan berduka. Lantunan ayat suci, Yassin, menggema. Aku tak sanggup ikut membacanya, bukannya tak bisa, bibirku bergetar. Inginku segera pulang dan menutup diri di kamar. Menangis sejadi-jadinya. Aku masih berduka, jujur saja. Meski sudah dua tahun lalu, ibu tiada tetap aku di landa rindu setiap detakku. Dan detik begitu jahat menertawaiku.
Aku benar-benar tak sanggup lagi menahan inginku menangis. Tiba saat suami mbak Sulis, menggendong mayat bayinya yang masih seminggu, membawanya ke pembaringan terakhir. Sambil ia menangis dan mbak Sulis terkulai lemas di dekap banyak orang hang juga turut menangis. Bumi redup, mentari tak seterik biasanya. Seperti ikut berduka, hanya saja ia tak mau menangis. Memberikan penguatan, bahwa satu-satunya yang harus dilakukan saat kehilangan adalah berdoa.
Kharisma De Kiyara
26 April 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar