Selasa, 22 Agustus 2017

Manusia yang Terlahir Dalam Sepi

Sebelum ia lahir, rahim yang mengandungnya adalah tempat paling hening. Sebermula ia bersemayam di sana, tak mendengar kata-kata, tak melihat cahaya, tak mencium anyir dan wewangi, tak mengenal dunia.

Pada bulan ketujuh tepat ketika purnama sedang berdarah di langit malam yang tiada bintang itu, ia mendengar satu suara. Ialah Ibunya yang berkata terisak-isak.

"Anakku, kelak matamu adalah malam yang purnama menyelimuti hening di langit."

Ia menendang perut ibunya, ingin leluasa merentangkan tangan, menggerakkan kaki, keluar membelah sunyi.

Pada bulan ke delapan tepat ketika Ramadan sudah jatuh pada hari ke tujuh belas, ia mendengar lagi suara Ibunya.

"Anakku, kelak bibirmu adalah doa-doa suci yang menyempurnakan keheningan kita menjadi lebih abadi."

Ia mengejangkan tubuhnya, seketika perut Ibu meliuk-liuk. Tangan Ibu mengusap sambil sesekali merintih. Dan beberapa jenak berlalu ia telah tenang kembali.

                                                                °°°

Ia telah jadi dirinya sendiri sejak tiada sesiapapun dimiliki. Maka ia bermimpi, ingin kembali ke rahim Ibunya dan menerka-terka hidup di dalamnya.

Kini, setelah jauh kakinya melangkah, melewati hari-hari, minggu, bulan dan meninggalkan almanak-almanak, ia kesakitan dengan kesendirian. Beberapa teman hanya dijadikan alasannya bergurau tawa. Lalu, ia akan kembali menjadi dirinya sendiri. Sunyi.

"Aku harus ke mana lagi?" di sebuah almanak yang menggantungkan usianya di angka dua puluh, ia gelisah hendak melintang ke mana lagi. Belahan bumi telah ia telusuri lewat mata yang tak henti mengerjap. Siang malam ia lalui dengan menulis riwayat-riwayat perjalanannya.

"Ke timur... Ke barat... Ke utara... Ke selatan... Ke arah yang tak ada riuh," bisikan itu menggema di telinganya. Tanpa sadar, ia mengangguk. Seakan terhipnotis, kakinya mulai mengayun langkah, tanpa bekal sebutir nasi, setetes air jua. Ia menyisir loka-loka, mendaki tebing-tebing terjal, menuruni lembah-lembah, melewati gurun tandus, menyeberangi lautan, dan...

Sebuah lorong lengang sehadapan dengannya. Gelap. Ia tak mampu meraba seberapa panjang lorong itu. Hatinya bergejolak, _masuk_ , _masuk_ , _lewati_ .

Setelah ribuan menit ia termenung, tanpa perbekalan cahaya langkah kakinya terayun kembali. Memasuki lorong sunyi yang gelap, tiada suara barang lelawa atau cericit penghuni lainnya. Tubuhnya direpetkan ke tembok, menyisir pinggir-pinggir agar tidak terjungkal, barangkali ada batu melintang di tengah jalan.

Napasnya terengah. Di sana sungguh gelap. Mungkin hanya matanya yang cahaya. Napasnya yang bunyi sengal. Ia dengar sendiri embusan napas, detak jantung dan suara ribut di kepalanya. Apakah ini sunyi yang sebenarnya? Mengapa tak ia temui apa-apa? Jangan-jangan, sunyi memang tak menarik. Barangkali, sunyi tak suguhkan apa-apa. Jadi, ia sia-sia berjalan mengayun arahnya mencari kebenaran akan sunyi.

Benar! Ia memang dalam sebuah misi pencarian arti sunyi. Seperti kata mendiang Ibu, "Sunyi adalah kenikmatan. Keindahan yang mata akan jadi buta. Telinga jadi tuli."

"Sunyi adalah rindu yang selalu Ibu tunggu!"

Ia terngiang-ngiang kekata Ibu. Sejauh ini, ia hanya menemukan airmata. Saat sendiri, sepi, ia mengingat kenangan-kenangan selama perjalanan. Yang paling sesak adalah sesal. Kekejaman masa lalu adalah bayang menyeramkan. Dan ia selalu menemukannya saat hening. Saat kepalanya mencari celah memeluk kerinduan yang sebenarnya.

"Apakah rindu sesakit ini?" tanyanya pada diri sendiri.

Lupakan! Ia harus mencari sunyi. Perjalanannya entah masih berapa lama lagi. Sejauh ini, belum ada titik cahaya didapati.

Dalam keletihan yang panjang, saat peluhnya telah banjir, didapatinya kilau cahaya di jarak beberapa ribu inchi. Jalan! Itu adalah jalan. Hati menuntunnya ke sana. Kakinya tak lagi rasa pegal. Semangatnya sudah sampai di ubun-ubun. Apa yang akan diketemukannya di sana?

Laut lagi. Malam lagi. Hamparan pantai yang ombak menyapu dengan debur tenang. Angin malam menusuk tulang. Langit bergumintang, rembulan terang, auman serigala menggelegar. Ia duduk di sana. Merebahkan pantat ke pasir yang lembut.

Ia tak membawa arloji, sekarang pukul berapa, hari apa bahkan ia tak lagi peduli. Tapi ia sudah cukup lama berdiam di sana. Malam terasa begitu panjang. Atau memang malam tak benar-benar hilang?

Saat itulah, di sebelah barat dari laut, ada tebing di mana seorang pertapa akan segera bangun dari seribu tahun pertapaannya. Seorang pertapa dengan janggut sepanjang-panjang hari, mata merah nanar, guratan di wajah yang tak lagi samar. Jelas. Ia pertapa yang tua.

Pertapa itu bernama Ki Lanang. Matanya sempurna terbuka. Ia telah sempurna bertapa seribu tahun lamanya. Di bawah, ia melihat seorang pria sedang memagut dagu pada lutut. Menatap ke laut. Ki Lanang tersenyum kecut.

"Naiklah ke tebing sebelah barat!" suara itu mengagetkan ia yang tengah jengah memandang laut. Ia menerka-terka suara siapakah itu. Berat. Garang. Laki-laki tua sepertinya.

Ia mengikuti arah suara itu sebermula. Ia mendaki tebing, lututnya terluka tergores batu-batu terjal. Tak mengapa, sudah setengah jalan. Ia akan terus mendaki.

Sampailah ia di ketinggian paling hening. Rimbun dedaunan bergesekkan mencipta irama paling seram. Bertolah-toleh, siapa gerangan tadi yang menyuara?

"Ke sini!" ia menoleh ke arah suara. Matanya sejurus menatap pada tubuh yang sangat ringkih. Kurus. Janggut putih menjulur. Mata merah, bibir tertutup rerimbun putih.

"Kau siapa?" tanya laki-laki itu pada si pertapa.

"Terima kasih telah datang membangkitkanku!"

Laki-laki itu mengerut dahi. Tak mengerti.

"Seribu tahun aku menantimu. Kudengar, ada seorang anak yang terlahir dari sunyi akan datang. Maka seketika itu, aku bertapa. Sampai kau datang kini."

"Seribu tahun?" laki-laki itu menekankan tanya.

Ki Lanang mengangguk. "Akulah yang kau cari!"

Laki-laki itu masih tak tahu maksud perkataan si pertapa. Ia duduk sehadapan dengannya. Menatap lekat Ki Lanang, mereka beradu pandang.

Ki Lanang menceritakan sebermula ia di kandungan yang Ibunya membuihkan kesunyian.

"Lihat dirimu! Manusia yang terlahir sepi. Matamu adalah malam berkelindan hening. Yang temaram lindap semakin menjadi. Seorang diri di tengah-tengah langit, tanpa bintang bahkan rembulan, hanya kau berselimut kabut pekat. Juga bibirmu adalah perapal doa sejati yang tak memintakan cahaya, biarkan kegelapan mengepungmu, lebur bersama ingatan yang semakin panjang mengenang. Maka sekali lagi, wajahmu adalah sepi itu sendiri. Tiada raut apa-apa yang kau bagi, kau tikam sendirimu dengan diam. Wajahmu yang biru, wagu, ragu, apalagi? Kau adalah penyendiri paling handal, bersembunyi dibalik parasmu yang tak pernah  selalu  tampak sepi."

"Apa  maksudmu?"

"Aku  adalah  jiwamu. Aku  adalah  bagian  darimu. Aku  dan  kau  adalah  satu. Jiwa  utuh. Sunyi  itu  sendiri,"  laki-laki itu  semakin  tak  mengerti.

Seketika, Ki  Lanang  merubah  wujudnya  merupa kabut  putih. Berputar-putar mengitari tubuh  laki-laki itu. Kabut  putih  itu  lantas  menerjang  tubuhnya, merasukinya. Laki-laki itu  mengejang  dan  tak  sadarkan  diri.

                                                               °°°

Kharisma De Kiyara
Agustus 2017

Tidak ada komentar: