Rabu, 20 November 2019

HARI YANG TERLAMBAT

:Yuri

Mataku melewatkan segalanya
satu hari tanpa cahaya
gelap, tak menahu arah menujumu

Jika kau bertanya, mengapa bisa terjadi
maka tak ada jawabku selain sesal
yang kusesakkan di dada, disertai
gemetar di syaraf-syaraf mata
buatku ingin muntap, namun
tertahan oleh isak

Jarak ini, tak bisa buatku leluasa
menenangkan gelisah. Andai saja
di dekatmu, akan kutemukan dekap
akan kudengar lagi degup jantungmu
yang bernyanyi sendu

Lalu, berandai-andai adalah keahlianku
men-jika-jika-jan keadaan, tak tahu siapa
harus dipersalahkan!

Satu hari cukup menyakitkanmu, barangkali
karena tak ada kecup puisi bagi bibir aksaramu
yang selalu merindu bait-bait berlagu

Kekasih, izinkan aku menebus
hari yang terlambat kutemui
dengan seribu cahaya menyala
di gulita gundahmu

Kharisma
Magetan, November 2019

KITA

Yang berlalu biarlah waktu
jangan rindumu

Sebab telah kita kekalkan cerita
agar ia bersaksi di kemudian hari
bahwa kita pernah hadir
di sebuah lubuk yang sepi

Betapa tawa tangis pernah singgah
bertamu sebentar-sebentar
barangkali tak ada yang betah dengan kita
entah mengapa...

Suatu masa nanti, aku ingin
kau kembali ke jalan-jalan ingatan
menyusur kembali lajur dan kelokan
tidak untuk apa-apa, hanya supaya
kau tak lupa bahwa kita pernah satu kata.

Magetan, 2019

Jumat, 04 Oktober 2019

Sepimu, Apakah Membutuhkanku?

Sekali saja, marahlah kepadaku seperti kau memaki angin yang menerbangkan rindu kita sampai jauh. Membikin jarak kian terentang antara dadaku dan sepimu.

Sepiku, barangkali hanya memerlukan dadamu yang tenang itu. Di sana, akan kurebahkan tubuhku yang menggigil demi mencium hangat napasmu. Dan kudengar sajak-sajakmu lagi setelah bertahun hiatus dari gemerlap rasa. Bukankah kini kau sudah bertemu dengan sepi yang menjadi-jadi? Jadi kau bisa bersajak lagi, menumpahkan isi dadamu.

Lalu, sepimu? Apakah membutuhkanku?

Magetan, 2019

Senin, 16 September 2019

Ibu

Ibu, begitu jelas kau di pandanganku
sedekat ini, tapi tak bisa kurengkuh tubuhmu

Aku ingin memelukmu
mendengar suaramu
melihat hari-harimu berderai tawa
atau kita menangis bersama

Segala hal tentangmu, Ibu
abadi di sini
di hatiku

Magetan, September 2019

Sabtu, 14 September 2019

Tangisan Sepi

Pernahkah ia mengeluh, Tuhan? Jika pernah, tolong katakan padaku, apa yang sejatinya ia keluhkan? Apakah tentang aku?

Apa yang ia minta padamu, Tuhan? Tolong, izinkan aku mengetahuinya. Apakah ada aku di setiap pinta doanya?

Ia memang pandai berahasia. Bahkan bibirnya tetap sumringah meski menahan dahaga. Bahkan matanya tetap berbinar, meski semalaman ia memeras air mata.

Aku mendengarnya. Mendengar sesenggukan itu, suara dari hati yang mengalir melalui mata. Isakan sendu itu, Tuhan, apakah waktu itu Kau datang menyekanya?

Kudengar ia selalu terisak saat bertemu dengan-Mu, saat ia mengira bahwa aku sedang memilin impian. Tapi, Kau pasti tahu bukan? Dalam diam, aku terjaga, seluruh indraku waspada, menangkap dengan awas apa saja yang ia lakukan saat keheningan meninggi.

Segalanya tinggal memori. Kenangan tanpa jawaban akan apa yang ia keluhkan dan inginkan.

Magetan, 2019

SEBENTAR LAGI HUJAN TURUN

Sebentar lagi hujan turun, percayalah!

Awan telah mengandung kesedihan
meski kadang mendung datang sebentar-sebentar
tengoklah keluar jendela
hiruplah aroma basah, bukankah itu sudah jadi pertanda?

Langit enggan berdusta, ia mengantar pesan padamu agar kau percaya
sebentar lagi hujan turun
merayakan kesedihan bersamamu disaksikan semesta

Kau dan hujan, akan bertemu pada saat tepat
saat air mata kau jatuh berlarat-larat
saat hujan deras turut membasuh matamu
dan genap sudah segala-gala kesedihan dirayakan

Magetan, 2019

Selasa, 27 Agustus 2019

Sebuah Memori di Pinggir Telaga

Kubiarkan kau menyisir sekeliling telaga
mengikuti jejak tapak kaki kuda, mengunjungi
deretan kios dan penjaja sate kelinci

Sesekali kau bermain gawai
membuka album kenangan bertahun lalu
ternyata telaga ini masih sama
tak jauh berbeda, hanya saja
dulu terik suka mengumpat
sekarang kabut terasa pekat

Mata pedih kau seka
album kenangan itu meninggalkan makna
sebagaimana kau percaya, bahwa
waktu tak pernah tua hanya ingatanmu
yang semakin tajam mengasah logika

Magetan, 2019

Kamis, 22 Agustus 2019

IKHLAS

Malam tenang,
di kejauhan kau meraih bintang
tampak cahaya digenggam tanganmu
berpendar menggenapi sepi

Aku di sini,
di lipatan waktu paling tinggi
mendekap erat ingatan
agar tak menjauh sampai ke pagi

Sudahkah sampai doaku?

Atau masih tertinggal ketidakrelaan itu?

Tidak....

Aku rela
Aku hanya....
Hanya sedang berduka
merasa hampa setelah kau tiada

Bukankah itu wajar?

Sewajar pagi yang terburu-buru pergi
sebab matahari suka berlari memburu hari
hingga aku tak sadar kau sudah pergi
lebih lama dari ingatanku

Magetan, Agustus 2019

LUMUT PUN RINDU

Kau sandarkan bahu di sana
tempat lumut-lumut mengerak
kehijauan menutupi bata merah
Kau senang berkeluh kesah
membisikkan rahasia-rahasia
perihal rencana dan harapan
bagi orang-orang terkasih

Meski terik, lumut itu tetap hijau
sebab kau sering menyiramnya
dengan air mata
kau rawat lumut itu seperti
anak-cucu sendiri

Kini, semua berubah jauh
lumut mengerak tak lagi hijau teduh
coklat tua mengering
kering
sangat kering
aku coba menyiramnya
menyuburkannya
tapi Tuhan selalu berkehendak lain

Barangkali, lumut-lumut itu rindu padamu
pada setia kasih dan kisah
serta ketulusan hatimu

Magetan, Agustus 2019

Minggu, 04 Agustus 2019

KABUT KESEDIHAN

Apapun yang terjadi, aku harus lebih kuat dan bisa mengalahkan kekhawatiran ini.

Seperti yang menimpa ibu empat tahun lalu, hari ini, Nenekku tidak sadarkan diri. Beliau jatuh tersungkur tanpa ada yang mengetahui, hanya suara dengkur dari bibirnya tak henti-henti.
Seberapa banyak kami memanggilnya, beliau tetap memejamkan mata. Tapi aku tahu, beliau mampu mendengar kami semua.

Di sini lagi, di ruang yang berisik alat medis ini, tubuhnya terpasang berbagai alat. Hatiku menjerit dan tangis tak bisa lagi ditahan.

Kami berharap yang terbaik bagi keadaan beliau sekarang. Kami menyayangi Nenek, sangat menyayangi.

Sabtu, 03 Agustus 2019

KISAH SEORANG DIRI

Hari ini, ia bertakut pada kesepian
usia menjawab bahwa pelukan-pelukan
di masa lalu hanyalah kenangan

Pasal tak bisa melupakan adalah kelemahan
bagi otak sunyinya yang sesak cerita
ia tuliskan jejak-jejak, terkumpul jadi riwayat

Sewaktu-waktu, cerita itu tergelar
kadang disaksikan biru semesta bisa pula bisu senja. Terserah saja, karena ia tak pernah soalkan masa. Ia hanya tahu, bahwa kepalanya butuh teman mendengar, bahwa sepinya ingin dilipur, bahwa dirinya belum juga menemukan tempat mendengkur. Pulas-memejamkan kenang dan mulai memimpikan hal-hal baru di masa mendatang.

Di dunia ini, tak ada seorang pun berani menegur. Mereka hanya merasa iba pada ia yang papa tanpa sanggup menghibur hatinya.

Magetan, Agustus 2019

ULAR DALAM GOA

Seekor ular dalam goa
bertapa bertahun lamanya
semoga demi semoga ia jalin
menjadi almanak penentu musim

Musim apa ini gerangan
yang mendatangkan duka
bagi para pecinta?
Luka-luka ditabur rata
derai tangis menyemai kebencian
Duhai, musim apa ini
yang menciptakan air mata?

Dalam pertapaan panjang
ular pulas memejam doa
lama ia memendam lara
melupakan dunia

Magetan, Agustus 2019

LANGIT MASIH BIRU

Langit masih biru, Kekasih
saat kau tinggalkan ruang ini
bersama setumpuk kenang
di sudut-sudut hening

Aku tahu, kau baru saja
merayakan kelahiran kedua
di sepanjang tahun ini
yang ribut angin membadai

Sadar, aku bukanlah apa atau siapa
bagi orang sepertimu
bijak, teduh dan selalu biru
menyeimbangkan degup dadaku

Aku hanyalah seorang biasa
senantiasa bertopeng kata-kata
hingga setiap orang membacaku
seperti puisi berkasih haru

Langit masih biru, Kekasih
saat aku mengingatmu di sini
di ruang hening
dalam dadaku

Magetan, Agustus 2019

Minggu, 28 Juli 2019

Untuk Nenekku

Selain pada-Nya, hendak siapa lagi yang akan kuceritakan betapa sedihnya aku hari ini. Terlepas dari seberapa banyak dan kerasnya aku tertawa, jauh dalam hatiku ada jerit di keheningan di mana hanya aku yang bisa mendengar hingga sesak dadaku sampai panas mata menahan gejolak kesedihan.

Aku tidak suka kehilangan! Tidak juga kalian bukan? Kehilangan adalah hal yang sejak awal paling sulit kuterima meski pada akhirnya waktu mengaburkan segalanya dan aku mulai sadar tak ada jalan lain selain ikhlas. Tapi, pada proses mengikhlaskan itulah aku harus berperang dengan diriku sendiri, dengan keadaan dan berusaha menyadarkan diri bahwa yang sebenar-benarnya terjadi adalah rencana Tuhan.

Senja ini, aku tidak ingin menangis. Tapi siapa bakal tahu apa yang akan terjadi di kemudian.... Barang sedetik ke depan saja kita tidak bisa menduga. Dan terjadilah, tangisku tidak lagi bisa ditahan.

Sebagai pengganti ibuku yang telah wafat, aku senantiasa inginkan beliau sehat. Meski sampai saat ini banyak sekali kekuranganku dalam menjaga dan merawatnya. Melihat beliau terbaring lemas dengan pandangan mata kosong rasanya sangat menyesakkan. Aku ingin menyelami palung matanya itu hingga menembus ke dasar pikirannya dan menemukan apa yang sebenarnya beliau renungkan.

Benarkah aku? Benarkah aku seperti yang beliau katakan saat aku bertanya apa yang sedang kau pikirkan?

Aku menahan tangis di depannya dan di depan semua orang. Hanya saat sendiri aku meluapkan emosi mataku yang akhirnya harus basah tanpa bisa kutahan.

Semoga lekas sembuh, ingat, saat begini barulah aku tahu seberapa besar sayangku padamu.

Untuk nenekku
Magetan, Juli 2019

Jumat, 26 Juli 2019

Waktu yang Telah Usai untuk Kita Mulai (Kolaborasi Puisi Yuri dan Kharisma)


Muasal waktu yang menggeluti hari
Terlalu pagi kau menyuarakan isi hati
Aku terdiam malu di antara melati
Menatap wajah sayu berpaling diri

Akankah nanti kembali?
Barangkali, sekadar untuk berkisah
Tentang rahasia kehilangan,
Atau tentang isak tangis yang tak kunjung padam
sebelum pelangi jatuh tenggelam

Waktu seakan telah usai menuliskan kisah
Sedangkan kita telah runtuh sebelum terbangun utuh
Menyisa remah-remah yang kupungut dari keramik basah
Dan kususun kembali bersama luka yang merajam tubuh

Kita tak sanggup lagi memulai
atau bahkan sekadar mengurai
layaknya kekosongan, kini telah menyusupi bilik kenangan
seperti itulah akhir di kemudian
Bagaimana jika luka menjerit?
menyadarkan igauan tentang  hal  paling sulit: melupakanmu

Hanya saja kau tau: betapa bodoh diriku dalam hal melupakan
Seakan yang terasa cuma rindu yang kian gebu
Memenuhi segala waktu, segala penjuru
Hingga waktu yang kutuju: dirimu

Begitulah ...
Tiada waktu yang benar terhenti
Menjadikan kita riwayat
Hingga 'tak kutemui jalan di antara batas-batas
Hingga 'tak sanggup kudekap waktu
Yang memang, sudah semestinya terlepas
kecuali satu : tentang ingatan
Memudar di senja yang mulai redup perlahan

Yuri & Kharisma
Kediri-Magetan, Februari 2018

Minggu, 07 Juli 2019

Sang Penanti

Separuh purnama telah kau habiskan di pinggir telaga, bertengger rokok di celah bibirmu, secangkir kopi pahit dan kabut membalut tubuh.

Tidak ada hal lain yang kau inginkan selain merayakan sepi dengan bertenang-tenang, menuntaskan amarah dan gelisah, menyaksikan semesta memekarkan bunga-bunga lewat tangisan di sela doa-doa manusia.

Adakah yang lebih tabah darimu? Pikirku saat mengenang kau yang terlalu santai menjalin sepi demi sepi hingga kesendirian bagimu terasa bagai surga dan tak butuh hawa untuk mengobati luka yang sejatinya masihlah basah di dada kau, tapi kau bebat ia dengan kesemogaan dan harapan-harapan kosong. Katamu, penantian.

Ya, bagimu penantian adalah semacam ritual melumat waktu sehingga tiada kata sia-sia. Waktu telah kau miliki seorang diri dengan segala anganmu. Maka, kupikir memang kau adalah orang paling tabah di semesta ini. Memangku doa-doa, menimangnya sayang, mendekap erat cinta yang kekal di dadamu seorang.

Magetan, Juli 2019

LEBIH LAMA

Usai berlabuh di matamu, aku tak ingin ke mana-mana lagi. Jangkar telah kuturunkan dan tertanam di dasar hatimu. Sebagai dermaga, kaulah tambatan bagi rindu yang berwaktu-waktu menjelajah samudra demi samudra, menyingkap rahasia-rahasia. Lalu, kubawakan kisah padamu. Bahwa perjalanan itu telah merintang badai, menjadikan hujan-angin, terik-dingin bertuankan kelembutan cahaya senja. Aku telah kebas dari segala derita. Dan di dermagamu saja aku akan tinggal selama kata lama terasa lebih lama dari selamanya.

Magetan, 07 Juli 2019

BAGAIMANA KITA?

Engkau menawarkan pelukan; dada bidang, rengkuhan kedua lengan, dan cerita tentang kita.

Aku diam, otakku sedang memetakan pertanyaan. Apakah ini jebakan bagi seorang pecinta sepertiku; yang selalu senang akan sanjungan, kehangatan serta banyak hal rencana masa depan?

Masih juga kau tawarkan pelukan itu meski raguku telah sampai pada matamu. Mata yang seumur hidup diajarkan membaca tanda agar tak salah kira perihal rahasia.

Aku tetap diam, bertahan dalam kebergemingan adalah kemenangan sesaat bagi sesak rasaku yang trauma akan kata-kata cinta dan segala rayu.

Tidak ada kata akhir. Sebab kita sama-sama bertahan di tengah puisi yang enggan mengira-ngira bagaimana kita nanti di suatu masa.

Magetan, 07 Juli 2019

Rabu, 03 Juli 2019

Tidak Bisa Lupa

Kutelan sebutir pil tanpa air agar bisa tidur. Bermalam-malam lalu mataku dikacau kenangan buat sedihku berlinang-linang.
Pahit memang, tapi tetap kupaksa masuk tenggorokan, hingga masuk ke dasar pencernaan.

Beberapa menit kemudian, mataku mulai berat. Mulut menguap-nguap tanpa suara. Tubuh menggeliat di sebalik selimut biru muda. Aneh, ternyata kantuk rasanya senikmat ini.

Perlahan mata pejam, sejenak hilang kesadaran.

Aku, ada di mana? Mengapa dia di sini? Bukankah aku sudah melupakannya?

Magetan, Juli 2019

Sajak Untuk Kekasih

Kasih, mari menoreh jejak
bukankah kita adalah tinta
siap menulis cerita di kertas dunia?

Aku selalu sabar menunggu
kau pun tak kalah tabah berjuang
bukankah kita akan melahirkan
kebahagiaan dari penantian?

Magetan, 03 Juli 2019

Lagu Menjelang Pagi

Sekali-kali, aku bangun lebih dini
bahkan mendahului matahari
ada hal yang sengaja ingin kulakukan
bukan sekadar duduk merenung
mengingat sisa hari kemarin
melainkan menekuri tiap detik
dengan merasakan limpahan nikmat
juga selamat bagi hari baru

Sekali-kali, aku bangun lebih dini
bahkan sebelum embun jatuh
telah kubasuh basah hatiku
dengan limpahan doa
yang mengalir di tengadah tangan

Sekali-kali, aku bangun lebih dini
dan bertekad esok memulai lagi
membangunkan semesta yang lelap
lewat nyanyianku di kala senyap

Magetan, 03 Juli 2019

Selasa, 02 Juli 2019

Hari Sebelum Senja

Sebelum senja tiba, kuantar surat ke rumahmu. Nun jauh di sebalik bukit yang rimbun bambu dan disekat hamparan batu. Suratku tak lebih berisi untaian huruf, sebentuk kata. Aku yakin, satu kata itu saja dapat membuatmu paham tentangku.

Aku tahu, kau tak pernah bertanya bagaimana kabarku atau sedikit saja menitipkan pesan-salam lewat deru angin. Tidak. Kau tidak melakukannya. Ketidakberdayaanmu itu adalah jawaban dari segala risauku. Hingga tak usah lagi kubertanya mengapa kau tetap bergeming, meski kupanggil-panggil nama kau dari jarak sekian jauh.

Akhirnya, sebelum senja tiba, surat itu telah sampai pada kau. Tidak ada ucapan selamat datang, kecuali ribuan beburung terbang memutar di atasku. Suasana gaduh tercipta dari cericitnya. Aku tak paham mereka sedang memberi tanda soal apa.

Kau di sana.... Bersandar pada semesta. Menatap jauh ke arah yang tak bisa kugapai. Aku hanya tersenyum. Sebab sekeras apapun kupanggil-panggil nama kau, adakah kau akan berbalik menatapku? Tidak! Aku tahu, tidak akan pernah terkabul apa yang jadi inginku.

Maka, sebelum senja tiba. Kutinggalkan saja surat itu di sebuah permadani yang menghias halaman rumahmu. Berharap setelah aku pulang nanti, kau akan membacanya. Tolong, bacalah surat berwarna jingga ini. Jangan biarkan ripuk seperti surat-surat sebelumnya yang selalu kau abaikan.

Ibu, saat aku berbalik nanti, ingin rasanya kudengar kau mencegah pergi. Banyak sekali keinginan yang tak akan habis jika kutuliskan. Apakah aku terlalu serakah?

Dan tiba matahari angslup, perlahan melingsir ke barat. Semburat cahaya keemasan menyilau mata, membuat duka mengalir dari celah kedipnya.
Ah, Ibu! Terima kasih telah membaca surat berwarna jingga dariku yang hanya bertuliskan RINDU.

Magetan, 02 Juli 2019

Senin, 01 Juli 2019

Bingkai Waktu

Malam meninggi
sementara sepi menepi
ribuan bintang menantang
langit seakan runtuh
menunggu untuk jatuh

Hati-hati sekali, waktu berbisik
layaknya desahmu di kala lelap
"Cinta mana yang kau jaga?
Tidakkah aku saja sudah lebih
dari segala-gala?"

"Berikan padaku rahasia itu,
bagilah denganku! Sebab aku
tak akan pernah menelan mentah
cerita, dan mengabadikannya
meski kau dikenang nama."
Waktu masih saja berbisik,
seolah akan ada jawaban
dari bibirmu yang bulan sabit

Detik melucuti detakmu
waktu pun kembali berucap
"Ceritamu ada bersamaku.
Wahai, tenanglah! Akan kujaga
siapa yang kau cinta
berbekal doa-doamu
yang diamini semesta."

Kau pun, meniada...

Lalu, kudengar waktu
nembangkan kau di telinga
betapa semesta tak pernah lupa
kau adalah bagian daripadanya
pun dari napasku juga

Bagaimana aku akan lupa?

Magetan, 01 Juli 2018

Kamis, 11 April 2019

Mbah, Bacalah dengan Tabah!

Melihat orang-orang yang seusiamu, sedikit mengobati rasa rinduku yang di saat kau masih ada tidak pernah kukatakan sayang atau hal-hal manis lainnya.
Baru setelah kepergianmu, aku merasa bodoh. Sangat bodoh! Tahun-tahun saat bersamamu tak pernah kumanfaatkan dengan baik. Justru setelah kau tiada, aku ingin kembali berbalik pada waktu lampau, merencanakan hal-hal yang ingin kuabdikan padamu.
Lihat, Mbah! Di sekelilingku kini, banyak orang-orang seusiamu yang tidak lelah mengobati keluhan-keluhan pada tubuhnya. Pusing, meriang, keringat dingin, linu, seluruh badan terasa sakit. Ya, keluhan-keluhan yang wajar dirasakan pada seusiamu.
Mirisnya, Mbah! Sebagian dari mereka datang seorang diri. Tidak ada siapa pun di samping mereka. Diam, menunggu antrian, merasakan sakit, yang apabila waktu mereka tiba diperiksa, senyum masih bisa disunggingkan di bibir mereka.  Bayangmu muncul lagi. Bagiku, mereka menjelma jadi kau. Sosok yang ingin kurawat juga. Yang jika aku jadi anak atau cucu salah satu di antara mereka, akan kutemani dan mendengar keluh kesahnya.
Sebagian lain diantar sanak saudara, dan membuatku iri karena kepedulian yang tulus terbaca dari raut wajah mereka.
Mbah, di tempatmu yang entah di mana sekarang, yang kuharap senantiasa terjaga dalam kedamaian, terima kasih telah mengajarkan sesal dan rindu di waktu bersamaan. Bukankah selain doa, yang bisa kulakukan sekarang hanyalah berubah menjadi pribadi yang lebih peduli? Ya, aku ingin dan akan melakukannya.

Magetan, Juli 2019

Sabtu, 09 Februari 2019

Hujanku

Hujanku,
entah bagaimana lagi aku sebut kau
sebab musim selalu sama tiap tahun
nguar bau basah, suara ricih jatuh
hangat dalam dekapmu, lenyapkan
telusup gigil, aku tak pernah beku

Hujanku,
tak ada kemarau di sini
hanya ada tetes-tetes kian deras
genangi lapang hatiku
sanggup tampung berapa pun volume
tak akan meluap, tak akan jadi bencana
percayalah, hujanku!

dan saat orang-orang sibuk
benahi atap rumah, perbaiki tanggul jebol
aku dengan tabah mencintaimu
hujanku, tak peduli sederas apa kau jatuh
hatiku rela basah, demi kau
demi pertemuan kita

Hujanku,
kusanggup terima guyuranmu
sepanjang tahun tanpa henti itu

Magetan, Februari 2019

Menatapmu

Aku menatapmu di remang malam begini
sambil ngoceh tentang harga-harga sembako
sampai tetangga ribut soal biaya sekolah

Kau sama sekali tak berkutik
kaki bersila, genggam cerutu
sesap, kepulkan asap di udara
sejenak berpaling saat anak-anak
berlarian saling kejar disertai teriakan
mamaknya untuk sudahi malam dengan lelap

Lekas-lekas kau kembali menatapku
sedang sedari tadi aku menatapmu
terpukau cara bibirmu mendedah resah
lewat cerutu--buatku ingin lemparnya jauh
agar kau bicarakan saja isi pikirmu

Kini, aku sudah henti ngoceh
lelah tak dapat satu respon darimu
Ayo, bicarakan resahmu, kasih!
Apa guna aku menatapmu bila
tak bisa kau baca betapa berharap aku!

Magetan, Februari 2019

Sabtu, 12 Januari 2019

Menemukan Seseorang

Ah, ayolah kawan! Apa yang membuatmu enggan membuka jendela, sementara kamarmu kian sesak dengan jelaga resah? Biarkan udara menyejukkanmu. Biar dibawakannya kabar-kabar untukmu. Biar kau lihat betapa dunia penuh warna, tak peduli sedih dan senang, tetap saja kita punya kendali atas semua.
Dengan ini saya persembahkan kata-kata, untuk kita yang sedang merayakan rasa cinta --khususnya untuk saya sendiri dan sahabat saya yang berbunga hatinya, Viga PC.

Tetap saja Ia tak akan berhenti
menumbuhkan rindu di dada
Tetap saja Ia tak akan membunuh
perasaan manusia seberapa pun besarnya kecewa

Serangkaian cerita di masa lalu
hanya akan menjadi kilas balik
di mana bisa kita tengok sewaktu-waktu
saat sesal berkelebat,
bagaimana bisa cinta begitu membunuh dan menyakitkan,
mengapa kita bisa diperdaya perasaan,
satu hal, kita sedang dikuatkan

Lalu, kita temukan seseorang
Lagi... Lagi... Lagi...
Seseorang yang Ia tunjuk
untuk membuka hati kita
menguncinya kembali dan perlahan
gemuruh sesal pun reda
pudar pula bekas-bekas luka

Oh, kita temukan seseorang
dari rasa sakit dan kecewanya harapan
belajar dari yang sudah untuk kembali menjaga

Kharisma
Magetan, Januari 2019