Jumat, 19 November 2021

18 NOVEMBER

Duhai waktu,
mari kita rayakan usiamu
tidak akan ada tangis
meski kau telah mengiris
seluruh isi hatiku

Duhai waktu,
kau suka angka 18 bukan
karena malam itu, bapakmu menang lotre
dan ibumu berhasil menghentikan kemiskinan cinta
Tuhan telah menulis takdir baru
28 tahun yang lalu

Duhai waktu,
kata 'selamat' barangkali tak cukup
ah, jangankan cukup, tersampaikan padamu saja tidak
ah, jangankan cukup, segala yang kutulis tentangmu mengendap bagai ampas kopi pahitmu di pagi hari
tak terbaca, tak diperlukan lagi
sia-sia

Tak mengapa,
setidaknya, aku tahu cara merawat kerinduan
dan paham bahwa Tuhan satu-satunya jalan
untuk sampaikan bisik lirih doaku, untukmu


Magetan, 18 Nov 2021


HEAL

Akhirnya, aku tidak lagi takut pada kehilangan. Sebab, tidak ada satupun yang kekal tinggal meski dalam perkataannya berjanji tak akan pernah pergi. Setiap orang akan melangkah menjauh, pergi, hilang. Kita pasti akan ditinggalkan. Tidak ada seorangpun yang selalu berada dalam hidup kita. 
Jadi, sudah kuputuskan, aku tak pernah takut jika harus kehilangan. Sejatinya manusia hidup hanya akan saling meninggalkan, merasakan kehilangan itu adalah kepastian.

Bergantung pada manusia adalah satu hal yang keliru. Dan sejak lama, aku sudah belajar daripadanya. Sejak lama, aku telah diajarkan kehidupan untuk menanggung segalanya sendirian. Sejak lama, aku berteman dengan sebuah kata 'bertahan', lebih dari itu, ia menjelma jadi caraku menjalani hidup. 

Kini, waktu telah sampai pada titik di mana rasaku telah berlalu. Segala cemas, gelisah dan sedih seakan terlipat dalam kotak kenanganku. Memang, ada masa di mana aku menjenguknya. Hanya sekadar memastikan, apakah ingatanku masih begitu baik? 

Yang aku tahu, semua perasaan tidak mengenakkan itu tidak hanya menimpa diriku. Orang lain pun pasti ada yang merasakannya, atau bahkan jauh lebih menyakitkan, atau barangkali kau juga berlarut-larut dalam kesedihan. Semoga tidak ya. Karena, aku selalu ingin kamu bahagia, bahkan jika harus dengan melupakanku, maka aku akan memberimu jalan keluar untuk tidak mengingatku. Kau begitu pandai berlari. Dan aku tidak akan mengejar lagi.

Bukankah ini yang kau mau? Aku akan menurutinya. Aku akan mewujudkannya.

Berlarilah....

Berlarilah....

Berlarilah....

Hingga masa lalu tampak jauh di belakang. Terbengkalai. Dan kemudian samar sampai lenyap dari pandangmu.

Berlarilah....

Berlarilah....

Jangan kau toleh. Jangan kau berhenti. Teruslah berlari, meski aku tetap diam di sini. Di titik, di mana kau meninggalkanku. Aku tetap di sini. Tidak menjauh. Tidak mengejar. Kau yang memutuskan pergi. Kau yang memilih berlalu. Maka kubiarkan kau beserta bayangmu tersapu waktu, hingga debarku berhenti dengan sendirinya.

Jika aku tetap diam. Apakah itu berarti aku masih berharap kau kembali?
Aku diam, karena di sini adalah tempatku. Aku tidak menunggumu kembali. Aku memulihkan diriku dengan tetap berada di sini. Menikmati degup-kejut remuk-redamnya. Merasakan perih dari irisan luka. Memeram duka. Memeluk dinginnya rindu untuk diriku sendiri.
Aku bukan pecundang yang memilih menghindar dan berusaha seolah tak terjadi apa-apa. Aku tetap berada di sini, menjalani apa yang seharusnya kujalani sembari menanti seseorang mengajakku melangkah. 
Saat itulah, aku telah sembuh.

Saat itulah, aku menemukan kembali bagian dari diriku yang sempat hilang. Bagian dari diriku yang amat kurindukan. 

Tidakkah kau demikian?


Selasa, 02 November 2021

Surat yang Tak Pernah Sampai

Assalamu Alaikum 
Duhai Ayahku

Aku tidak tahu bagaimana harus memulai tulisan ini. Meski sepucuk surat biasa --yang aku tahu tak akan pernah kau terima-- tapi tetap saja terasa canggung. 

Ayahku,
Hujan baru saja reda. Tidak deras seperti keinginanku. Cukup rintik-rintik dan tidak begitu gaduh ketika menimpa atap rumah. Bukankah aku pernah menuliskan sebuah puisi untukmu? Perihal hujan, tentu saja.

Semalam, akhirnya kita berjumpa. Tidakkah kau tahu, aku sangat menanti kedatanganmu. Terlalu lama kau pergi, Ayah, dan aku bahkan tak bisa memintamu kembali. Ya, kau tak akan pernah kembali. Kepergianmu tak berbilang almanak. Kepergianmu adalah janji Tuhan. Kepada-Nya kau harus berpulang. Sebab Ia adalah rumah bagi segala kehidupan.

Malam ini, Ayahku
Mataku masih awas terjaga. Padahal seharian aku terlalu banyak bicara. Sama seperti biasa, pekerjaanku memang mengharuskanku berbicara dengan banyak orang. Dan aku suka. Bertemu orang-orang asing, bercakap-cukup kadang lebih, bahkan mereka sampai bercerita masalah pribadinya padaku, meresahkan apa yang mereka rasakan, menangis terisak karena ditinggalkan. Yang paling aku senangi adalah melihat senyum mereka, Ayah. Meski harus memakai masker, kebanyakan dari mereka adalah orang tua yang seringkali melepas maskernya sampai di bawah dagu. Mereka tersenyum Ayah, mereka tersenyum. Hangat sekali. Bayangkan, bagaimana bisa aku tak ramah menyambut mereka?
Tapi, Ayah... Kita hidup memang tidak bisa menyenangkan banyak orang. Dan itu bukan tujuan kita juga kan? Manusia itu beragam. Terkadang, ada saja yang menyebalkan. Aku harus tetap tersenyum menghadapinya, Ayah. Meski dadaku sakit menaham emosi. Aku harus tetap terlihat tenang dan tegas di waktu bersamaan. 

Ayahku,
Jika nanti kau kembali datang menemuiku, maka bawakan aku sekuntum senyummu yang ranum itu lagi. Aku tak akan memetiknya. Aku akan menikmati aromanya, ya benar Ayahku, aroma rindu.

Ayahku,
Aku sudah jauh lebih kuat sekarang. Aku sendirian, aku kesepian, tapi percayalah Ayah, selalu ada orang-orang baik yang Tuhan hadirkan untuk menemaniku. Bukankah tangan Tuhan ada di mana-mana? Dan itulah pertanda bahwa Ia tak pernah meninggalkanku. 
Kau tidak perlu khawatir. Kau sudah menemukan titik tenang itu. Kau tak perlu resah memikirkanku. Biar aku menemukan tujuanku, Ayah. Biar kulewati setiap jalan dan meninggalkan jejak kisahku pada semesta. 

Ayahku,
Aku masih tetap menjadi puteri kecilmu yang manja. Masih dan akan. Hanya saja, aku berpura-pura tegar dan dewasa di hadapan semua orang. Akhirnya, terbiasa juga, Ayah. Tapi dalam hati kecilku, aku tetaplah aku, yang manja, yang butuh kehangatan kasih sayang.

Ayahku,
Sekeras apapun upayaku melahirkan air mata, tetap saja tak bisa membuatmu kembali bukan? Maka aku bisa apa? 
Mengikhlaskan sudah jadi makanan sehari-hari. Pahit memang, tapi mau tidak mau harus kutelan agar imanku tak pernah kelaparan.

Ayahku,
Hujan sudah reda. Dingin tidak terasa. Aku masih mendekap harapku berjumpa denganmu, nanti ya, setelah aku terpejam dan menggelar mimpiku, kita bertemu.


Salam hangat dariku,
Anakmu.

Rabu, 27 Oktober 2021

Tentang Sebuah Kota Dalam Ingatan

Pagi, matahari terbit malu-malu. Tak seceria biasa, ia lebih senang mengintip di balik mendung.
Sampai pukul lewat dua siang, ia semakin tak menampakkan diri. Justru hujanlah yang datang bahkan sebelum aku sempat menyiapkan payung. 

Sudah musimnya. Sudah waktunya. 
Begitulah cara semesta bekerja.
Meski akhir-akhir ini, cuaca kerap berubah sesuka hati. 
Meski akhir-akhir ini, cuaca tak mudah ditebak kedatangannya. 
Tapi, sangat jelas, bulan-bulan menjelang akhir tahun, akan lebih sering turun hujan.

Bukankah aku menyukainya?

Tentu saja.

Lalu, siang ini, hujan mengetuk di balik jendela. Memintaku terjaga dari tidur siang dan mengajak bercengkerama. 
Apalagi?
Aku bahkan tidak memiliki cerita apapun yang hendak kubagi. 
Tapi.... Hujan selalu punya cerita. Hujan memiliki cara membuatku berkenang. Hujan tak pernah kehilangan akal.

Kali ini, pikiranku diajaknya bertamasya pada satu sampai dua tahun ke belakang. Ketika aku kerap pergi ke luar kota. Ya. Menuju sebuah kota yang amat sangat kusenangi. Kota impianku. Kota yang kerap kali kurindukan. Karena teduhnya, ramainya. Aku mencintai kota itu. Bukan karena jejakku dan jejaknya yang tertinggal. Lebih dari itu. Aku menyukai hujan yang jatuh di sana. Bahkan sekarang aku bisa membayangkan, berdiri di tepian jalan, di bawah pepopohan rindang, merasakan tempias hujan berjatuhan, menitik dari ranting-ranting, dari dedaunan, menyentuh wajahku.
Semua itu adalah hal yang selalu kurindukan.


Dulu, aku senang sekali mengunjungi kota ini ketika musim hujan tiba. Bukankah kau tahu? Tentu saja. Kan kau 'sempat' jadi teman perjalananku. Kita pernah berkejaran dengan hujan. Aku menolak ketika kau meminta untuk berteduh. Tapi kau terus memaksa agar aku bersembunyi di sebalik jas hujan. Ah, baiklah. Setidaknya, aku masih bisa merasakan rintik-rintik itu menghujani tubuhku.

Tunggu....
Aku sedang bicara soal hujan ya.
Bukan dirimu.
Dirimu yang telah berpayung. Dirimu yang tak menyukai hujan. Tak menyukaiku lagi, barangkali.

Ingatanku mengembara, pada semua tempat-tempat yang kukunjungi. Dan tak terasa hujan telah sampai di pipi.
Aku tidak ingin menangis hari ini.
Maka kucukupkan bercengkerama dengan hujan di luar sana. Kucukupkan berkenangku karena justru semakin membuat candu.

Suatu hari nanti, entah bulan depan atau kapan, aku akan ke kota itu. Barangkali sendirian. Menyisir kembali jejak demi jejak yang kutinggalkan.


Malang. Kota impian. 

Rabu, 06 Oktober 2021

Perihal Rindu

Tak ada yang tahu betapa nyeri rinduku menjalar sampai ke seluruh tubuh
getar-denyar tak sudah
pikiran berisik
kesunyian tak bisa menenangkan apapun
segalanya serba ribut
dan entah bagaimana aku menikmati semua ini.

Terombang-ambing badai tangis
dihentakkan dengan kencang
pada pantai tak berpenghuni
hanya ada aku, dan kerinduan ini.

Senja berkaca-kaca
angin menderukan namamu 
semakin keras, beringas
hatiku tak hentinya berdesir
sungguh hampir gila aku dibuatnya
hampir tak sanggup kutahan gejolak yang ada

Tapi aku harus tetap menjaga dalam diam dan doa
memeramnya hanya untukku seorang
aku tak ingin kembali terluka
aku takut berharap jika berakhir percuma


"Tapi bukankah menahan jauh lebih menyakitkan?" 

Senin, 20 September 2021

Istirah

Aku sempat lupa, bahkan untuk tetap bertahan pun sesekali memerlukan jeda. Bukan karena menyerah, bukan juga karena sudah tak sanggup, melainkan rasa lelah ini perlu waktu untuk ditenangkan.

Entah sejak kapan, aku mulai melepas namamu dalam doaku. Dan tak ada nama-nama lain yang kusemogakan, selain untuk ketenangan diriku sendiri dan kedua orang tua yang kini telah abadi dalam dekapan-Nya.

Aku sudah berhenti melakukannya. Karena akhirnya aku sadar, terlalu memaksakan itu tidak baik dan jika memang Ia tak menghendaki maka memang sebaiknya aku berhenti.

Dalam hatiku, yang ada hanya tumbuh kecewa. Kecewa pada diri sendiri yang masih saja berharap kedatanganmu. Sedang telah kukabarkan berita duka itu, tapi kau tetap bergeming. Kau tak peduli. Dan aku pun paham, kau sudah jauh dan tak akan pernah kembali. Lalu, apa yang masih kunanti?

Entah sejak kapan, aku telah melepas namamu dalam dekap doaku. Dan tak pernah ada nama-nama lain setelahnya hingga saat ini.

Aku sudah berhenti.
Biarkan hatiku beristirah sejenak.
Sejenak adalah waktu yang tak pasti. Bisa saja singkat atau lebih lama.
Aku sudah berhenti.

Kamis, 19 Agustus 2021

Merindukan Hujan

Kudengar suara air bergemericih di atap rumah, dan bersejatuhlah ia ke tanah. 
Kuhirup aroma basah, pekat, menyengat.
Tapi, segala yang kudengar, kuhirup hanyalah ilusi. Sebab tak kulihat bentuk air, tak juga tampak titik-titik kecil yang mengendap di kaca jendela.

Rasanya sudah lama sekali hujan tak turun. Dan selama itu pula air mata telah menggantikan perannya. Ia berjatuhan tak kenal waktu. Ia menggenang setiap kali rindu.

Kemarau masihkah akan lebih panjang? Aku selalu menunggu rintik-rintik itu datang, membasuh mataku yang basah oleh kesedihan.

Segala Tanya


Bagaimana bisa semua akan baik-baik saja setelah kehilangan? Bagaimana air mata tetap rapi tersimpan setelah kejadian-kejadian menyakitkan? Bagaimana ia bertahan?
Bisakah kau menjawabnya? Bisakah kau menjadi penawar obatnya?

Pertanyaan demi pertanyaan itu belum pernah terjawab. Ia hanya berpura-pura melewati semua dengan sempurna. Bahkan tak ada seorangpun melihatnya tampak terluka. Siapapun yang mengenal akan merasa, ia amat bahagia. Hatinya senantiasa berbunga-bunga, senyum dan tawa lekat dalam hari-harinya.

Tapi.... Mereka hanya tahu sisi luarnya. Ia.... Sangatlah tak terbaca.

Maka, aku menulis ini, agar mereka tahu betapa ia sedang rapuh dan menyembunyikan bunyi gemuruh di dada. Aku ingin mereka tahu, ia hanya perlu dimengerti dan tak usah dijejali sana-sini, diberi pilihan ini dan itu. Tak perlu.... Karena mereka tak tahu rasanya menjadi ia.

Kemarin ia menangis, hari ini pun masih dan besok.... Ia selalu berharap untuk tidak mengulang kesedihan. Meski harapan itu seringkali gagal. 

Kau. Bagaimana perasaanmu? Apakah jauh lebih baik setelah pergi? Apakah sudah tenang setelah meninggalkannya? Sudahkah kau menemukan pengganti? 

Kau. Pernahkah memikirkannya? Sekali saja, pernahkah menyebut namanya dalam doa usai kepergianmu yang tergesa? 

Ia selalu ingin tahu jawabnya. Tapi kau tak pernah bersuara. Maka, ia berserah pada takdir yang Maha Tahu Segala-gala.

Minggu, 15 Agustus 2021

Roses Bloom in Your Afterlife

Seandainya tidak ada kabar buruk itu, barangkali sunyi tidak setajam ini. Dan kepalaku pun semakin berdenyar dengan ingatan kelam. Kenangan itu....ialah yang sedang dirasakan banyak orang.

Kemarin, seorang pasien datang. Biasanya beliau terlihat ceria, senang saat kontrol rutin. Tapi, kemarin tidak. Matanya berkaca-kaca, tampak lemas dan tidak bersemangat. Sampai akhirnya.... Beliau bercerita tentang sebuah kepergian. Tuhan, Kau pun tahu aku tak pernah menyukai kabar semacam ini bukan? Haruskah datang juga? 

"Bapak sudah meninggal, Mbak."

Bagaimana aku tidak kaget? Sedangkan beberapa waktu lalu kami masih bertemu dan suami beliau dalam keadaan cukup baik. Tapi siapa menyangka, takdir memang selalu menjadi rahasia-Nya.

Lalu hari ini, datang lagi berita itu. Seorang pasien lain yang kemarin baru saja kontrol, dikabarkan meninggal dunia. Istrinya pingsan lebih dari satu kali. Tuhan, andai aku tidak mendengar berita itu, apakah hari ini aku akan tetap tidak mengingat mendiang-mendiang yang telah pergi dari hidupku? 

Kami memang tidak mengenal satu sama lain. Kami bertemu sesekali, seringkali... Dan dengan begitu memiliki naluri. Prihatin.

Aku sendiri sudah muak dengan kepergian. Orang-orang yang aku cintai tidak pernah bisa menepati janji untuk menemani. Bahkan satu-satunya orang yang --katanya-- tidak ingin jauh dariku pun, pada kenyataannya detik ini sudah meninggalkanku. Aku harus percaya pada siapa lagi? Apa aku salah jika membenci pertemuan? Pada mulanya, memang iya, aku membenci setiap pertemuan. Aku menghindari siapapun yang datang. Karena tak selamanya mereka akan tinggal. Tak lama, pintu keluar sudah menanti. Semua hanya sementara.

Tapi kini, aku tidak begitu yakin, sejak kapan aku mulai bisa menerima takdir seperti ini. Takdir yang mengharuskanku menyaksikan penderitaan orang yang kusayangi dan berakhir kepergian. Aku tidak yakin sejak kapan aku bisa menjadi sekuat sekarang.

Yang aku tahu, sejak aku suka diam-diam berseteru dengan isi kepalaku sendiri. Sejak aku suka berteriak dalam hatiku sendiri. Lalu, semua mereda. Dan aku pahami, kelak, aku juga akan pergi. Meninggalkan semua yang kini bersamaku, meninggalkan semua yang ada padaku. Aku akan memberikan kesedihan pada segelintir orang yang menganggapku ada. Aku akan membuat mereka menangis, sama seperti ketika aku ditinggalkan begitu saja.

Kepergian tidak pernah memberi aba-aba. Tapi akan selalu terjadi kapan saja.

Maka, sejak itu, aku tidak takut ditinggalkan. Tidak mengapa walau harus menangis lagi dan lagi. Aku akan menikmatinya sebab Tuhan telah menentukan segalanya.

Bersabarlah orang-orang yang ditinggalkan. Menangislah. Kita akan tetap sedih bila mengingatnya, itu pasti. Tapi.... Jika kita percaya bahwa Tuhan telah menjaga mereka, pasti kesedihan itu akan menjadi keikhlasan. Jika kita mau menyadari semua adalah milik-Nya, pasti akan datang kekuatan.

Yang pergi, menjadi abadi.





Kamis, 12 Agustus 2021

Pada Suatu Pagi


Lihatlah, pagi ini awan membentuk suatu pertanda. Barangkali semesta sedang mengisyaratkan sesuatu. Kau tahu apa? Ialah kuasa Sang Pencipta dan itu bermakna kita patut bersyukur sebanyak-banyaknya. Betapa Tuhan Maha Baik menciptakan keindahan yang membuat mataku tak bisa berpaling hari ini.

Kau pasti berpikir aku berlebihan, tapi banyak orang mengabadikan momen ini. Bagaimana denganmu jika jadi aku? 

Sebenarnya, aku ingin bertanya, bagaimana kabar awan di tempatmu. Kita dinaungi satu langit, hanya saja angin berembus membawa awan yang lain. Aku ingin bertanya, dengan apa kau mengawali pagi ini? Sedang aku masih diam-diam menyapamu lewat sinar cahaya matahari. Berharap sorotnya menerpamu, dan kau rasakan hangat rinduku. Harapan yang cukup sederhana hari ini. Semoga kau tahu. 

Minggu, 25 Juli 2021

Lelaki yang Menyanyikan Lagu Sunyi Itu Adalah Kekasihku

Petik gitar itu....
Merdu suara itu....

Aku mengenal baik nada-nada yang kudengar di setiap keheningan
suaramu bukan? yang pilu menyayat
yang membikin sesalku kian sesak

Aku mengenal baik melodi yang kudengar di setiap kerinduan melonjak tajam
darimu bukan? yang mengirim pesan diam-diam
melalui desir-desir angin, kadang muncul gerimis
menandakan kau sedang mengingatkanku
bahwa lukamu, sakitmu adalah perihku yang lama

Kau terluka
dan aku merasakan hal yang sama
sialnya, akulah luka itu
Lalu, apakah pantas jika aku ikut bersedih olehnya?

Di sana, kau duduk memangku gitar kesayanganmu
petik satu per satu, hingga simfoni pilu berpilin
menjadi lagu rindu yang pilu.

Kau, lelakiku, kekasihku....
Bayangkan aku berada dekat denganmu.
Dan kita bersama-sama menyanyikan lagu-lagu demi merayakan kesedihan yang tak berujung itu.

Bolehkah Aku Memintamu Menjadi Imamku?

Aku terbangun di pagi hari tepat setelah iqamah subuh berkumandang. Bergegas ke kamar mandi hanya untuk buang air kecil, karena tamu dalam tubuhku belum juga pergi maka aku tidak bisa menjadi makmum di belakangmu.

Selintas aku melewati sebuah ruangan yang temaram. Hanya sorot cahaya dari ruangan lain yang membuat suasana menjadi khusyu. Aku melihatmu berdiri tegap dan aku yakin kedua tanganmu tengah bersedekap membaca Alfatihah dan doa pendek lainnya. Bahumu yang lebar, dan aku pun jelas tahu bahwa dadamu sungguh bidang.

Aku memutuskan berhenti sejenak. Mengamatimu yang kemudian mulai membungkukkan badan, ruku'.
Lalu aku masih memusatkan pandangan sampai kau sujud terakhir sampai berdoa.

Hatiku kemudian bergetar. Tangis kutahan ketika bapakmu mengejutkanku. Beliau keluar dari kamar yang bersebelahan dengan ruangan tempat kau sembahyang. 

Bapak menoleh padamu, lalu berkata padaku, "Masih subuhan."

Aku mengangguk dan lekas berlalu ke kamar. Membayangkan kembali pemandangan subuh yang kuidamkan bisa menjadi makmum tepat di belakangmu.

Kau tak pernah tahu cerita ini, karena aku menyimpannya sendiri sebagai kenangan manis. Baru sekarang aku berani menuliskannya ketika kau sudah jauh pergi. Tetapi kau tetaplah dekat di ingatanku, dan dengan begitu saja telah mampu menggetarkan hatiku.

Aku tidak akan meminta padamu, melainkan kepada yang memilikimu. Ia adalah Tuhanku, Tuhanmu, Tuhan kita.

Selalu kupintakan pada-Nya agar kelak kau dijadikan imamku. Karena luas sabarmu yang tak terukur. Tulus kasihmu yang kini amat kuinginkan. Selalu kupintakan, jika memang kelak kau adalah takdir bagi diriku, maka Tuhan akan menguatkan perasaan dan memberiku alasan bertahan lebih lama.

Namun, jika sebaliknya, kuharap Tuhan menghapus perasaan ini dan tetap membiarkanmu tersimpan sebagai ingatanku saja. 

Hai, lelaki yang kerap menyanyikan lagu sunyi, petik gitar dan merdu suaramu adalah damba bagi rinduku.


Sabtu, 10 Juli 2021

Sepucuk Surat dari Rindu

Dear kamu,

Hai...
Ah, basi! Sapaan yang terlalu basi. 
Tapi, mau bagaimana lagi, kita berseberangan jauh. Kau diam di sana dan aku menyendiri di sini dengan berbagai pikiran yang asing.

Setiap hari, aku mengirimimu kabar, meski hampa yang kudapatkan. Aku tak pernah tahu bagaimana kabarmu, aku tak tahu apa yang sedang kau lakukan, bagaimana kau menjalani harimu, suasana hatimu, segala hal yang ingin kuketahui tentangmu tak kunjung kudapatkan.

Setiap hari, aku menyebut namamu dalam hati setiap kali hendak makan, hendak pergi tidur dan melakukan kegiatan lain. Hanya agar terasa dekat, seperti dulu, ketika aku selalu meminta izin padamu.

Aku ingin sekali bercerita tentang banyak hal yang kualami. Bagaimana aku menjalani hari-hariku, suasana hatiku, keadaanku, aku ingin berbagi denganmu. Setidaknya, aku punya rumah untuk merebahkan lelah. Meski kini, aku hanya bertamu di beranda, sementara di dalam kau mengunci diri --entah sedang berbuat apa.

Bayangkan aku datang setiap hari ke rumahmu. Mengetuk pintu dan bercerita meski kau tak pernah bertanya. Kau tak membukanya, kau dengar atau tidak, aku tiada peduli. Yang kutahu, aku datang setiap saat, mengetuk pintu dan memberimu kabarku. Lalu... Setelah dirasa cukup, aku pergi dengan kehampaan dan kesunyian yang sama. Di halaman, aku menengok sebentar, berharap pintu itu terbuka, tapi mataku harus basah karena tak sedikit juga kudengar derit pintu bergerak.

Aku melangkah pergi.
Untuk kemudian kembali lagi.
Mengetuk pintumu lagi, berkeluh kesah lagi dan lagi. Begitu berulang kali.

Apakah aku lelah?!
Tentu saja. Siapa yang tidak akan lelah. Tapi meski begitu, aku tidak ingin menyerah.

Kau tahu, aku pernah membaca satu kutipan. Begini, Allah akan menghapus perasaan di hatimu, jika seseorang itu tidak ditakdirkan untukmu.

Maka, aku selalu meminta pada Allah. Jika kau memang bukan ditakdirkan untukku, hilanglah perasaan ini. Dan buatlah aku berhenti berjuang serta bertahan menahan rindu sendiri 
Namun, jika sebaliknya, jika kau adalah takdirku, maka aku meminta pada Allah untuk dijagakannya hatiku dan hatimu. Dikuatkannya aku bertahan dan bersabar. Diberinya aku harapan, menunggu waktu Ia mengabulkan :)

Sekian dulu suratku malam minggu ini. Jaga dirimu dengan baik, aku yakin kau pasti akan melakukannya. Tapi, aku tetap mengingatkanmu, karena dulu kau sering bandel. Terlalu banyak pikiran dan sedikit makan. 

Sehat-sehat ya, salam untuk adik kecilmu yang telah merebut hatiku :)

Kamis, 24 Juni 2021

Imitasi


Dan lihatlah, meski itu tak sungguhan
meski itu hanya bunga mainan
tapi tampak indah, sungguh sempurna dalam bermain peran

Seperti halnya kau!

Kau yang pandai bersandiwara
menjadi yang bukan dirimu di hadapan semua orang. Kau terus saja melakukannya. Meski sebenarnya, hatimu cukup lelah.

Kau memang ahli dalam berpura-pura.
Canda tawa itu
Senyum itu
Semua kesedihan telah kau balut sempurna 
dan tak seorangpun mengetahuinya
bahkan tak juga bertanya apakah kau baik-baik saja

Tapi mata itu,
mata yang kelam dan gelap
yang selalu basah 
yang selalu kau seka sendiri 
yang selalu berusaha kau tenangkan dengan doa
tak pernah bisa berdusta
ada perih, luka menganga di sana
kau terus saja memeramnya
kau terus menyimpannya


Sekali saja,
kau ingin menjadi dirimu sendiri
apa adanya dan tak berpura-pura
tapi sungguh, mungkin semesta tak akan sanggup
melihatmu yang payah dan rapuh itu

Maka, teruslah berpura-pura
lanjutkan sandiwara itu
sampai kau akhirnya benar-benar bisa mengobati luka dan mengubur sedihmu

Jejak yang Terhenti Sejenak


Langkah
ke mana akan Kau tuntun 
ke situ pula aku menuju

Tidak ada kata menyerah
meski ingin mengatakan lelah

Baiklah, aku katakan sekarang
Tuhan, aku sangat lelah
aku lelah
lelah

Tiga kali aku berkata lelah
tidakkah cukup menggambarkan bagaimana kecamuk ini mendera
setiap hari, setiap waktu, setiap sepi
bahkan di keramaian pun aku merasa sendiri
dan yang kutemukan adalah diriku sendiri
memeluk kecemasan
bertakut pada harapan
sungguh Tuhan, aku begitu lelah

Berapa kali aku berpikir ingin menemui-Mu
lewat cara-cara kotor dalam anganku
Tapi aku terlalu takut
aku takut...

Apakah aku menikmati kesendirian ini?
Mungkin
Bisa jadi
atau ya, aku menikmatinya.

Mereka mencoba datang menghibur,
mereka merangsek masuk dalam hatiku
tapi tak perlu menunggu lama, aku pergi dengan caraku

Aku memilih jalanku.
Sendiri.
Melangkah hanya dengan kedua kakiku.

Apa yang aku cari?
Aku tidak tahu....
Ketenangan tak punya tempat sekarang
Sepiku tak menemukan rumah
Aku kehilangan arah



Kunjung




Berkunjung
tapi tak bertemu
hanya menitip rindu
dan sekuntum mawar yang kubawakan
untukmu, yang mendamba kehangatan

Katamu, mawar itu hangat
seperti kasih yang kau berikan
tak akan pernah lekang

Meski dalam beberapa hari lagi
mawar itu pasti layu
tapi tidak dengan rindu
ia bertahan bahkan lebih dari yang kuperkirakan


Aku pun tak menyangka, selama ini
sejauh ini, bisa bertahan dengan rindu
sendirian....
Bukankah aku hebat?


Tidak ada orang yang pernah bertanya, bagaimana keadaan hatiku
bagaimana kecemasanku
bagaimana caraku menjalani hari-hari dengan topeng ini
Tidak ada yang pernah bertanya
Mereka senantiasa menganggapku baik-baik saja.


Kamis, 10 Juni 2021

Istirah

Suatu hari, ia tak merasakan apa-apa. Kecemasan, kesedihan, kebahagiaan apalagi --sama sekali tidak, kosong, hampa. 

Suatu hari, tangisnya tak terdengar, meski doa-doanya masih nyaring disuarakan --lewat hati. 

Suatu hari, laranya semakin bersembunyi di balik kepura-puraan yang terus ia jalani --entah sampai kapan, ia sendiri tak mengerti. 

Suatu hari, ia tidak merasakan apa-apa. Nol. Sempurna menjadi rasa tak bernama. Inikah ketenangan? Atau barangkali bisa disebut sebagai jeda? Jeda karena begitu lelah, jadi ia butuh waktu untuk mengistirahkan sejenak. 

Tuhan... 
Berikan perasaannya nama. 
Agar ia tahu ke mana harus melangkah selanjutnya. 

Rabu, 02 Juni 2021

Tentang Rindu

Jika bibirku berkata rindu tapi tak cukup bagimu, maka lewat perantara doa kulangitkan perasaanku.

Perasaanku terdalam, hanya Tuhan yang tahu. Ia menyelami hatiku, menumbuhkan rasa ini kian subur. Semakin hari, tidak berkurang, selalu sama, bahkan di suatu waktu tertentu seperti dilebihkan. Tahukah pada waktu apa? Ya, ketika aku sudah merasa lelah dan ingin menyerah. Perasaan itu seolah bergejolak, menolak untuk berhenti, hingga akhirnya aku menyerah dan mengikuti alur perasaanku yang menuntut untuk tetap merindukanmu.

Aku tahu, orang-orang akan menganggapku tidak tahu diri, atau bahkan bodoh karena aku tetap bertahan di sini, tapi aku berdiri dengan kedua kakiku sendiri, menopang bahuku sendiri, jadi untuk apa mendengarkan anggapan mereka yang tidak bisa merasakan menjadi aku?

Maka aku memilih diam. Memilin rindu dalam keheningan. Biar dadaku yang bergetar, biar tengadah tanganku yang jadi saksi berapa kali namamu kusebut dalam sehari.

Maka aku memilih diam. Biar mereka berpikir aku baik-baik saja. Sebab perasaanku, mereka tak dapat merasa. 

Maka aku memilih diam. Tapi gaung doa jauh lebih keras dari isakku. 

Kepada Tuhan, aku pasrahkan segala harap.
Kepada Tuhan, aku tidak akan banyak meminta selain meletakkan rasa rindu ini pada tempatnya. Ialah padamu saja. 

About Last Night

Tidak ada yang bisa disembunyikan dari raut wajah
Mata sengaja dikelamkan
Seakan enggan menatap
Bibir bergeming
Dibisukan keadaan

Tak ada yang bisa disembunyikan dari gerak tubuh
Mematung
Hening

Tak ada yang bisa disembunyikan dari perasaan
Kecewa

Selasa, 01 Juni 2021

K.A.U

Kau, adalah patah hati terbesarku.
Yang membuatku tak berhenti menangis. 
Yang membuatku selalu merasa kesepian.

Kau, adalah patah hati terbesarku.
Dengan itu aku tak lelah merayu Tuhan.
Dengan itu selalu kuusahakan dalam doa-doa panjang.

Aku yakin, Tuhan Maha Mendengar. Tuhan Maha Mendengar. Segalanya akan Ia berikan jalan. Segala akan baik-baik saja, meski entah kapan....

Senin, 31 Mei 2021

Seseorang Itu

Di ruangan hanya ada aku. Meringkuk memeluk lutut, menangis sejadi-jadinya namun masih tanpa suara. Bayangkan bagaimana sesaknya?

Aku tidak bisa bebas berteriak, mengeluarkan suara tangis pun enggan, bahkan untuk menjeritkan perihnya harus terpaksa ditahan.

Tidak ada seorangpun yang mendengar. Cukup aku dan Tuhan. Tidak ada seorangpun yang datang. Sebab pintu kukunci dan menolak siapapun yang coba menenangkan. 

Perihal menenangkan, biarkan menjadi tugas Tuhan. Sebab telah turut kutulis dalam doa-doa panjang. Bagaimana Tuhan akan menenangkan, aku pasrahkan pada-Nya, meski dalam hati terdalam, aku berharap seseorang itulah yang ditakdirkan Tuhan untuk menjadi penenangku, sama seperti sebelum-sebelumnya.

Seseorang itu yang selalu kusebut dalam doa. Tidak pernah absen. Hadir tepat waktu dan terucap penuh rindu.

Andaikan seseorang itu tahu....
Andaikan seseorang itu berada di sampingku....
Andaikan seseorang itu....


Sabtu, 29 Mei 2021

Keyakinan Itu....

Bertemu denganmu sebagai orang lain adalah hal yang tak pernah kuinginkan. Bahkan aku sama sekali tak terbayangkan.
Bagaimana rasanya menjadi orang asing, tanpa tegur sapa, bahkan sebatas tatap mata yang rapuh, kehilangan kepedulian dan kasih seperti dulu tak pernah kuharapkan.
Selama ini, kau masih hangat di hati. Meski jarak semakin melebarkan hatimu. Entah, satu-satunya yang tak bisa kubaca adalah matamu, hatimu.

Maka itu, aku memilih bertahan. Berjuang seorang. Karena aku ingin menjadi bagian dari hari-harimu yang setiap waktu mampu membacamu, dan kita menulis kisah bersama. Tidakkah kau ingin?

Aku tak tahu jawabmu.

Tapi, aku yakin akan jawabku.

Dalam Doa

Seseorang menarik lipatan kain di pergelangan tangan dan menggulungnya sampai ke pangkal lengan. Sedikit membungkuk, telapak tangannya menengadah pada aliran air yang jatuh dari keran. Dimulai dari berkumur, membasuh muka, membasah kedua tangan, mengusap kepala dan telinga, hingga membilas kedua kaki. 

Berjalanlah seseorang itu menuju peraduan. Sajadah tergelar. Mukena coklat mulai dikenakan. Dan mulailah ia bertemu Rabb-Nya.

Seseorang itu tampak tidak khusyuk. Bahunya bergetar. Matanya dipejam-pejamkan seolah menahan sesuatu agar tak keluar. 

Rupanya benar. Dalam sujudnya lalu ia mengingat kenangan. Mengingat seseorang lain. Menyakitkan. Penyesalan. Sesak.

Berusaha seseorang itu menampik hal yang datang mengganggu pikiran. Ia tetap berusaha tenang. Semua akan baik-baik saja karena Tuhan yang mengatur rencana.

Bilakah seseorang itu memasrahkan segala-gala pada Tuhan, mengapa masih merasa kacau? Mengapa bertakut jika yang diharapkan tak dikabulkan? Mengapa tak percaya pada takdir indahnya? 

Bilakah seseorang itu hanya berharap pada Tuhan, mengapa masih merasa sesak? Mengapa belum bisa memaafkan diri sendiri, padahal jalan seperti ini karena Tuhan menegur hendak mengampuni? Bukankah Tuhan Maha Pengampun, lalu mengapa seseorang itu bahkan tak bisa menerima kesalahan atas dirinya sendiri?

Panjang sekali.
Lama sekali.
Doa-doa diucap dalam hati.
Satu hal pasti, Tuhan mendengar dan mengetahui.
Maka, hai, seseorang! Jangan risau lagi!

Menjadi Dia

Apakah kamu bisa menjadi dia, yang berkali-kali kehilangan. Entah itu harapan, atau orang-orang yang disayang.

Apakah kamu bisa menjadi dia, yang berkali-kali kecewa. Entah karena orang lain, dan lebih parah karena dirinya sendiri.

Apakah kamu bisa menjadi dia, yang ketika terpuruk karena sesal, maka dia tak pernah bisa menemukan ketenangan. Ujung mana yang bisa dia gapai. Tak ada. Tangis adalah hari-harinya.

Apakah kamu bisa menjadi dia, yang pabila rindu menyesaki dada, hanya mampu memanjatkan doa-doa, begitu panjang dan lama, begitu menyayat dan seringkali dia tak mampu berucap karena mata yang akhirnya berbicara dengan derasnya.

Apakah kamu bisa menjadi dia, tidak. Kamu bukan dia. Kamu adalah kamu. Dia adalah dia dengan perasaan yang tidak bisa dikatakan lagi, karena lebih dari sekadar hancur. Dia adalah dia, yang sedang menebus tawa kemarin dengan laranya kini. 

Dia, sedang menyukupkan diri berbahagia dan tertawa. Dia membuat segalanya mengalir apa adanya dan cukup saja. 

Kamis, 27 Mei 2021

Rindu

ketika mulai mengetik pesan
jemariku gemetar
dadaku bergetar, jantungku lebih cepat berdegup, hatiku serasa dihimpit,
sesak, dan berakhirlah pada isak

ketika kata-kata mengalir bagai deras tangis
sudah tak mampu lagi kubendung isi kepala
kucurahkan segala rasa, tanpa cela
yang kau baca itu, adalah apa adanya
bisakah kau merasakannya?

aku tidak sedang meracau
tapi sedang mencemaskanmu di sana
di tempat yang ingin kujadikan rumah
bagi anak-anak dan kebahagiaan kita
bisakah?
bisakah?

aku di sini,
tidak pernah selangkah pun pergi
dengan hati yang semakin pepat
diisi oleh namamu dan kesunyian
dengan doa-doa yang semakin panjang
untukku, untukmu, untuk kita

Kharisma,  Mei 2021

Kamis, 20 Mei 2021

Pisau

adalah ucapmu 
di mana kata kau asah begitu tajam
menjadi senjata paling berbahaya
membunuh hari-hari yang tak berdosa

adalah ucapmu
sebilah pisau menancap di hati
mengalir darah sampai ke entah
perihnya tak terkatakan lagi


Sajak yang Rapuh

kata-kata pun ringkih
iramanya tak lagi nikmat didengar
seperti kaset rusak, telingaku enggan menerima
lalu hati jadi korbannya

bibir manusia, kerap kali memiliki bisa
bahkan jauh lebih beracun dari seluruh bisa di dunia
bahkan jauh lebih menghancurkan dan percayalah, tak ada penawarnya meski telah berusaha disembuhkan dengan ribuan atau jutaan kata maaf

kita kerap membuat orang lain kecewa
kita manusia, tapi tak lantas bertameng pada kata 'manusia' 
seakan jika menjadi 'manusia' adalah wajar untuk memiliki keliruan
tidak. tidak begitu.
semestinya manusia belajar dari semua hal
menjaga diri agar lebih terarah
menjaga diri agar mampu mengerti

perihku kini, adalah akibat seteru kepala dan hati
kecewaku kini, adalah tikam kata sampai ke palung terdalam
tangisku kini lebih menyayat dari tangis manapun di bumi

aku merindukanmu,
sosok yang bisa menenangkanku ketika pelik sedang erat meliputiku
sosok yang selalu kuharap menjadi bagian dari aminku --setelah pergi, aku lebih sering berdoa untukmu, ternyata benar, kepergian membuat kita tersadar

aku merindukanmu,
dengan cemas dan debar penyesalan
aku mendoakanmu,
berumur panjang dan kita tak lagi dipisahkan

Senin, 17 Mei 2021

Sebuah Cerita Pedih /2/

Angin sore itu seperti membelai rambut pendeknya, desir yang tenang serta membawa aroma basah yang menandakan sebentar lagi hujan akan turun. Dan ia belum beranjak dari bangku di bawah pohon trembesi. Ia masih mengurai isi kepalanya. Satu demi satu. Meski terkadang ia memejamkan mata seolah memaksa ingatannya yang luka untuk berkenang tentang hal-hal pahit itu.

Hal-hal pahit yang ia sesali. Hal-hal pahit yang kini membuatnya kehilangan kepercayaan dari orang lain.

"Setia itu mahal," begitu ucap seseorang padanya.

Ia masih bisa mendengar jelas suara itu. Bahkan ketika ia mengingatnya, ia merasa malu dan mengutuk diri, ia merasa jijik pada diri sendiri. 

Sesal itu telah tertanam. Cukup dalam. Sampai menembus pada hati paling palung. Meski seseorang itu telah jauh, telah tak memiliki rasa percaya, tetap saja, ia berusaha mengubah dirinya, ia membangun setia pada dirinya sendiri. Ia berjanji setia tak akan mengulang.

Setia. Ia bahkan malu mengucapkannya karena telah menjadi pengkhianat sejak ia menanggalkan kata itu pada rayu. Rayu yang semu. Yang membius. Sementara. Bagai peluru menembus ke dada, dan membuat nuraninya mati. Tapi, rencana Tuhan lebih indah. Ia hidup kembali. Hidup dengan sesal. Hidup dengan teguran dari Tuhan atas apa yang telah dilakukan.

Maka, bukankah ia hanya bisa menerima. Meski beberapa malam ia habiskan waktu untuk meratap. Tapi, dalam relungnya, ia bersyukur, karena rupanya Tuhan masih menginginkan ia kembali pada jalan yang benar. Bahwa Tuhan masih menyayanginya sehingga diberikannya rasa pedih seperti itu, dan ia pun sadar, bahwa selama ini nikmat-nikmat dari-Nya telah didustakan.

Sore itu, mendung menggantung. Makin lama makin pekat, makin abu, hitam dan jika dilihat seperti ada beban berat. Ia mendongak.

"Apakah kau terbebani awan? Apakah kau juga ikut merasakan beratnya duhai langit?"

Hening, tapi sebentar kemudian, semesta menghujaninya jawaban yang deras.

"Oh, ternyata memang begitu berat ya!" Katanya lagi.

Hujan turun tanpa jeda. Rintiknya bukan lagi sebatas ricih kecil, melainkan pekat dan rapat. Deras. Deras. Semakin deras.

Ia tidak berteduh. Ia masih mendongak.

"Terima kasih, hujan!"

Ia menangis. Air matanya mengalir tapi cepat-cepat disapu guyuran hujan yang turut mengalir di wajahnya. Ia berpikir, rupanya awan-awan itu telah sampai pada puncak lelahnya menanggung beban. Hingga ada masa semua ditumpahkan. Apakah ia juga akan demikian? Apakah ia juga sama seperti awan-awan itu?

Ia merasa ngeri sendiri. Bagaimana jika benar terjadi? Bagaimana jika ia sudah lelah dan beban itu akhirnya tak dapat lagi ditahan? Apakah ia akan mengguyurkan hujan? Apakah ia akan membuat kemarau tak lagi muncul dan sepanjang tahun hanya ada gemericik hujan, banjir, tanah longsor serta akibat lainnya.

Ia menangis. Menjadi-jadi. Sesaknya semakin terasa. 

"Apakah hujan ini bisa membasuh sesalku? Apakah bisa hujan ini membawa pergi jauh kesedihanku pada aliran yang entah ke mana akan bermuara? Bisakah?"

Ia bertanya-tanya. Pertanyaan yang membuatnya tampak begitu bodoh dan lemah. Tampak? Tidak. Baginya, ia adalah manusia paling lemah. Dan karenanya ia menjadi bodoh. Atau sebaliknya. Ia adalah manusia paling bodoh. Sehingga ia menjadi lemah dan kalah. Sama saja. Ia bodoh. Ia lemah. 

Hujan tak kunjung reda. Genangan air sudah mencapai ketinggian sebatas tumitnya. Ia tetap bergeming. Mendongak kepala. Memejam mata. Butiran-butiran yang jatuh ini membuat titik-titik perih di wajahnya, tapi ia tak peduli. Ia biarkan dirinya tersiksa sendiri.

Hujan semakin rapat saja. Ia sudah tak berdaya untuk sekadar beranjak. Ia ingin merelakan dirinya hanyut bersama air hujan yang mengalir, yang barangkali akan banjir, dan biarkan dirinya menghilang. Ya, hilang sempurnah sampai ia dilupakan oleh ingatan-ingatan orang lain tentangnya.

Serapuh itu dirinya. Bahkan nyawa layaknya barang yang bisa dengan mudah digadaikan. Ia tak peduli. Ia hanya ingin menebus segala kekeliruannya. Mati? Bukankah itu kata yang cukup seram? Dulu, iya. Tapi kini, baginya, kata itu berarti lain. Yaitu, kebebasan.

Bersambung....

Sepertiga Malam

Ada waktu terbaik untukmu menenangkan gelisah. Ialah bila kau terjaga ketika lelap menyerang hebat bahkan masih mendekap orang-orang. Kau bisa kalahkan kantuk itu, kau bergegas mengambil wudlu, kau mengucap salam, bertemu Tuhan.

Ada waktu terbaik untukmu merenung, meresapi kemudian mengambil makna atas apa yang telah terjadi. Kau jadi bisa menimbang, apa yang menimpamu tidak lain berhubungan erat dengan hukum sebab akibat. Kau jadi paham, akar dari pelik adalah dirimu sendiri.

Ada waktu terbaik untuk menata ulang rencana. Kau masih belum terlambat. Bersyukurlah Tuhan mengingatkanmu dan kau tidak semakin terjerumus ketika dalam keadaan yang bisa dikatakan tidak baik, sebaliknya, kau semakin mengingat-Nya dan menyadari.

Akhirnya, kau pun paham. Kau mengerti. Dan kau tidak ingin lekas menyerah meski lelah, meski telah berurai air mata. Kau masih ingin bertahan sampai waktu yang menghentikan. Sebab tak henti-hentinya kau yakin, Tuhan Maha Mendengar berada tepat di hatimu, mendengarmu, dan ada rahasia yang sedang Tuhan kerjakan untuk kebahagiaanmu.

Bila sudah tiba waktu, ingat kembali kejadian menyakitkan ini. Agar kau tidak lupa diri. Agar kau bisa menjaga dan berhati-hati. Agar kau tahu cara mensyukuri nikmat Tuhan yang tak pernah dapat didustakan. 

Percayalah....
Bersabarlah....

Minggu, 16 Mei 2021

Sebuah Cerita Pedih /1/

Sebuah bangku di bawah pohon trembesi itu sudah lama tak ada yang menyinggahi. Terakhir kali, mungkin bertahun lalu, ia duduk di sana. Sisanya hanyalah orang-orang yang berlalu-lalang, sekadar lewat dan tak punya waktu untuk istirahat sejenak.

Dan tahun ini, ia kembali duduk di sana, setelah sekian lama. Ia baru saja keluar dari salon. Rambutnya masih wangi shampoo dengan potongan pendek di atas bahu. Sebelumnya, ia biarkan rambut tergerai sampai ke pantat, tapi karena sudah terlalu jengah, ia memutuskan untuk memotong lebih dari separuh rambut panjangnya. Sedikit menyesal, karena wajahnya terlihat lebih bulat sekarang, tapi senang juga karena rasanya seperti menjadi orang baru dan ia benar-benar siap meninggalkan dirinya yang lama. Ia telah menjadi seseorang yang akan berubah setelahnya.

Duduk di bawah pohon trembesi, ia mendongak memandang lebat daun dan buahnya yang ia kira sebentar lagi buah-buah itu akan berjatuhan dan mengotori jalan di sekitar. Dan ia membayangkan dulu sekali, tatkala pulang sekolah, ia kerap melewati jalan itu memungut buah-buah trembesi, mengumpulkannya dan dibawa pulang. Jika diingat, ia tak habis pikir mengapa melakukan hal itu padahal buah-buah itu tidak ia gunakan untuk apapun juga. Hanya dipandangi, dijejer rapi, setelah bosan lalu dibuang.

Ia tersenyum simpul.

Masa itu, adalah masa yang indah. Tak ada beban berat dipanggulnya kecuali tugas sekolah yang bisa dikerjakan bersama teman-teman. 

Tak lama, ia menunduk, memandangi kedua kakinya berayun bergantian kanan dan kiri, melihat daun dan buah trembesi berserak, mengingat....

Pahit. Sebisa mungkin ia meredam ingatan itu. Sekuat mungkin ia coba untuk tidak kembali pada masa itu. Ia berusaha menepis bayangan itu. Tapi gagal.

Seketika, ia merasa menjadi manusia paling buruk di dunia. Dan ia membayangkan dirinya menjadi buah trembesi itu, lelah bergelayut, memutuskan untuk jatuh dan terserak sia-sia. Diinjak kaki-kaki yang rapuh, ditendang anak-anak yang kelewat riang mendapat hadiah, sampai buah trembesi itu menjadi busuk dan hilang....

Berat. Sesak. Ia sedang menahan air matanya agar tak jatuh. Ia sedang menahan gejolak hatinya agar tak semakin rapuh.
Tapi....
Tapi ia tak bisa.
Maka berlinang sudah bulir bening dari matanya, bergelincir di pipi mulusnya sampai jatuh dan membuat titik basah di baju birunya.

Oh, mengapakah ia semenderita itu? Apakah ia merasa bahwa kesedihan sedang mengepungnya seorang? Apa yang sebenarnya terjadi padanya?

Ia tak berani pulang ke rumah dalam keadaan buruk seperti itu. Ia tak mau orang-orang melihat mata sembab dan murung wajah bulatnya. Ia harus terlihat baik-baik saja. Tersenyum manis kepada siapapun juga.

Oh, bisakah ia bertahan?

Bersambung....

Malam, Baginya....

Malam....
Baginya adalah tangis yang tak kunjung henti
bahkan ia tak tahu, kapankah hari akan menjadi tenang
dan ia berandai, barangkali ketika kematian menjemput lalu semua akan berakhir baik-baik saja. Ya, barangkali saja.

Malam....
Baginya tak ubah seperti jerit serigala yang terdengar ke segala penjuru, membuat bergidik ngeri siapapun yang mendengar, sementara jerit hatinya melejit bagai busur panah menembus angin dan tak tentu arah --tak ada yang peduli
dan ia berpikir alangkah hidup teramat panjang rasanya jika kesedihan mendera
alangkah malam semakin nyala terang jika kecamuk hati sedang ribut-ributnya

Malam....
Tak ada ketenangan baginya
mata tetap terjaga
ingatan semakin bersinar bak rembulan
dan tangis
dan segala yang dirasakan hatinya --sesal, kesal, lelah, jengah, sedih, pedih
menyatu dalam pijar-pijar cahaya
yang menyala dibisik doa


Magetan, 2021

Sabtu, 08 Mei 2021

DALAM DIAM

Kenyataan bahwa kamu sudah tidak peduli adalah hal menyakitkan. Tapi segera aku sadari, bahwa perilakumu begini adalah akibat dari perilakuku juga.

Maka... Aku hanya bisa menerima. Memahami kehendakmu, meski belum berhenti berusaha untuk terus memberimu kabar dan kenyataan kamu tidak pernah merespon satu kata pun.

Tidak mengapa.
Tidak jadi soal buatku.
Aku bisa menerima.
Aku sudah terbiasa.
Tapi rasaku padamu tidak pernah bisa dibilang biasa-biasa saja.

Dalam diam ini, keheningan tak ubahnya pisau yang tajam menusuk. 
Dalam diam ini, doa tak ubahnya mantra yang selalu dirapalkan lalu terselip pula namamu.
Dalam diam ini, rindu tak ubahnya nyamuk yang habis mengisap darah ingatanku.

Bagaimanapun kamu, aku tetap menanti kabar dan sabar :)

Rabu, 14 April 2021

SEHANCUR ITU

Kau sudah tahu sehancur apa aku sekarang?
Kata-kata menguap bagai kepul asap yang sekejap menghilang terbawa angin, entah ke mana, barangkali membaur bersama udara dan terhidu hidung-hidung lantas tak ada yang menyadari bahwa di dalamnya mengandung aroma kesedihan.

Kata-kata mengalir bagai arus banjir di kota besar, menerjang apa saja tanpa peduli yang dilaluinya, entah itu bangunan megah, atau itu para lansia atau anak kecil, siapapun yang diilihatnya, tanpa iba dan peduli, arus tetaplah arus, membandang, menghancurkan apa saja. Dan semua panik, berteriak ketakutan, memohon ampun dan keselamatan. Tapi mereka tak tahu, arus itu memiliki rasa pahit yang tak tertawarkan oleh apapun, seperti yang sedang kurasakan kini.

Kata-kata terbang bagai merpati, mengepak sayap ke angkasa, menjelajah seluruh pelosok sampai ke jengkal-jengkalnya. Menemukan rimba, menyalami gedung-gedung tinggi, menemukan gadis kecil terisak di makam ibunya dan merpati itu bertengger manis di pundaknya. Merpati itu merasakan getir air mata yang jatuh dari gadis kecil itu. Ia ingin sekali menghibur tapi tak bisa. Gadis kecil itu menguarkan aroma kematian, barangkali ia sedang menawarkan dirinya untuk dipersembahkan pada malaikat, agar ia dijemput paksa demi bertemu ibunya.

Gadis kecil itu adalah aku
aku yang merangkai kata-kata
aku yang sedang tidak tahu menulis apa

KETIKA KAU PERGI

Ketika kau memutuskan pergi, aku telah menjadi keping kenangan dalam hidupmu, menjadi masa lalu yang layak kau kubur dalam makam ingatanmu.

Ketika kau memutuskan pergi, sedetikpun aku tak menyerah lantas memilih ikut bergegas. Tidak. Hatiku masih berkekasih denganmu, meski kau sudah lain. Doaku masih ada namamu, meski kau tidak mengamini.

Ketika kau memutuskan pergi, mataku tak hentinya bicara sepanjang malam, sepanjang siang, sepanjang pagi, sepanjang sepi. Ia terus bicara tanpa suara, menyesalkanmu yang tak lagi cinta.

Tidak, tidak! Mataku menyesalkan 'aku'

Aku yang telah menyia-nyiakanmu. Lebih kurangku kini tak lagi ada yang mendekap. Tak lagi salam dan sapa hangat. Nyatanya, hal itulah yang kini teramat kurindukan. Teramat sangat ingin kurasakan. 

Aku sudah tidak menginginkan apapun lagi, selain dirimu. Bahkan nyawaku sendiri, aku tidak lagi peduli.
Bodoh memang. Hanya karena perasaan, aku bisa segila ini.

Baca ya, semoga kau bisa merasakan, sehancur apa aku sekarang.

Senin, 12 April 2021

TANGIS

Tangis adalah musuhku
musuh yang belum dapat kukalahkan

Ia senang sekali mengganggu mataku
meski di musim kemarau sekalipun
tak pernah habis pula air yang bersejatuh
seperti ingin membasuh
seperti ingin mengingatkan kembali
dan tak membiarkanku lepas dari ingatan ini

Tangis adalah musuhku
musuh yang entah kapan dapat kupatahkan

Ia tak pernah lelah mengajakku kelahi
bahkan ketika malam hari, ketika sunyi meninggi
dan tak ada suara selain desau angin resah
cericit tikus yang cemas diburu racun
tetap saja, ia datang sebagai lawan
dengan senjatanya yang menyurutkan nyali

Tangis adalah musuhku
aku adalah tangis itu.


Magetan, 2021

Selasa, 16 Maret 2021

MUSIM YANG BASAH

Bulan kesayangan setelah bulan lahirku adalah Februari. Bukan karena bertepatan dengan adanya perayaan hari kasih sayang, melainkan ritme hujan bulan ini jauh lebih rapat dan rapi. Hujan bisa turun sejak ujung pagi sampai ke pagi berikutnya. Aromanya selalu basah, sejuk dan menenangkan.

Pagi ini sepulang kerja, motorku melaju perlahan padahal jalanan tampak lengang. Beberapa kendaraan melewatiku begitu saja. Ah, biarkan, aku tidak berhasrat untuk menyalip, aku sedang tidak terburu-buru. 

Melihat jalanan yang basah dan beberapa orang berjalan kaki dengan menyangga payung warna-warni, membuatku ingin berlama-lama menikmati musim basah ini. Pemandangan yang asri bukan?

Ya, aku senang sekali pada segala yang basah. Termasuk mataku. Maaf, aku memang sedang dan senang mengagumi mataku yang basah. Ia seperti hidup, berbicara-menyuarakan yang tak bisa dikatakan lewat aksara, karena lebih dari itu, perasaan tak selalu dapat diungkapkan dengan kata-kata.

Magetan, Februari 2021

Sebuah Malam yang Sunyi dan Lama

Ke sekian kalinya, sebuah rencana turun dari tangan-Nya yang kemudian mengusap bahuku.
Ia senantiasa menginginkan ketabahan tumbuh dariku. Ia tak ingin aku menutup mata barang sedetik dari rahasia atas rencana-Nya. Ia tak membiarkan kepalaku terpejam dari pikiran yang terus bermain-main dengan duga sangka.

Ke sekian kalinya, sebuah malam dingin kunikmati di secangkir kopi yang menguap kehangatannya beberapa jam lalu. Selimut angin melingkupi tubuhku yang gemetar. Aku tahu, malam ini akan terasa amat panjang meski waktu tetap akan 24 jam lamanya.

Engkau yang berdebar di dadaku. Engkau yang menanamkan benih ketabahan dan menumbuhkannya. Pada malam sunyi ini, aku ingin Engkau menghadirkan rindu lebih lama, agar aku bisa melampiaskan sepi meski harus berderai air mata.

Kharisma, 2020

Tuhan Begitu Baik

Tuhan begitu baik,
Entah bagaimana jadinya bila aku tak mengingat-Mu. Mungkin aku sudah kehilangan akal sebab semua yang terjadi. Tapi, tidak! Aku masih memiliki-Mu.

Tuhan begitu baik,
Meski telah sekian jauh aku sempat meninggalkan-Mu. Tapi, lagi-lagi kau buka mataku kepada siapa seharusnya aku berharap dan bergantung. Kau tetak hatiku, kepada siapa sebenarnya pantas kuteteskan air mata ini. Tidak lain, hanya kepada-Mu saja.

Tuhan begitu baik,
Bahkan setelah sekian kali, Kau mengingatkanku untuk kembali pada jalan-Mu. Masalah bukan untuk menjadikanku semakin asing dan jauh. Tapi untuk merekatkanku dengan-Mu. 

Tuhan begitu baik,
Syukur tak terkira untuk segala hal yang Kau tetapkan untukku, dan aku tak akan pernah berhenti. 

Tuhan begitu baik,
Segala yang buruk padaku ditutupinya. Tapi aku pendosa mudah sekali melupakan kebaikan-Mu dan terlena dengan perasaan semu. 

Tuhan begitu baik,
Kau berikan obat rasa sakit.

HADIAH PERTEMANAN

Mulanya, kita hanyalah orang asing yang tidak sengaja dipertemukan. 
Bercakap cukup, bertatap biasa, bertemu sesekali, bercanda tawa. Sampai pada suatu waktu kita saling berterus terang, menunjukkan sifat kita yang apa adanya. 
Lalu, kita merasa memiliki kesamaan. Entah kisah, hobi, semacam ketertarikan pada sesuatu hal dan lain-lainnya. Hingga kita merasa cocok, dan melebur batas yang sempat ada. 
Akhirnya kita tahu tentang satu sama lain. Kita menjaga rahasia satu sama lain. 

Setiap hari, perbincangan kita seakan tak pernah berakhir. Dan aku merasa memiliki rumah baru, rumah selain hatiku sendiri. Di sana, di rumah itu, di dalam dirimu, aku telah memutuskan untuk tinggal. Setiap kenangan dari masa lalu, kubagi bersamamu. Begitu sebaliknya. 
Malam-malam kita lalui dengan banyak bercerita. Tangis pun tidak lagi kutahan-tahan, dan kau dengan tabah mendengarkan. Kau menjadi tempatku bergantung saat sedang kesepian. Tak hanya itu, kau pun juga menjadi tempatku meluapkan kebahagiaan. 
Ini bukan hanya tentangmu saja. Tapi juga dia, mereka. Atau bisa kusebut saja kalian semua.
Kalian...Adalah sahabat yang selalu kudekap. Aku tak ingin kehilangan satu pun dari kalian. Bisakah kita selalu utuh saja? Jikalau suatu saat ada perpecahan, bisakah kita bersama-sama merekatkannya?


Tentang kalian....
Terima kasih sudah menciptakan kebersamaan manis.
Terima kasih sudah menjadi cahaya hangat saat cuaca tak bersahabat.
Terima kasih sudah menyuguhkan cerita-cerita yang terasa nikmat seperti menyeduh kopi pagi hari.

Tentang kalian....
Rasanya seperti memiliki rumah baru yang sewaktu-waktu perlu dikunjungi untuk menuntaskan rindu
Aku selalu ingin kembali pada kalian. Memeluk kisah-kisah kita yang teramant memabukkan.

Maaf ya, jika selama ini aku banyak kurangnya. Membuat kalian selalu sibuk memperhatikanku, membuat waktu kalian terbuang karena harus mendengar ocehanku.
Maaf ya, jika selama ini kesalahanku tak terbilang jumlahnya. Membuat kalian kecewa bahkan sampai harus meneteskan air mata.
Maaf ya, jika selama ini aku belum bisa menjadi sahabat yang baik. Emm, kalian menganggapku sahabat bukan? Ah, tentu saja iya!
Sekali lagi, maaf ya, untuk segala ucap dan tindakan yang tidak membuat kalian berkenan.

Terimalah persembahan kata-kata ini, dariku yang selalu menyanyangi kalian semua. Kalian yang tak pernah kuharap berakhir sia-sia.

Selasa, 02 Maret 2021

MAAF!

Kekasih,
barangkali kau tak tahu seberapa besar sesal yang kini menghantuiku setiap detik
tak pernah teralih pikirku darimu, yang menatapku dengan luka
tatapan yang membuatku ingin meremas jantung sendiri karena terlalu bodoh aku dalam bertindah sejauh ini

Kekasih,
aku tahu, kata maaf saja tak akan cukup menebus rasa bersalahku atau bahkan mengobati rasa sakitmu
tidak kan? tidak ada yang bisa mengobatinya, karena telah kutancapkan luka hingga kau enggan lagi menoleh padaku


Kekasih,
aku akan terus berusaha, meski kini hanya maaf yang bisa kuucap 
doa tentangmu tak akan putus
karena dengan meminta pada-Nya, aku seperti punya harapan untuk memulai sesuatu yang baru, seperti mengembalikan rasa percayamu....