Jumat, 13 Oktober 2017

Perihal Rencana

Masing-masing dari kita memiliki rencana untuk mencapai apa yang hendak dituju. Meski susah dan kecemasan akan kegagalan menjadi sebegitu menakutkan -seperti hantu menghidupkan malam yang mati- tapi kita bisa belajar banyak. Tentang ketabahan menanti, ketulusan menjaga yang didapatkan dan kerelaan melepaskan.   

Rencana itu sebatas cara kerja kepala agar tak jengah berpikir. Perihal apa yang akan dilakukan untuk mewujudkannya  adalah hak masing-masing. Dan kita, sedang memikirkan cara merealisasikan rencana yang tersusun di kepala.

Kita tidak bisa hanya duduk menanti,  sebentar kemudian bergumam,  "Ah, sebentar lagi! Masih ada waktu kok!" sampai-sampai habis waktu dan sia-sia saja kepala itu bekerja.

Ada kaki yang harus kita langkahkan untuk menuliskan riwayat perjalanan lewat jejaknya. Entah itu melewati jalan raya, gang-gang kecil, kelokan bahkan lembah di gunung, atau apapun yang bisa ditempuh -sebab kemustahilan itu letaknya pada mimpi- semua akan mengamini langkah kita, menemani sampai ke muara impian.

Kembali lagi pada awal memulai, diam-diam kita juga telah menuliskan akhir yang menakjubkan -meski  masih  rahasia tapi tetap  semua  ujungnya  sama. Kau mendapatkan lalu ada saatnya melepaskan. Kau tak mendapatkan apa yang kau tuju, tapi tahu, ada yang lebih baik lagi dan tetap kemudian harus pergi.

Sampai pada  akhirnya, yang  jadi  kepunyaanmu  sendiri, yang  jauh  dari  fana  adalah  keyakinan dalam  hatimu  bicara.

Rabu, 27 September 2017

Cinta Itu Luka

Terkadang susah menerjemahkan arti cinta yang sesungguhnya. Apakah luka atau suka? Atau keduanya?

Kebanyakan orang beranggapan, dengan cinta semua akan baik-baik saja. Tapi tak mengelak jika dikatakan bahwa  dalam  cinta  itu  menyimpan  luka. Hanya  saja, karena  keegoisan diri  kita  yang ingin  selalu  memenangkan perasaan, menjadi  buta  dan  malah  menganggap luka  hanyalah  kiasan  atau  pun  pengorbanan.

Mungkin, begitulah  cara  untuk  menguatkan diri  agar  benar-benar bisa  terlepas  dari  luka  itu  sendiri. Oh, ini  hanya  ujian. Oh, akan  datang  cinta  yang  benar, yang  lebih baik, yang  lebih... Ah ~ (baca : tak  terhingga)

Jangan  bertindak  bodoh  karena  terluka! Jangan  bersikap apatis  jika  kau  sudah mengenalnya! Rasanya  memang  pahit dan sakit, apalagi  setelah  melewati  almanak-almanak, kau  akan  lebih  merasakannya  pada  saat  ingatanmu kembali  terbuka. Kenangan! Sebenarnya  kenanganlah  yang  terluka. Ketika kembali  kita  mengingatnya, ah, alangkah  malang  nasib  hati yang sepi, belum  terobati  tapi siksa  itu  muncul  dan  terbuka kembali  luka  yang  sengaja  telah  kita  tutup dengan  rapi.

Bukan  menakut-nakuti. Ini faktanya! Lalu bagaimana?

Kau yang lebih bisa menjaga hatimu agar tetap bersahaja. Kenangan tak akan bosan mampir, ia sesekali mengunjungimu, karena ada rindu. Sambut dan terimalah kedatangannya sebagai pengingat bahwa kau KUAT.  Kau bisa mengalahkannya walau airmata tak hentinya menderas. Wajar. Menangis itu jangan ditahan. Lepaskan.

Ingat semua lukamu sebagai pertanda bahwa kau butuh obat dan bukan menjauhinya. Ingat kau terluka untuk kembali sembuh dan bangkit. Mengalahkan perasaan itu susah, tapi setidaknya, pribadimu akan berbeda. Lebih mawas diri dan bersahaja.

Percayalah pada penciptamu, bahwa segala hal yang menimpamu, tidak mungkin tidak bisa kau lewati. Bahwa rencana lebih besar sedang menantimu selepas sakit dan penderitaan atas kerelaan hatimu bersabar.

Kharisma De Kiyara
27-9-2017

Sabtu, 02 September 2017

Demi Kebaikan Kami Rela

Cerpen Kharisma De Kiyara

Menjelang akhir Agustus 2017, Dori lebih sering gelisah. Dengus napasnya memburu sedemikian cepat, pacu jantungnya bahkan bergeletar hebat. Suti yang menyaksikan kegelisahan kakaknya itu pun kebingungan. Perasaannya juga berkecamuk tak keruan. Akankah nasib yang menimpa kedua orang tuanya juga akan terjadi pada mereka?

Suti dan Dori patut bersyukur sebab keluarga Pak Darmawan yang  budiman  bersedia  mengangkat mereka  menjadi  bagian  dari  keluarga. Pak Darmawan menemukan mereka di kebun belakang rumah dalam  keadaan mengenaskan, kurus, berwajah  muram  sebab  raut  kesedihan, dan  lagi  mereka  yatim  piatu. Yang  pada  saat  itu  Suti  dan  Dori  tengah  bersembunyi  sebab  dikejar-kejar  orang  sekampung  akibat  merusak  ladang  mereka. Mengambil  tetanaman  dan  dijadikan bahan  makanan. Riwayat mereka  sampai  kelaparan  sendiri  adalah  tak  lain  karena  melarikan  diri  dari  kampung  sebelah  setelah  kematian  kedua  orangtuanya yang menyakitkan.

Kejadian itu sudah setahun silam, tapi masih melekat di kepala Suti. Dua bulan pertama bahkan setiap malam ia menangis. Sedang Dori lebih sering murung dan ketika malam tiba ia habiskan dengan menatap gemintang yang bertebaran di langit. Matanya begitu takjub, setidaknya keindahan itu yang mampu membuat jiwanya tenang.

Tidak kali ini. Langit malam di bulan Agustus 2017 menjadi begitu kelam.  Ketakutan luar biasa menjalar di sekujur ingatan dan hati kakak beradik itu.

"Ayo anak-anak makan yang banyak biar kalian pada gemuk," kata Pak Darmawan setiap harinya.

Pak Darmawan memerhatikan mereka sedemikian rupa. Kebutuhan mereka bahkan terjamin semenjak tinggal bersama keluarga Pak Darmawan. Diasuh dengan asih serta ketulusan yang murni dari hati. Pak Darmawan dan istrinya pun juga bangga memiliki Suti dan Dori, setidaknya mereka punya teman setelah kehilangan kedua anak mereka yang meninggal terseret banjir bandang lima tahun lalu.

Pak Darmawan sendiri hanya bekerja serabutan. Kadang menjadi tukang bangunan, tukang parkir dan tiap kali tetangganya membutuhkan untuk dimintai pertolongan membetulkan perkakas rumah yang rusak, saluran air yang mampet. Dan ia hanya akan memeroleh upah tak lebih banyak dari peluhnya. Beruntung, Bu Darmawan sangat sabar dan telaten. Meski hidup serba kekurangan tetap saja mereka adalah keluarga yang harmonis apalagi semenjak kedatangan Suti dan Dori.

"Aku ingin pergi," kata Dori di suatu malam, minggu ketiga bulan Agustus.

"Kita mau ke mana mas? Kita sudah dirawat bapak dan ibu masak mau pergi gitu aja?"

"Daripada kita mati konyol seperti orangtua kandung kita Suti! Kau mau?"

Mata Dori merah marah. Sejak itu ia tak lagi mau makan pemberian Pak Darmawan. Makanan yang disajikan dibiarkannya utuh di tempat semula. Tak terjamah, sekalipun ia sangat lapar.

"Kau masih mau makan Suti?" delik Dori pada adiknya.

"Aku lapar. Kalau kepalaran kita akan lebih mati konyol! Lebih baik berbuat baik, toh, Allah lah yang telah mengatur semuanya. Jadi, jangan menyiksa diri sendiri. Itu tidak baik! Allah tidak senang!"

"Bukannya kamu juga takut kita akan mati Suti?"

Suti mengangguk mantap. "Benar, aku memang ketakutan. Tapi setelah aku pertimbangkan. Ketakutan itu tak akan membuahkan apa-apa, tak akan menjadikan kehidupan kita semakin baik dan berjalan semau kita. Kodrat kita, takdir telah mengaturnya. So, santai saja!" kata Suti sembari terus mengunyah makanan favoritnya.

                                                               ***

Berbondong-bondong warga Desa SugihAsri melaksanakannya sholat Id di pelataran masjid Al-Barokah. Tak terkecuali Pak Darmawan, Bu Darmawan, dan kedua kakak beradik Dori serta Suti.

" This time, Suti!" kata Dori  usai seluruh  warga  melaksanakan  sholat  Idul  Adha.

" Bismillah saja mas!"

Pagi itu, Dori dan Suti menyunggingkan senyum mereka melihat Pak Darmawan dan Bu Darmawan juga sedemikian bahagia. Bahwa pada akhirnya, pasangan suami istri itu bisa mengorbankan kedua kambing tersebut atas nama kedua anak mereka yang telah tiada. Kambing yang gemuk dan sehat tentu saja.

"Wah  Pak, Bu  Darmawan. Ini  kambing  yang  nemu  waktu  itu  ya?" seloroh salah  satu  warga.

Pak  Darmawan mengangguk  mantap. "Iya  Bu, rezeki. Kita  sudah  _woro-woro_ ke  mana-mana tapi  nggak  ada  yang  ngakui. Ya  sudah kita  rawat  saja," jawab  Pak  Darmawan.

"Alhamdulillah ya, Pak! Tak salah kita merawat dua kambing yang kita temukan waktu itu," ujar Bu Darmawan melihat kepala Suti dan Dori sudah terpenggal.

Minggu, 27 Agustus 2017

Sajak Rindu di Tengah Malam

Untukmu yang menjadi baying-bayangku
dalam sepi, ketika tik-tak jam dinding berdenting
dua belas kali dan rembulan sedang cemerlang
tinggi-tinggi di langit yang lindap sunyi

Sudah lelapkah mata wagumu
ataukah keterjagaan sedang menerpa
sepertiku yang enggan terlelap sebab
terlampau panjang gelisah?

Yang mungkin kau pahami sebagai rindu
dibungkam jarak dan waktu, tiada temu
dan kiranya kepastian bersatu

Dalam kepala gelisahku berdenyar tanya
Adakah kau doakan aku sebagai harapan
semoga terkabul menjadi masa depanmu?
Jika, ya, maka kita sama dan sekali lagi tanyaku
berapa kali kau sebut namaku, Tuan?
Dan jika tidak, maka biarkan takdir
yang menjawabnya

Di tengah malam begini, sepi semakin merasuk
bening rindu menjalar liar di kepalaku
menyelimuti setiap ingatan dengan namamu

Di tengah malam begini, aku mendoakanmu
Aku merindukanmu

Kharisma De  Kiyara
Magetan, 27 Agustus 2017
01.09 WIB

Selasa, 22 Agustus 2017

Manusia yang Terlahir Dalam Sepi

Sebelum ia lahir, rahim yang mengandungnya adalah tempat paling hening. Sebermula ia bersemayam di sana, tak mendengar kata-kata, tak melihat cahaya, tak mencium anyir dan wewangi, tak mengenal dunia.

Pada bulan ketujuh tepat ketika purnama sedang berdarah di langit malam yang tiada bintang itu, ia mendengar satu suara. Ialah Ibunya yang berkata terisak-isak.

"Anakku, kelak matamu adalah malam yang purnama menyelimuti hening di langit."

Ia menendang perut ibunya, ingin leluasa merentangkan tangan, menggerakkan kaki, keluar membelah sunyi.

Pada bulan ke delapan tepat ketika Ramadan sudah jatuh pada hari ke tujuh belas, ia mendengar lagi suara Ibunya.

"Anakku, kelak bibirmu adalah doa-doa suci yang menyempurnakan keheningan kita menjadi lebih abadi."

Ia mengejangkan tubuhnya, seketika perut Ibu meliuk-liuk. Tangan Ibu mengusap sambil sesekali merintih. Dan beberapa jenak berlalu ia telah tenang kembali.

                                                                °°°

Ia telah jadi dirinya sendiri sejak tiada sesiapapun dimiliki. Maka ia bermimpi, ingin kembali ke rahim Ibunya dan menerka-terka hidup di dalamnya.

Kini, setelah jauh kakinya melangkah, melewati hari-hari, minggu, bulan dan meninggalkan almanak-almanak, ia kesakitan dengan kesendirian. Beberapa teman hanya dijadikan alasannya bergurau tawa. Lalu, ia akan kembali menjadi dirinya sendiri. Sunyi.

"Aku harus ke mana lagi?" di sebuah almanak yang menggantungkan usianya di angka dua puluh, ia gelisah hendak melintang ke mana lagi. Belahan bumi telah ia telusuri lewat mata yang tak henti mengerjap. Siang malam ia lalui dengan menulis riwayat-riwayat perjalanannya.

"Ke timur... Ke barat... Ke utara... Ke selatan... Ke arah yang tak ada riuh," bisikan itu menggema di telinganya. Tanpa sadar, ia mengangguk. Seakan terhipnotis, kakinya mulai mengayun langkah, tanpa bekal sebutir nasi, setetes air jua. Ia menyisir loka-loka, mendaki tebing-tebing terjal, menuruni lembah-lembah, melewati gurun tandus, menyeberangi lautan, dan...

Sebuah lorong lengang sehadapan dengannya. Gelap. Ia tak mampu meraba seberapa panjang lorong itu. Hatinya bergejolak, _masuk_ , _masuk_ , _lewati_ .

Setelah ribuan menit ia termenung, tanpa perbekalan cahaya langkah kakinya terayun kembali. Memasuki lorong sunyi yang gelap, tiada suara barang lelawa atau cericit penghuni lainnya. Tubuhnya direpetkan ke tembok, menyisir pinggir-pinggir agar tidak terjungkal, barangkali ada batu melintang di tengah jalan.

Napasnya terengah. Di sana sungguh gelap. Mungkin hanya matanya yang cahaya. Napasnya yang bunyi sengal. Ia dengar sendiri embusan napas, detak jantung dan suara ribut di kepalanya. Apakah ini sunyi yang sebenarnya? Mengapa tak ia temui apa-apa? Jangan-jangan, sunyi memang tak menarik. Barangkali, sunyi tak suguhkan apa-apa. Jadi, ia sia-sia berjalan mengayun arahnya mencari kebenaran akan sunyi.

Benar! Ia memang dalam sebuah misi pencarian arti sunyi. Seperti kata mendiang Ibu, "Sunyi adalah kenikmatan. Keindahan yang mata akan jadi buta. Telinga jadi tuli."

"Sunyi adalah rindu yang selalu Ibu tunggu!"

Ia terngiang-ngiang kekata Ibu. Sejauh ini, ia hanya menemukan airmata. Saat sendiri, sepi, ia mengingat kenangan-kenangan selama perjalanan. Yang paling sesak adalah sesal. Kekejaman masa lalu adalah bayang menyeramkan. Dan ia selalu menemukannya saat hening. Saat kepalanya mencari celah memeluk kerinduan yang sebenarnya.

"Apakah rindu sesakit ini?" tanyanya pada diri sendiri.

Lupakan! Ia harus mencari sunyi. Perjalanannya entah masih berapa lama lagi. Sejauh ini, belum ada titik cahaya didapati.

Dalam keletihan yang panjang, saat peluhnya telah banjir, didapatinya kilau cahaya di jarak beberapa ribu inchi. Jalan! Itu adalah jalan. Hati menuntunnya ke sana. Kakinya tak lagi rasa pegal. Semangatnya sudah sampai di ubun-ubun. Apa yang akan diketemukannya di sana?

Laut lagi. Malam lagi. Hamparan pantai yang ombak menyapu dengan debur tenang. Angin malam menusuk tulang. Langit bergumintang, rembulan terang, auman serigala menggelegar. Ia duduk di sana. Merebahkan pantat ke pasir yang lembut.

Ia tak membawa arloji, sekarang pukul berapa, hari apa bahkan ia tak lagi peduli. Tapi ia sudah cukup lama berdiam di sana. Malam terasa begitu panjang. Atau memang malam tak benar-benar hilang?

Saat itulah, di sebelah barat dari laut, ada tebing di mana seorang pertapa akan segera bangun dari seribu tahun pertapaannya. Seorang pertapa dengan janggut sepanjang-panjang hari, mata merah nanar, guratan di wajah yang tak lagi samar. Jelas. Ia pertapa yang tua.

Pertapa itu bernama Ki Lanang. Matanya sempurna terbuka. Ia telah sempurna bertapa seribu tahun lamanya. Di bawah, ia melihat seorang pria sedang memagut dagu pada lutut. Menatap ke laut. Ki Lanang tersenyum kecut.

"Naiklah ke tebing sebelah barat!" suara itu mengagetkan ia yang tengah jengah memandang laut. Ia menerka-terka suara siapakah itu. Berat. Garang. Laki-laki tua sepertinya.

Ia mengikuti arah suara itu sebermula. Ia mendaki tebing, lututnya terluka tergores batu-batu terjal. Tak mengapa, sudah setengah jalan. Ia akan terus mendaki.

Sampailah ia di ketinggian paling hening. Rimbun dedaunan bergesekkan mencipta irama paling seram. Bertolah-toleh, siapa gerangan tadi yang menyuara?

"Ke sini!" ia menoleh ke arah suara. Matanya sejurus menatap pada tubuh yang sangat ringkih. Kurus. Janggut putih menjulur. Mata merah, bibir tertutup rerimbun putih.

"Kau siapa?" tanya laki-laki itu pada si pertapa.

"Terima kasih telah datang membangkitkanku!"

Laki-laki itu mengerut dahi. Tak mengerti.

"Seribu tahun aku menantimu. Kudengar, ada seorang anak yang terlahir dari sunyi akan datang. Maka seketika itu, aku bertapa. Sampai kau datang kini."

"Seribu tahun?" laki-laki itu menekankan tanya.

Ki Lanang mengangguk. "Akulah yang kau cari!"

Laki-laki itu masih tak tahu maksud perkataan si pertapa. Ia duduk sehadapan dengannya. Menatap lekat Ki Lanang, mereka beradu pandang.

Ki Lanang menceritakan sebermula ia di kandungan yang Ibunya membuihkan kesunyian.

"Lihat dirimu! Manusia yang terlahir sepi. Matamu adalah malam berkelindan hening. Yang temaram lindap semakin menjadi. Seorang diri di tengah-tengah langit, tanpa bintang bahkan rembulan, hanya kau berselimut kabut pekat. Juga bibirmu adalah perapal doa sejati yang tak memintakan cahaya, biarkan kegelapan mengepungmu, lebur bersama ingatan yang semakin panjang mengenang. Maka sekali lagi, wajahmu adalah sepi itu sendiri. Tiada raut apa-apa yang kau bagi, kau tikam sendirimu dengan diam. Wajahmu yang biru, wagu, ragu, apalagi? Kau adalah penyendiri paling handal, bersembunyi dibalik parasmu yang tak pernah  selalu  tampak sepi."

"Apa  maksudmu?"

"Aku  adalah  jiwamu. Aku  adalah  bagian  darimu. Aku  dan  kau  adalah  satu. Jiwa  utuh. Sunyi  itu  sendiri,"  laki-laki itu  semakin  tak  mengerti.

Seketika, Ki  Lanang  merubah  wujudnya  merupa kabut  putih. Berputar-putar mengitari tubuh  laki-laki itu. Kabut  putih  itu  lantas  menerjang  tubuhnya, merasukinya. Laki-laki itu  mengejang  dan  tak  sadarkan  diri.

                                                               °°°

Kharisma De Kiyara
Agustus 2017

Rabu, 02 Agustus 2017

KAMU

Di rahim rinduku mengandung namamu
yang tiap detiknya kian membesar
mengalahkan sembilan bulan

Di kanalku penuh aliran napasmu
yang embusannya sederas rasaku
kelak sampai pada muaranya, bertemu

Di ruang sunyi, kudengar sayup suaramu
membisiki sepi supaya jauh-jauh pergi
sebab kau telah datang, menunaikan tugas
menjadi tulang rusuk sejati

Kharisma De  Kiyara
8 Juni 2017

Sajak Untuk Pria yang Setia Menanti

1/
Jika Tuhan menakdirkan, dengan kalamNya
aku sebagai wanitamu
dan kakiku surga bagi peri-peri kita

Maka usah kau risau
sebab semua telah diberikan waktu
untuk menjemputnya : bahagia

2/
Aku percaya
setiamu dengan doa

Buang ragumu
Tuhan telah mengatur segalanya

3/
Aku menanti
di sini

Kharisma De Kiyara
2017

Hati yang Damai dengan Rindu Bahagia

Ketika hari yang dinanti telah tiba, saya tergopoh-gopoh mengambil ponsel dan mengaktifkannya.
Alangkah terkejut, 2000 pesan sesak menyumpal di pesan whatsapp, 3000 pesan di blackberry messenger, 3500 pesan di line dan banyak lagi yang membuat memori ponsel saya hanya tersisa seperempat dari yang semestinya.

Sesiapa saja mereka itu yang mengirimkan permintaan maaf dan ucapan selamat merayakan hari Fitri, di antaranya adalah karib kerabat, sahabat dan beberapa orang yang pernah menebarkan luka.
Lalu, bagaimana saya harus membalas satu-persatu pesan kalau banyak begini? Jemari bisa keriting, mata kering, kepala pusing.

Di rumah, datang seseorang membawakan saya sekardus salam dari jauh. "Saya hanya seorang kurir, ini paket anda seberat cintanya terimalah dengan selamat!"

Saya menyunggingkan senyuman termanis pada si kurir, eh bukan, pada paket dari si dia. Setelah saya buka,  "Wah, Alhamdulillah bisa buat lebaran!" Camilan rasa-rasa menggugah selera.

Semarak sukaria terdengar di mana-mana. Di sudut-sudut sepi tak saya temui lagi keheningan. Hanya rindu kepada ibu dan ayah yang masih sama. Tapi, kali ini, doa telah menyembuhkan lara. Sebab dalam hati meyakinkan, mereka telah bahagia.

Ketika hari yang dinanti tiba, saya dan keluarga berendeng menuju lapangan selesa di antara kelimunan pengudap bahagia. Saya mencium bau-bau yang tak asing. Bau baju baru yang belum dicuci, mukena baru dan sandal-sandal yang juga baru. Hanya beberapa yang saya lihat mengenakan pakaian sederhana dan tetap semringah menyambut hari raya.

Berjabat tangan  kami  semua. Melebur  kesalahan hingga  tersisa  kosong. "Kita  lahir  kembali," kata  saya. Mereka  menyunggingkan senyum. Saya  terharu lantas merindukan  ibu  yang  telah  damai  di  singgasananya sembari membayangkan  beliau  sedang  makan  kue  nastar  kesukaannya.

Kharisma De  Kiyara
Magetan, 25 Juni 2017

TIGA ADALAH TIDAK

: Riski Ayu Apriliandi

Kau hadir tiba-tiba
membawakanku secangkir harapan
berisi  janji  kebahagiaan

Kutawar dengan senyuman
dalam hati, sungguh aku ingin menjadi
sisi rusukmu yang belum  ditemukan

Tapi, kenyataan  terlampau pahit  bagi  kita
menyeduh rasa, sedangkan kau
telah  meluapkan  rindumu  pada  yang  lain  pula

Lalu, aku  ini  apa?
Harapan  yang  kau  patahkan
sebab  kita  memang  tidak  dalam
satu  lajur : perbedaan

Jika  kubilang, hati  ini  terluka
apakah  aku  bersalah?
Sedang  kau  yang  memaksa
rasa  ini  tiba  sebelum  kenyataan
memerlihatkan luka

Lalu, aku  ini  apa?
Doa-doa jenakamu, barangkali
yang  berkata  bahwa  ketiga  itu mungkin
atau  tidak  sama  sekali.

Kharisma De  Kiyara
22 Juli 2017

Kisah Tanpa Suara

: Makhilatul Jannah


Bualan seribu luka kaurekam
di memori ingatan, katamu, mereka
adalah tetumbuhan yang rimbun kepiluan

Maka, detik itu di kepalamu  telah  tertanam
akar-akar  luka  oleh  bibir-bibir
yang  banyak  bicara

Tangismu tak habis-habis kala mengenang
suara-suara nyinyir itu menggema
menyenandungkan kisah-kisah  cendala
yang  tak  sepantasnya

Airmata jatuh berlarat-larat
kau coba menyeka dengan tawa
tapi usaha  itu  sia-sia
kesedihanmu tampak di pelupuk mata
dan bibirmu berkisah  tanpa  suara

Kharisma De  Kiyara
Kamar  sunyi, 19 Juli 2017

KISAH DI KIOS BUNGA

: Kavya Atmaranti

Ingatanku tertuju pada kios bunga, dekat kampusmu
di pinggir jalan yang tak pernah lepas dari kehingaran

Waktu itu, kita sibuk merencanakan pekerjaan
mulai dari jam ini kita akan begini
sampai jam ke sekian kita akan bersama
begitu saja

Di kios bunga itu, aku menampung kelopak-kelopak
mawar tiga warna

Merah
darah yang kuhiasi kerinduan pada pekerjaan
membuat sebuah perhelatan satu kali sepanjang masa

Putih
sebersih itu kecintaanku pada sang pekerjaan
hingga tak ada  kata-kata untuk mengungkapkannya

Merah muda
kelembutan dalam warnanya, serupa kasih
yang kudapat dari pekerjaanku

Tapi, waktu kita terburu denting telepon
dari seberang panggilan, pekerjaan tak sabar menunggu

Padahal kita sedang menunggu jatah merangkai
tetangkai mawar, sebentuk buket cinta

Kita begitu tergesa, waktu memang jahat, kataku

Aku tak mengenal pikir panjang
kuletakkan lagi tetangkai yang sempat terambil
akhirnya, boneka kodok yang berhiaskan toga kebesaran
kubawa lari seusai dibayar

Maaf, katamu, tapi aku tak tahu mengapa bibirmu
berucap begitu

Bukan salahmu, waktu memang suka memburu

Kharisma De  Kiyara
Toko bunga  yang  tak  tahu  namanya, 06 Juli 2017

Kata-Kata yang Berserak Malam Hari

Malam ini, kususuri jalanan sambil
menghitung napas di detik ke sekian

Pada  lalu-lalang  yang  tak  henti-henti
menderu  di  jantung  sunyi
kulihat  kata-kata berserak, tercecer  di  mana-mana
tanpa  ada  iba, mereka  menginjaknya
melewati  dan  berlalu  begitu saja

Kupungut kata-kata itu satu per satu
menjadi sulaman kalimat yang mengalurkan
kisah dari jejak langkah kaki
yang tak pernah tahu jalan kembali

Kharisma De  Kiyara
Magetan, 26 Juli 2017

DOA SEBELUM HUJAN

Bismillah
Tumpahkan kegelisahan pada bumi
dengan tangis mericih-ricih dan
tanah basah digenangi kenangan

Supaya tidak ada cerita yang sia-sia
abadi diserap tanah-tanah menjadi
bagian dari alam, seperti itulah
kisah kita berkembang

Maka jatuhkan butir-butir bening
pada kesumat rindu yang sedang istirah
biarkan habis segala kesah
dan tinggal doa tabah

Pejamkan  mata  dan  biarkan  gigil
memeluk rindumu, sementara  saja

Aamiin

Kharisma De  Kiyara
Magetan, 27 Juli 2017

Untuk Ibu (2)

Ruang dan ranjang pesakitan
membisu jadi saksi kesedihan
duka laraku beranak-pinak
kesedihanku berkembang-biak
tangisku pecah
tawaku jengah
kau yang kucinta menutup mata, selamanya
waktu entah berapa lama
akan kau tinggalkan aku
hari-hariku?
Berkawan airmata
berbalut rindu membabi buta
Ibu...
Tuhan lebih tahu yang terbaik untukmu
Takkan kau kehilangan doa dariku
Aku pun sadar, rindu ini akan terbayar
Hanya ketika aku dan dirimu bertemu

Kharisma De  Kiyara
Magetan, 2015

Untuk Ibu

Kutatap lekat bola matamu yang sayu
Di suatu waktu saat kau tak mengenaliku
Biasanya, kauusap airmataku, tapi kau
hanya memandangiku
Entah apa yang kau gumamkan saat itu
Tanganku tak lepas menggenggam jemarimu
Yang tersemat jarum di sana, aliran apa-entah namanya
memasuki pori kulitmu
Aku berkisah kasih kita
Tapi kau berkisah kasihmu sendiri
Aku mulai menangis
Tak berhenti, semakin menjadi
Menggumamkan namamu
Bersenandung doa dan harapan
Kesembuhan dan umur panjang

Kharisma De  Kiyara
2015

BEDA

Yang terlahir telah ditetapkan takdir
barangkali rupa terlukis serupa
tapi laku? Bahkan waktu tak bisa
menyamainya

Kharisma De  Kiyara
Magetan, 30 Juli 2017

BOHONG

Ketika tak ada telinga percaya
hidup telah benar-benar jadi tuli

Padahal yang sebenarnya tahu
ialah Tuhan dan dirimu sendiri.

Kharisma De  Kiyara
Magetan, 31 Juli 2017

Seragam Kebesaran : Alumni SMADA

Seragam kebesaran yang selalu
kita banggakan masih kusimpan
terlipat rapi di almari

Satu-satunya yang kusisakan
sebab telalu banyak kenangan
mengingatkan aku pernah
mengenakannya, menjadi siswi
SMAN 2 Magetan

Kalian semua, semoga tak pernah lupa
masa kita dulu duduk di bangku dengan
menekuri setiap kata-kata, angka-angka di buku
mencatatnya di kepala dengan sungguh-sungguh

Semoga juga kalian tak kenal lupa
pada guru-guru bijak yang memberikan
jasanya, mengantar murid-murid mereka
ke tempat yang semestinya : kelulusan

Kharisma De Kiyara
30 Juli 2017

Cerpen : Selimut Duka

Gigil menyelimuti para pemimpi surga. Berendeng melangkahkan kaki menuju rumah Tuhan, sebuah surau tak jauh dari rumahku. Kebanyakan dari mereka nampak bergurat senja di tubuhnya. Keriput melilit di sekujurnya. Nenekku salah satu dia antara mereka. Lalu, mereka ada berapa dan siapa saja? Mereka hanya bertiga dan semua adalah tetangga sebelah kanan dan belakang rumah. Bergiat meramaikan surau agar tak kehilangan jamaahnya. Memupuk pahala atas kesadaran usia yang mencapai akhir masa. Sebenarnya Tuhan tak peduli akan usia jika Ia hendak mengambil milikNya kembali. Dan sebab itulah semestinya segala usia, yang telah akhil baliq, mempererat hubungan dengan yang menciptaNya.

Hari itu, nenekku baru pulang dari jamaah subuh di surau sedang aku masih melipat mukena merah jambu yang tadi kukenakan. Langkah kaki nenekku berdebum membikin debar hatiku bergeletar hebat. Sepertinya, ada sesuatu yang tak baik. Karena memang selalu begitu biasanya. Apabila ia tergesa ada pertanda masalah menimpa.

"Innalillahi  wainna  ilaihi rojiun... Anaknya Sulis meninggal dunia, mesti ngelayat ini," serunya sembari meletakkan mukena dan napas tersengal.

"Innalillahi, Ya Allah sakit apa, Nek? Bukankah masih berusia seminggu?" tanyaku penasaran.

"Bayi itu terlahir prematur, sudah ayo lekas ngelayat. Aku mau kabari orang-orang dulu."

"Biar sedikit lebih teranglah, Buk!" kata bibiku yang baru selesai sholat subuh.

Menunggu sampai sriguntig menyingsing, sembari memeluk gigil, aku termenung di teras rumah. Benar saja, Tuhan tak pernah ambil peduli pada usia, status jabatan seseorang, gender dan kekayaan. Jika telah waktu menyudahi perjalanan hidupnya tiada yang bisa menahan ataupun diajak kompromi. Malaikat tak mengenal politik dan serba-serbinya. Ia menjalankan tugasnya dengan taat tanpa mengharap sesuatu apapun kecuali keridhaan Tuhan. Malaikat bukan pejabat yang mudah disuap. Ia lebih tunduk pada Tuhan dengan tak sekali pun membangkang. Cahayalah yang menjadikan keberadaannya selalu dalam jalan terang.

"Ampun Tuhan, malang betul mbak Sulis. Kemarin-kemarin saat bayinya masih empat bulan di kandungan, janin itu gugur. Sekarang, setelah Kau beri lagi kesempatan mengandung dan terlahirlah bayi itu, baru seminggu juga telah tiada," gumamku dengan tangan menopang dagu dan tatapan sayu. Prihatin.

Kubayangkan bagaimana kecamuk jiwa mbak Sulis. Kehilangan anaknya dua kali dengan cara berbeda. Sedang ia dan suaminya mengelu-elukan untuk menimang momongan. Tapi apalah daya, Tuhan belum sepenuhnya mengizinkan. Jalan terbaik atas ini semua adalah pasrah.

Burung-burung beterbangan ke Utara mencuitkan kicauan menyayat. Seolah ia tahu ada duka di daerah yang dilaluinya. Angin tak begitu semilir, matahari belum lagi tinggi masih berkisar di putaran arah jarum jam enam. Tepatnya memang pukul enam. Tak sadar airmataku membanjur di pipi menjiwai kesedihan mbak Sulis. Karena aku adalah wanita, pasti bisa kurasakan juga sakitnya. Apalagi kehilangan yang dicintai untuk selamanya. Aku pernah merasakannya, dan itulah yang membuatku berkelimun ketakutan setiap detik akan kehilangan detak orang-orang yang kusayang, bahkan nyawaku sendiri.

"Ayo kita berangkat ngelayat sekarang!" Bibiku menyeru dari dalam rumah. Aku beringsut dari tempatku bergeming. Menyambar baju muslim dan jilbab hitam. Kuambil selembar rupiah dari dompet dan kumasukkan dalam amplop. Dulu aku terheran-heran apakah uang cukup sebagai tanda duka cita. Mereka kehilangan nyawa, apa guna rupiah setelahnya. Apakah yang telah mati bisa kembali? Apakah rupiah itu mampu menyogok malaikat? Pernah kutanyakan hal itu pada ibuku dulu, katanya bisa membantu kekurangan untuk biaya pemakaman dan selamatan. Aku bungkam, tak melawan  lagi  meski  banyak  pertanyaan berloncatan  di  pikiranku.

Setelah kualami sendiri kejadian itu, aku menampar berulang pikirku. Sampai kurajam atas dosa otakku ini. Ibuku tiada, semua datang melayat dengan airmata lekat, iba yang erat, dan amplop-amplop di baskom depanku. Saat itu aku marah. Aku berduka! Kalian tahu aku kehilangan ibuku selamanya. Lalu, apa guna uang-uang kalian di hadapanku. Ingin kutendang saja baskom itu. Tapi kuurungkan demi menjaga kesopanan dan hati mereka. Maka, aku hanya sanggup berlari ke kamar. Menguncinya rapat dan mengumpat.

Esoknya, barulah aku memahami makna dari pemberian amplop-amplop itu yang sebenarnya. Sama seperti yang dikatakan ibuku. Membantu biaya pemakaman yang saat itu, dua tahun lalu, harga sepetak makan adalah dua ratus ribu rupiah. Setelah itu biaya untuk acara selamatan sampai tubuh hari, uang yang mereka beri sangatlah membantu. Kutampar sekali lagi pikiranku yang sempat tak mengindahkan hal itu.

Bibi dan nenekku telah siap, dari depan rumah beberapa tetangga memanggil-manggil mengajak bersama takziah ke rumah mbak Sulis. Kami berendeng ke sana, di sepanjang jalan tak ada kata-kata lain yang mengisyaratkan kasihan, lebih tepatnya prihatin. Aku berjalan paling belakang, menundukkan pandangan. Menguatkan diriku sendiri, supaya jangan lepas tangis di sana. Karena akan membuat yang berduka semakin larut dalam dukanya.

Tibalah kami di rumah mbak Sulis. Semua bergantian menyalami dan memasukkan amplop dalam wadah di hadapannya. Tiba giliranku yang di hadapan mbak Sulis. Kujabat tangan dan memeluknya. Cairan itu menetes juga, tapi aku berusaha untuk tidak melinangkan air mata sampai menderas.

"Mbak.... Yang sabar ya. Diikhlaskan, InsyaAllah pasti Tuhan akan ganti semua kesedihan. Tuhan punya rencana yang pasti selalu baik," bisikku di telinganya sembari memeluk. Ia menangis dan mengangguk.

Aku tahu ia tak bisa lagi berkata-kata. Kalian tahu, ikhlas itu tidak semudah mengucapkannya. Harus berlalu berapa waktu dan airmata yang terhitung lagi tetesannya. Menderas setiap waktu, belum lagi kecamuk rindu yang terus berlarat-larat. Sebagai yang mengenal Tuhan, makanya dengan sadar dan sabar adalah kunci melewatinya. Percaya akan nikmat Tuhan dan semua pada akhirnya akan kembali padaNya.

Semua di ruangan berduka. Lantunan ayat suci, Yassin, menggema. Aku tak sanggup ikut membacanya, bukannya tak bisa, bibirku bergetar. Inginku segera pulang dan menutup diri di kamar. Menangis sejadi-jadinya. Aku masih berduka, jujur saja. Meski sudah dua tahun lalu, ibu tiada tetap aku di landa rindu setiap detakku. Dan detik begitu jahat menertawaiku.

Aku benar-benar tak sanggup lagi menahan inginku menangis. Tiba saat suami mbak Sulis, menggendong mayat bayinya yang masih seminggu, membawanya ke pembaringan terakhir. Sambil ia menangis dan mbak Sulis terkulai lemas di dekap banyak orang hang juga turut menangis. Bumi redup, mentari tak seterik biasanya. Seperti ikut berduka, hanya saja ia tak mau menangis. Memberikan penguatan, bahwa satu-satunya yang harus dilakukan saat kehilangan adalah berdoa.

Kharisma De Kiyara
26 April 2017

Jemala Kemunafikan

Bibir di jemala itu mengucapkan kata-kata perihal dosa yang mesti ditebus akibat dusta. Apakah  ia  tahu  makna  yang  diucapnya? Begitu  berandang mengalir  serupa  doa  yang  ia  rapal  saban  hari, membuatnya  berpikir  bahwa  setiap  jejaknya  ialah  suci.

Ia  kubra menilai  tabiat  dirinya, sebab  cermin  seringkali  buram  setelah  hujan. Membelamkan  bayangan  dan  ia  tak  sanggup  lagi  meraba  seperti  apa rupa  sebenarnya.

Manusia tak  lagi  pikir  panjang  akan  kekeliruan. Asalkan  ia  senang  dan  perutnya  terbungkam  dari  lapar, sudah  cukup  baginya  bertutur  kebijakan.

Aku  dan yang lain  menggeritkan penolakan, mengatainya  sebagai kemunafikan. Yang  dibibirnya  berkata surga  tapi  hatinya  membatin  neraka. Yang  tindakan  di  muka  umum  bersahaja, di  belakang  ia  membabi  buta.

Sudahi berucap angkuh bergelegak. Jangan  menunggu  Tuhan  yang  membungkam. Itu  sangat  mengerikan!

Kharisma De Kiyara
26 April 2017

Suara-Suara yang Diabaikan

Kita  tahu,
Lama  sunyi  membungkam  ingin  mereka
menyuarakan  kebenaran. Karena  sekali  berucap,
semua  ditentang  dan  impian  ditendang
berlalu  hilang  bersama  angan
Meski  peluh  luruh  membanjur  tubuh
lelah  tak  buat menyerah
Mereka  semakin  menggebu, berlarian
mengejar  harapan 

Tiba satu Mei,
aksara-aksara dipintal rapi
menjalin kata sebentuk kalamkari
dijerengkan tinggi-tinggi

"Kami tak mengajak berperang,
tapi menuntut hak yang hilang."

Tanpa mengepalkan tangan, mereka menyuara lantang
meski dihadang ribuan peluru
yang siap melesak ke jantung  berdetak
menanggalkan  waktu  sampai  tak  berdetik

Mereka tak ambil peduli
langkah  berdebum  pasti
terik  melengkingkan  bunyi
"Dengarkan  suara, kami"

Kharisma De  Kiyara
30 Mei 2017

PERCAYA YANG KECEWA

Bibir  bergetar  menahan  getir
tak  sanggup  lagi  berkata-kata
dan  air  mata  kemudian  yang  jadi  pendoa
Sampai kering kantung mata air di pelupuk
Akankah cukup mengobati hati yang ripuk?

Ialah luka sebab percaya yang telah kecewa
membelamkan rasa tuan dan puan
yang dulunya berendeng merapal doa
di selasar yang selesa

Kini, tak ada  lagi  tawa
kasih  dikara  sirna
bersama  kecewa

Kharisma  De  Kiyara
26 April 2017

SEBAGAI KESUNYIAN

Sebagai kesunyian, ia hadir mendera kesendirian. Membangunkan lamunan yang tengah membayang jauh ke padang halimun, tempat kenangan disimpan.

O, jiwa yang kekal berkenang, sudah sampai angin padang halimun menderau di wajahmu yang beku dan kepala yang telengas penyesalan.

O, jiwa yang kekal berkenang, sudahilah sibuk sepimu!

Kharisma De  Kiyara
Magetan, 30 Juli 2017

Selasa, 16 Mei 2017

Lelakiku

Kupandangi lekat sosokmu dari figura fatamorgana saat aku memejamkan mata. Seringai bibirmu seolah mengajakku tertawa dan membikin cerita-cerita yang tak kita punya sebelumnya.

Bagaimana dicintai olehmu adalah rindu yang kuhimpun dari lama. Lama sekali. Bahkan detik pernah sampai melupakannya. Hingga aku ditelan mentah-mentah oleh kesunyian. Pikirku, tak lagi menginginkanmu.

Tiba-tiba, diam-diam, kau datang menyumbangsihkan kasih dalam-dalam. Aku puterimu menangis dalam dekapan. Betapa banyaknya nyinyir selama ini tentangmu, mereka hanya melihat dari 'tahu' tapi tak mengerti. Sedang aku, tenggelam bersama beribu penyesalan, pernah memercayai mereka.

Kau di sana. Sedang apa? Memikirkanku kah?

Kau pernah memintaku satu hal. Menjadi teman setia yang kan menjagamu sampai habis detak waktu mengizinkanmu menghidu. Tapi, entah harus kunamai apa? Bukan aku tak mau! Dari lama aku mengangankanmu, tapi terlambat aku mengerti masa lalu. Aku asyik bergumul dengan sunyi. Tak mau terusik. Kau pasti lebih tahu, mengapa aku enggan mengiyakan, sampai  sekarang.

Dari jarak ke sekian. Aku mendoakanmu.

16 Mei 2017
-Kharisma De Kiyara-

Senin, 08 Mei 2017

Senandung Marsinah

Dalam kelimunan buruh-buruh pabrik arloji
yang  tengah  menyuarakan tuntutan
seorang gadis berdiri paling depan
bukan hendak melawan, ia hanya ingin
menegakkan kebenaran.

Semua  berseru  di  langit  tiga  mei  tahun  itu
"Berikan  kami  pendapatan  yang  layak."
Dan  gadis  itu, tetap  paling  depan
mengobarkan  semangat  juang

Dua puluh empat tahun usianya
bergerilya melawan ketidakadilan
menyumbangsihkan pikiran dan tindakan,
ia tak sadar, jiwanya terancam
maut sedang merencanakan untuk datang
yang ia tahu, kebenaran harus ditegakkan
karena memang begitu titah Tuhan

Tiba  suatu  hari, gadis  itu  lenyap
tiga  hari  dicari  tak  kunjung  ditemui
sampai  angin  membawa  kabar  duka
ia ditemukan bocah-bocah yang  mengiranya
orang  gila  tertidur. Ternyata,
ia  adalah  Marsinah,
tergeletak  bersimbah  darah
kemaluannya  terluka  tembak
pinggulnya  telah  lerak
jantungnya berhenti  berdetak
detik  telah  meninggalkan  waktu, selamanya

Alam  tengah  masygul, meratapi  kepergian
pejuang kebenaran. Semua  muram.
Tak  ada  lagi  tawa, canda, sapa  dari
Marsinah.

"Tuhan, mengapa  mereka lakukan  itu  padaku?
Apakah  memang  begitu  cara  penguasa
memerlakukan  buruhnya? Apakah  kami  para  pekerja 
tak  berhak menuntut  kebenaran? Atau kebenaran itu  sejatinya
telah  Engkau  lenyapkan.
Tuhan.... Pintaku  padaMu, jangan  ada  lagi  yang
mengalami sepertiku. Cukuplah  aku! Biar  mereka
tetap  hidup  dengan  semangatku!"

-Kharisma  De  Kiyara-
April 2017


Alkisah Papan Kapur Saksi Bisu Melawan Kebodohan

Semula kita hanya tahu tentang "Ini Buku Budi". Sampai ke kata-kata  merangkai  kalimat  dan  angka-angka  ditambah-kurang-kali-bagi. Ditulis  tebal-tebal  di  papan  hitam  berkapur  putih.

Pandai-pandailah kalian, berkah-berkahlah ilmunya, papan kapur berdoa setiap kali menyaksikan murid-murid hibuk dengan pengetahuan.

Ia telah jadi saksi dari para penerus generasi. Papan yang kasar hitam beralih layar putih. Kapur putih menjelma tinta hitam.

Kalian semakin cekatan, ilmu tak pernah sia-sia, katanya kemudian

Aku  tak  mengapa, semakin  jarang  yang mengisi tubuhku. Sebab, telah  banyak  kumakan  waktu sampai  kenyang  aku  berguru. Zaman  sudah  makin maju, banyak  hal-hal  baru  tercipta. Aku  bahagia, pernah  atau  masih  akan  menemani  kalian  menyesap sari-sari  pengetahuan.

Di  hadapan  waktu  ia  bersaksi, tak  ada  yang  lebih  panjang umurnya  dari pada ilmu.

-Kharisma  De  Kiyara-
02 Mei 2017

Kalimat Yang Takut Kehilangan Kata


Penaku berhenti menandak, diakhirinya bait pertama dengan titik.

Lanjutkan, kata induk kalimat.

Mulai lagi, penaku menandak-nandak, dan iramanya mendengung dari kepala. Bergoyang, meliuk-liuk. Di lembaran yang penuh goresan tinta bak lantai dansa.

Kali ini, penaku menghentikan bait kedua dengan sebuah tanya.

Lanjutkan, tanpa jawaban biar semua penasaran, kata induk kalimat tak sabaran.

Aku geram.
Diam! Jangan takut kehilangan kata-kata. Hidupku berkelindan dengan dia. Napasku adalah huruf-hurufnya. Kepalaku tempat dia tinggal.

Selamanya jiwaku adalah kata.

-Kharisma  De  Kiyara-
Mei 2017

Rembulan Kesepian

Hei! Perkenalkan namaku Rembulan. Bukan lelaki bukan juga perempuan. Bukan manusia bukan juga binatang apalagi tetumbuhan. Aku ciptaan Tuhan sama seperti kalian. Rumahku  di  langit  malam. Aku bergelayut di sana, sesekali bersembunyi di balik kabut pekatnya. Gigil dan  bintang-bintang  adalah  temanku, tapi  mereka  tak  pernah mengerti apa  yang  sedang  kujiwai. Jadi, aku  merasa selalu  sepi. Tunggu! Satu  lagi, ada yang kuanggap  sebagai  orang  tua  karena  dia  begitu  memahamiku. Pikiran  kami  kerap  kali  tak  beradu, selalu  padu. Dia  adalah  langit.

Malam ini tak  begitu  cemerlang. Langit  mengundang mendung. Dan  aku  tahu, kali  ini  langit  akan  menangis  lagi. Aku  tak  kuasa  mendengar  tangisannya  yang  menyayat. Maka  kuputuskan untuk  bertandang  ke  rumah  kerabat  mencari  kedamaian. Di  sebuah  bilik, seorang  gadis  sedang  menyulam  kata-kata  menjadi busana  aksara. Aku  mengamatinya sepanjang  malam. Ia  pun  sama  sepertiku, selalu  kesepian. Pertama  kali aku  berkenalan  dengannya  ialah  dua  minggu  lalu. Saat  aku  ketahuan  mengintipnya  dari  balik  jendela  kayu. Dia  baik, tidak  marah  padaku. Malah  mengajak  masuk  ke  biliknya. Kami  bercanda  dan  saling  bercerita  apa  saja. Dia  bilang  suka  cahayaku, meneduhkan, katanya. Semenjak  itu  kami  berkawan. Setiap  ia  hendak  tidur  dia  sempatkan  menyapaku  sekadar  mengucapkan  selamat  malam. Kali ini kuketuk  jendela  kamarnya  perlahan  berharap  dia  belum  terlelap. Menunggu  beberapa  saat  dan  jendela  pun  terbuka. Aku  masuk  lantas  bemanja  di  pangkuannya.

"Hei! Tumben, kamu  manja  sekali, Rembulan!" pekiknya  karena  melihatku  yang  manja.

"Aku  sedang  ingin  dimanja. Capek  tahu setiap  hari  bergelantungan  di  langit. Apalagi  saat  ini  langit  sedang  murka  hendak  menghujani  bumi  dengan  kekesalannya."

"Hah! Apa  maksudmu?"

Aku menjadikan langit  sebagai ibu  sekaligus  bapakku. Kami punya  pola  pikir  yang  sama. Terutama tentang  bumi. Malam  ini, langit  sedang  murka  seperti  kataku  pada  gadis  itu. Kuceritakan  musababnya  dan  dia  menyimak  dengan  seksama.

Tahu kah  kalian? Aku  dan  langit  sudah  bosan melihat  angkara  merajalela  di  bumi  Tuhan. Untungnya  aku  hanya  tahu  malam, coba  langit? Ia  menyaksikan  sepanjang  hari  kemelut  di  bumi. Kukatakan  padanya, "Sabar, sabar  dan  sabar." Padahal  aku  sudah  sangat  terluka  menjadi  saksi  hiruk  pikuk  bumi  di  malam  hari.

Bayangkan, kulihat  muda-mudi  berpegangan tangan  dan  berkorban  kemaluan. Mengenaskan. Bayangkan  lagi, kulihat  seorang  ibu  di  bawah  umur  membunuh  bayinya  di  kebun  sunyi ditemani seorang  laki-laki  yang  belum resmi  menyandang  status  suami. Iya  kalau  mereka  ditakdirkan  jodoh, kalau  tidak? Ah! Gila! Bumi  gila!

Aku  pun juga muak. Kerap kali kulihat wanita-wanita --asli, ada juga yang menyerupa-- berendeng memamerkan kemolekan di pinggiran kota atau di bangunan megah, mereka mabuk menjajakan diri. Demi menghidupi keluarganya agar tak kelaparan. Pria-pria membelinya dengan nafsu setan dan uang terbuang percuma. Padahal bisa saja, uang itu membantu bocah-bocah di kolong jembatan kota untuk sedikit menikmati napas yang layak. Menghirup wanginya ilmu dan kebahagiaan berarti lainnya.

Kau mau tahu lagi yang lebih membuatku frustasi? Darah-darah manusia berceceran bekas pertumpahan. Setiap kali aku melihat darah-darah itu, tubuhku menjadi Purnama. Merah berdarah-darah. Yang artinya aku menangis, menangis dan menangis. Sedangkan langit? Dia bercerita rezim di mana-mana. Memukuli mimpi anak-anak yang tak berdaya. Memisahkan mereka dari ibu bapaknya. Meluluhlantakkan jagad tempat mereka berdiam.

Kau tahu kan? Langit sering menangis akhir-akhir ini. Ia tak kuasa melihat dunia telah hilang kebersahajaannya. Penguasa memupuk sikah di kantong-kantong sakunya. Mereka membual  soal  janji-janji. Menjual  keramahtamahannya demi  materi. Sampai  demo  di  sana  sini. Yang  jadi  provokator diadili. Yang  sebenarnya  bersalah  lepas  jeruji  dan  lupa  diri.

Oh! Sudah  cukup! Aku  ceritakan  semua gelisahku  pada  gadis  itu. Ia  menangis  tersedu-sedu. Baru  tahu  dia  bahwa  aku  lebih  berat  menahan  duka  ketimbang dirinya  yang  hanya  putus  cinta. Kutenangkan  gadis  itu, "Berhentilah menangis  sayang. Jika  kau  ingin  dunia  ini  selamat  jangan  pernah  lepas  doa  dan  mintalah  keselamatan  untuk  semua  saudara."

Kali  ini, ia memintaku menemaninya sampai terjaga  di  waktu  sepertiga. Dia ngin aku mendengar doa-doanya. Dan aku berpikir tentu akan lebih indah dari sajak-sajak yang dituliskannya.

"Baguslah! Doakan  seluruh dunia!"

-Kharisma De  Kiyara-

Minggu, 30 April 2017

Angsa Di Telagamu

Kutukan convus enca, Rothbart
yang cemas pada kata takdir
seorang gadis pembebas kristal di pohon liar
ia kan hadir dengan pangeran menjadi pembunuh nadir

Maka aku-lah Odette
yang tersiram kutukan angsa
merupa manusia hanya ketika senja
sampai mentari beringsut,  aku-lah
angsa di telaga Tuan

Dua hari berselang, peri berkisah sang pangeran
kan datang bawakanku penawar
nyatanya ia datang membawa busur
hendak memanahku, meski pada akhirnya
gagal sebab elok kepak sayapku memikat mata

Pangeran,
ketika Odile datang merupa paras denganku
usahlah terlena, dan jangan katakan kau cinta
saat pesta dansa di langit-langit istana
jika terjadi, patah lah sudah sayap harapanku
sampai lemas hingga aku terkulai di pangkuan peri

Di pinggir telaga menyambut semburat jingga
senja menyongsong ingin kakiku tuk berdansa
hingga kau datang mengungkapkan perasaan
untaian maaf telah terbuai tipuan Rothbart

Maka kita berdansa sepanjang malam
mantra-mantra pun terpatahkan saat jiwa
menyatu, terikat dalam palung
hatiku dan hatimu

Yang dikutuk telah menikam yang mengutuk
Dan belantara di mana telaga berada
aku angsa bermuara di sana
menjadi istana bagi kebaikan dunia

Kharisma  De  Kiyara
Maret 2017

Inspirated by Barbie Of Swan Lake

Minggu, 23 April 2017

Sajak Kerinduan

Sajak Kerinduan

Usah lelah mengeja desiran angin semalam. Saat hujan menderas dan pelipat sunyi hanyalah gemercik di batu-batu hitam. Di balik jendela basah,  gigil menggagalkan angan untuk membaur lara kemarin. Menghirup dingin hingga tetulang penciuman yang syarat ingin itu bergemeretak. Dan kantung matamu retak.

Kedua telapak tangan menangkup ke wajah sendu. Mencumbu mesra bayang dari masa lalu. Doa terselip kala bibirnya bergetar menahan luapan bendungan semusim. Berlalu angin,  menampar dedaunan berderak-derak,  mencapai langit muram,  menyampaikan sajak pada yang yang tak kenal sepi.

Berterimakasihlah pada desiran angin semalam. Ia mengajakmu berkencan dengan Tuhan di bilik kerinduan.

De Kiyara
Maret 2017

Sabtu, 08 April 2017

Senja di Tubuh Seorang Wanita

Lipatan di keningmu ialah saksi
betapa waktu kian jauh berlalu
mengantarkanmu pada titik temu
apa itu arti senja sesungguhnya

Senja yang menyemburat jingga
membias guratan usia di wajahmu
seorang wanita tertatih-tatih
yang perih menyusup dalam darah
melalui pori-pori keriput
yang tubuh enggan beringsut
dari karung dan karang sisa kehidupan

Angin  mendesir dalam  kelimunan sunyi
menggeliatkan  inginku yang  berdenyar-denyar
'tuk merengkuhmu dan jadikan bahuku sandaran
lalu aku-lah pendoamu kemudian

Oh....
Wanita seusiamu
semestinya sibuk melipat kenangan
memintal benang surga di kursi goyang
menikmati senja di tubuhmu yang wagu

Kharisma De Kiyara
2017

Rabu, 22 Maret 2017

Tangis Yang Tertinggal


:terminal Nganjuk

De Kiyara
10 Maret 2017

Aku mengelus dada
meremas lara yang mencerabut seluruh bahagia
tatapku asyik mengusik pada usia renta
dengan gigih berlarian bersama deru bis kota

Aku menyeka sudut mata
yang mulai tak sopan menumpahkan cairan
reaksi dari penolakanku pada kisah senja
berpeluhkan asa tak mengapa
asal dapur setia mengepul asap
juga berbau masakan bunda

Dari hatiku yang terdalam
bertahan dengan syukur tak berbatas
kuambil  secercah  harapan 
sekejam  apapun  angin  berhembus
tetap  tak  ada  peru yang  dimuntahkan
tawa  yang  selalu  siang
di  hati  yang  sedingin  pagi

Para  pejuang  mimpi
menghabiskan waktu  bersolek  di  terminal
tanpa  riasan  mewah
apalagi  jas  berkalung dasi
hanya  kaos  disekat celana  usang
dan  baki  penuh  impian
mengharap  Tuhan  kan  nampakkan  janji  idaman

Kamis, 09 Maret 2017

Aku Adalah Hari

Jika menyapa pagi
aku adalah bagian darinya
tetes embun dan genangan rindu
membaur jadi kamu

Jika bertemu siang
aku adalah peluh di kernyit dahi
sebab mentari terik,  atau
aku adalah tetesan dari  langit  kelabu
sebab  presipitasi  hasil  kondensasi

Jika  mencumbu  malam
aku adalah  kekasihnya
sunyi  menuju  dinihari
menjumpai  esok  dengan  debar  jantung
seirama  kini  dan  sebelumnya

Di mana-mana
Entah  saat  kakimu  melangkah  kemana
Tatapmu  terarah  pada  apa  dan  siapa
Tetaplah  aku....
Merasuk  dalam  hari-harimu

(De  Kiyara)
Maret 2017

Manis Bibirmu

Penghalang itu hanyalah jarak
yang membentang antara kota kita
sedang hati jelas tak bersekat
erat mengikat satu rasa

Setiap kali bibirmu merayu
kukecup,  layaknya kusesap madu
dalam secawan angan yang kuramu
rangkaian kata-katamu  ; kuharap
hatimu lah yang mengelakarinya
hingga manis tak akan berlalu
begitu saja

(De Kiyara)
Maret 2017

Untuk Yang Selalu Diam

Adakah hal lain yang bisa kaulakukan?
Selain mengedikkan bahu,  lantas
memalingkan muka dari tatapku

Berbagai macam pertanyaan kulontarkan
bagimu hanya angin lalu,  dan
aku merupa  awan  kelabu

Masih  saja  kau  membisu
terpaku  di  tempatmu  berdiam
bernanung  pada  temaram, sabtu  malam
cerutu  setia  bertengger  di  jemarimu
bibirmu  mengembuskan  jelaga  resah
tandakah  kau  pasrah?

Tak  ada  jawaban  saat  ini
akankah  besok  atau  lusa?
Hingga  lusa  bertemu  kerabat
di  almanak  berikutnya

Yang  bergumintang  enggan  menyapaku
sekali  waktu, ia  mengisyarat iba
pada  memar  di  dada
Ia  jauh  dari  gapai
bersenandung  kala  melihatmu
menyesap  kopi  pahit  di  cangkir  asmara
"Wahai  yang  dipuja  sunyi, lekaslah  bersua
Berikan  sepasang  mata  lentik  itu  asa
Lalu  ia  tak henti  bergeming, bersyukur
atas  doa  yang terkabulkan"

De  Kiyara
Maret 2017

Senin, 06 Maret 2017

Kisah Sabtu Malam

Sepasang terompak usang setia temani langkah
menderap tak tentu arah  ; ikuti hendak kaki bukan hati
seorang gadis yang mengheningkan lara
membutatulikan bahagia
dan benaknya mencipta ruang hampa

Gontai tubuhnya menyisir temaram
melawan arus sungai yang bermuara di utara
entah berapa meter bahkan mil jauhnya  ; tak peduli
ia hanya ingin berkelana
mengikis resah yang menggunduk di dada

Seketika,  tapak kakinya terhenti
di trotoar yang basah  ; licin
menatap langit tak bergumintang
bahkan rembulan bersemburat muram
seirama jiwanya yang terpukul angan

Bibirnya tak henti menggumamkan sajak sembilu
pun ingin melumat memar di hati
menelan,  lalu memuntahkan peru
tubuh melipu, mengigil sebab gerimis
yang ia cipta dari kantung air di mata murni

Tetiba ia terkesiap
membeliakkan cokelat kedua indera pelihat
deru mesin beroda dua beradu cepat
suara klakson melengking memecah senyap
para pemuda beraksi bak Rossi di medan balap

Pikirnya meliar,  sejenak melupa penat sendiri
merenung nasib negeri yang  berkaru
dijajah putra-putra pertiwi  ; sekandung  badan
Bagaimana  tidak? Seharus  mereka  menyingkap  mimpi
justru melumat  dini  hari

Seperti  inikah  calon  pemuka  masa  depan?
Gugur  Wibawa  saat  darahnya  masih  seumur  embun
Ah! Apa-apaan  ia? Gila. Bukan!
Tersesat. Tidak! Sok  sucikah? Berhentilah!
Ia  hanya  mengucap perih  lantas  berlalu  angin

Bangkit!
Ia merajam awan  kelabu
Memeluk lagi mimpi
yang tak  akan  selamanya jadi angan
Gelora  mudanya  menepis  keraguan

-Kharisma  De  Kiyara-
2017

Minggu, 05 Maret 2017

Sebuah Tangisan

Semburat cahaya mentari menerpa riasan wajah
seorang gadis bertudung pekat jelaga
menyiratkan kepiluan dalam sajak kenangan
bibirnya bergetar menyebut asma Tuhan

Lantas senja datang,  memekikkan murka langit
beringsut menyesap kelam, si gadis  merintih
sebab  luka  lama  kembali  menganga
cairan merah menambah perih
matanya terpejam menahan sesak batin

Kala itu,  ia mengadu lara dengan deras
cairan  bening  yang  membanjuri  pipi
tak seorang pun kan  mencuatkan  kira
bahwa aliran itu,  mengurai cerita perih

Yang merasuk bukan hanya gigil
tapi juga ribuan suara memekik nyinyir
telinganya memerah  dan  ulunya  ngilu
senandung  sumbang  diperdengarkan
agar  laranya membaur di  kesunyian

Tetiba gelegar  menyambar-nyambar
mengusik  jiwanya  yang  ringkih
ingin  berlari  menuju  kediaman  tuan
merebahkan  mimpi  yang  tak  lagi  damai
dan  mengubur  lelap  dalam  dekap  Tuhan

Tentang  pilu  yang  ia  gaungkan
dengarkanlah  jerit dari  lubuk  hatinya
tersirat  pada  kedua  kelopak  bundar
yang  membias  rupa  muram
Ia.... Menangis  di  sudut  kota  Magetan

Kharisma De  Kiyara
0317

Senin, 30 Januari 2017

Saat Mengenang


Kabarkan pada taman di hatimu yang menawarkan perjanjian
Dengan masa lalu dimana batu-batu menimpuk kelopak matamu
Menanggalkan air mata dari pelupuk sayu penuh lara terpendam
Sebab kini kau bersimpuh,  memekikkan  sebuah  nama
Suatu  senja  saat  kau  sadar  tak  lagi  bersamanya
Di wajahmu,
Merekah tomat yang ranum membenamkan rindu
Kala kau ingat ia menjabat jemari lentikmu
Itu  dulu,
Saat  masih  ia  bersekutu  meminjamkan  hatinya  padamu

-De Kiyara-
Januari 2017

Kenangan Dalam Dupa

Kubakar dupa di atas pembaringan
Tempatmu bersemayam dalam keabadian
Mencipta rindu serta kenang kepiluan
Dalam buku-buku kehidupan
Yang kita cipta di masa silam
Tanpamu,  hatiku bak cerobong dengan pekat jelaga
Membumbung,  mengabarkan kepedihan pada semesta

-De Kiyara-
Januari 2017

Dunia Aksara

Mari,
Kita membicarakan suasana sebuah ruang
Di mana hanya detik jam yang terdengar
Sebab gaduh  tak  diizinkan
Tempat aku bersua dengan kekasih
Rebah dalam dekap ribuan aksara
Menyingkap  jendela  dunia  nyata  bahkan  fatamorgana
Dari buku-buku setia bertengger di rak kayu
Hingga  tergolek  di  atas  meja-meja  berjajar
Di  sanalah  kekasihku  tinggal
Menanti  sentuhan  mesra  jemariku
Hingga  sehadap  lekat  dalam  beradu  pandang
Mencumbu barisan kata membentuk makna

De Kiyara
Januari 2017

Sajak Seorang Dara


Semesta,
Bantu aku mengabarkan
Pada salah satu di antara para adam
Yang masih mengambigu
Di  kesunyian yang  kusebut  rindu

Aku menunggunya di gurun  tandus
Membiarkan segalanya  meranggas  tak  bersisa
Kecuali akan ia temui
Kaktus yang mulai jengah kupelihara
Dengan duri-duri telah merabik
Di almanak tahun ini

Kabarkan, 
Aku tengah menantinya
Membebaskanku  dari  gersang
Menyinggahi oase guna  lepas  dahaga
Mengajakku  pulang  ke  muara  bersama
Sebab telah lama aku mengangankannya

Sampaikan,
Setiap malam panjang
Kucoba meraba gemerlap bintang
Yang berkelip-kelip membingkai hitam
Menerka  ribuan  gugus bertebaran
Apakah Tuan Sirius ada diantaranya

Duhai semesta,
Kabarkan secepatnya pada siapapun dia
Untuk menggenang dalam gurun tandusku
Aku tak mau berlama-lama
Setia membina keranggasan
Nyaman bersedekap bersama kekosongan

-De Kiyara-
Januari 2017

Jumat, 20 Januari 2017

Penyesalan

Penyesalan
De Kiyara
7 Januari 2017

Meringkuk di sudut ruang waktu
Kala kegetiran jadi belenggu
Mana mungkin bisa tak acuh
Ingatan masa silam kerap menderu relung kalbu
Tempat bersandar mulai ringkih
Jengah sebab jarang kau jamah
Coba kembali kita merenung
Meliku waktu kala senja di batas angan
Mengalir kenang yang telah jadi hikayat
Kupastikan kau tak akan sanggup mendengkur
Meski malam mendekap kedua kelopak matamu
Betapa deras aliran darah menyentak nadi
Kisah kita menanggalkan suka dan cita
Membekas jadi luka menganga
Kini ratap kian merekat
Berkecamuk tanpa beri sekat
Menggiring mimpi menuju gurun tandus
Gersang penuh kaktus

Kamis, 19 Januari 2017

Melawan Rindu

Katamu,
Hutan belantara telah menjadi kediaman
Setelah kau tak lagi menemukanku di bola matamu
Menyibakkan pepohonan yang tumbuh tinggi menjulang
Berharap aku kembali ke pelukan

Kau tahu,
Aku tumbuh bersemi sebagai bunga mawar
Dengan duri yang siap menyakitimu
Tapi, kumbang tetaplah kumbang
Sekalipun sakit ia rela demi kecupan

Lantas, kau mulai menelanjangi rerimbunan
Menyingkap dedaunan serta batang-batang kesakitan
Mencari dengan salah satu indera
Kalau-kalau terendus semerbak wewangian mawar

Sesekali kau terengah, lalu diam menengadah
Menyebut namaku, sebab mawar berduri belum jua kau temui

De Kiyara
Januari 2017

Minggu, 01 Januari 2017

Rembulan Kesepian

Kuizinkan kau hadir sekali ini
Sekadar bercengkerama,  berdua
Menikmati desiran angin surga
Di bilik tua yang sempat kau lupa

Duduklah, 
Kuhidangkan semangkuk ramuan cinta
Agar kau tahu bahwa aku masih mendamba

Ikutlah bersamaku,
Kita goda sang rembulan yang tengah terbakar cemburu
Cahayanya memendar malu-malu
Cemas, kalau-kalau kita hendak bercumbu

(De Kiyara, 1216)